Sabtu, 14 Januari 2012

The History of Love (1)

Aku berkabung untuk keabadian, aku berkabung untuk ia
yang dalam dirinya kutanam dan kupupuk keabadian.
Hèlène Cixous


Prelude

Intinya adalah cara untuk mati, pikir bocah laki-laki itu dengan tekad membulat. Dia sudah menimbangnya berkali-kali, ribuan kali, dalam jaga maupun dalam mimpi, dan pilihannya sudah selesai. Kematian akan mengakhiri segalanya. Tak ada lagi hidup, tak ada lagi depresi.

Tapi intinya adalah cara untuk mati.

Dia tidak tahu cara terbaik untuk mati—karena waktu itu metode bunuh diri belum diunggah ke internet, bahkan internet masih ada dalam dunia fantasi. Jadi dia mencari-cari cara yang ia pikir akan membawanya ke alam kematian, tanpa ribut-ribut, tanpa menunggu waktu lama, dan tentunya juga tanpa rasa sakit. Begitu ini selesai, pikirnya, maka segala yang ia rasakan juga akan selesai.

Jadi, siang itu, saat guru di kelasnya masih mengajar, bocah lelaki itu keluar dari kelas dan menuju halaman belakang sekolah, untuk menemui seorang kawan yang akan memberinya “resep kematian”—suatu istilah yang kelak akan ia tertawakan, bertahun-tahun kemudian.

Di halaman belakang sekolah, tepatnya di belakang sebuah kelas, bocah lelaki itu duduk sendirian sambil menyulut rokok yang telah ia sembunyikan di saku celananya. Bocah-bocah di sekolahnya biasa merokok di situ, begitu pula dirinya. Jadi dia pun duduk, dan merokok, dan menunggu kawannya, dan merasa tak sabar untuk segera meninggalkan dunia.

“Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku...?” pikirnya sendirian sambil mengisap asap rokoknya. Otak bocahnya berpikir dengan naif, membayangkan semua yang telah terjadi—yang telah ia alami, dari hari ke hari, malam ke malam, serangkaian mimpi-mimpi buruk yang seolah hinggap di kepalanya, bayangan mengerikan yang seolah menari dalam hidupnya...

Aku akan segera mati, pikirnya. Tidak, aku memang ingin mati. Dan itu tak akan lama lagi. Sesaat lagi seseorang akan datang kepadanya dengan membawakan resep kematian yang akan digunakannya untuk mengakhiri hidup—mengakhiri semua mimpi buruk ini. Tak ada lagi depresi, kegelapan, bayang hitam yang beriak dalam kolam...

Suara langkah datang terdengar, dan bocah laki-laki itu bersiap menyambut kawannya. Yang datang adalah bocah laki-laki satu sekolahnya, seorang kawan karib yang bersimpati atas nasibnya. Bocah itulah yang akan memberikan cara terbaik untuk mati.

“Ada guru BP, buang rokokmu!” bisik bocah lain itu—suatu kode yang telah dipahami oleh semua bocah nakal yang biasa merokok di tempat itu.

Bocah lelaki itu pun membuang rokoknya ke lorong di depannya. Rokok yang masih panjang dan menyala itu terbang sesaat di udara, kemudian jatuh ke tanah, beberapa meter jauhnya dari tempat si bocah laki-laki. Tapi nyala apinya tidak mati, dan asap masih mengepul dari ujungnya.

Celaka, pikir si bocah. Maka dia pun melangkah mendekati rokok yang telah dibuangnya itu, dengan tujuan untuk mematikan apinya, dan melenyapkan asapnya. Tapi dia melakukan kesalahan besar.

Tanpa sengaja, bocah lelaki itu menoleh ke jendela kaca di dekatnya, dan mendapati sebuah kelas yang hening. Murid-murid di kelas itu sedang khusyuk mendengarkan guru di depan kelas, dan bocah lelaki itu tiba-tiba berdiri mematung di sana—tak bergerak, tak bernapas, terlupa segalanya. Sementara rokok yang dibuangnya masih menyala, dan asap masih mengepul di udara.

Di balik jendela kaca yang buram itu, si bocah lelaki menyaksikan keindahan paling menakjubkan yang belum pernah disaksikannya. Sesosok perempuan sedang menatap ke depan, mendengarkan gurunya—seraut wajah yang membuat si bocah laki-laki terlupa pada hidupnya sendiri—sebalut kelembutan yang tiba-tiba menyingkirkan semua bayang mimpi buruk dalam kehidupannya. Dan, detik itu, tiba-tiba ia terlupa pada keinginannya untuk mati.

Siapa perempuan ini, batinnya dengan galau. Dia tidak tahu, dia baru melihatnya hari itu. Tetapi, bocah lelaki itu tahu, bahwa dia ingin melihatnya lagi, melihatnya lagi, melihatnya lagi...

“Hei, kau...!” teriakan itu terdengar dari arah belakangnya, suara serak lelaki guru BP yang telah ia hafal karena begitu terbiasa. Bocah lelaki itu menoleh ke arah datangnya suara, dan menyaksikan wajah menyeramkan yang telah sangat ia hafal. Ia tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Tapi ia tak peduli.

Si guru BP berteriak, “Ambil dan bawa rokokmu itu, bocah nakal! Datang ke ruang BP sekarang juga!”

Bahkan ke neraka pun aku akan datang, pikir si bocah lelaki, selama aku masih bisa melihat perempuan itu...

Lanjut ke sini.

 
;