Sabtu, 01 Mei 2021

Cinta di Kota Kecil

Kita punya sejuta alasan untuk jatuh cinta. 
Tapi sering kali hanya satu yang masuk akal.


Orang yang tinggal di kota besar (misal Jakarta) umumnya memiliki gaya hidup dan cara berpikir yang berbeda, dibanding orang yang tinggal di kota kecil (misal Pekalongan). Ini tentu alamiah, karena orang yang tinggal di kota besar menghadapi tantangan yang berbeda—biasanya lebih besar—dibanding orang yang tinggal di kota kecil. 

Bukan hanya cara berpikir, bahkan ciri fisik sampai kebiasaan dan gaya hidup pun sering kali juga berbeda. Di media sosial, misalnya, saya bisa tahu mana wanita yang tinggal di kota besar dan mana wanita yang tinggal di kota kecil, karena perbedaannya sangat terlihat—setidaknya di mata saya. 

Omong-omong soal media sosial, saya jadi membayangkan. Andaikan kita—atau saya, deh—jatuh cinta pada seorang wanita yang saya lihat di media sosial, dan kebetulan dia tinggal di Jakarta, misalnya, sejuta tanda tanya akan berseliweran di benak saya. 

Andai dia menerima saya sebagai pacar, mungkin masalahnya belum terlalu terlihat, selain masalah LDR karena jarak yang jauh; dia di Jakarta, saya di Pekalongan. Tapi jika sudah sampai pada tahap yang lebih serius—saat kami sepakat dan mantap untuk menikah—masalah besar bisa terjadi. Karena dalam hal ini bukan hanya dua orang yang akan disatukan, tapi juga dua kebiasaan, dua cara berpikir, dan dua gaya hidup.

Seperti yang disebut tadi, gaya hidup orang yang tinggal di kota besar berbeda dengan gaya hidup orang yang tinggal di kota kecil. Pacar saya, yang tinggal di Jakarta, tentu memiliki gaya hidup yang jelas berbeda dibanding saya yang tinggal di Pekalongan. Masalah pertama; maukah dia tinggal di rumah saya [maaf, rumah kami], di Pekalongan, yang jelas jauh berbeda dengan Jakarta?

Orang yang semula tinggal di kota besar, lalu pindah ke kota kecil, itu serupa ikan yang semula hidup di lautan pindah ke akuarium. Perbedaannya sangat terasa. Di Jakarta, aneka fasilitas tersedia. Di Pekalongan, belum tentu. Bioskop, sebagai contoh. Saat saya menulis catatan ini, di Pekalongan [sedang] tidak ada bioskop—semula ada, di swalayan, tapi swalayan ini kebakaran, dan sampai sekarang belum ada bioskop lagi.

Itu baru satu hal, masalah pertama: Maukah pacar [atau calon istri] saya tinggal di Pekalongan, di rumah yang saya bangun untuk hidup kami? Ah, ya, saya punya rumah yang layak untuk ditinggali, dan dia tinggal masuk—dan menjadi ratu di dalamnya—tanpa harus repot mikir KPR. Masalahnya cuma, dia mau atau tidak?

Bahkan jika dia bersedia, kami masih harus menghadapi masalah selanjutnya; kebiasaan dan gaya hidup.

Seperti yang disebut tadi, orang yang tinggal di kota besar lalu pindah ke kota kecil seperti ikan di laut pindah ke akuarium. Orang yang tinggal di kota besar biasanya juga punya hobi ala orang kota besar. Misalnya traveling. Jika kebetulan pacar (calon istri) saya juga begitu, benturan kebiasaan akan terjadi. Dia biasa keluyuran ke mana-mana, saya biasa damai tinggal di rumah.

Saya orang rumahan, yang tenteram tinggal di rumah. Jika punya mbakyu (maksudnya punya istri), saya ingin tetap seperti itu; damai di rumah. Kalau pun keluar, paling ke swalayan untuk belanja kebutuhan tertentu. Bahkan salah satu alasan besar saya mau punya pasangan—hingga bersedia menikah—karena tidak ingin keluar rumah untuk cari makan!

Mungkin saya termasuk pria “kuno”, dan sejujurnya saya sangat mengharapkan pasangan yang pintar masak, lebih spesifik; memasak masakan tradisional! 

Masalah yang saya hadapi setiap hari adalah urusan mencari makan. Untuk makan, saya harus keluar rumah, dan itu artinya harus berurusan dengan kemacetan, aneka kegilaan di jalan, atau bahkan hujan. Dan saya harus menghadapinya setiap hari, setiap malam. 

Tolong tidak usah menyarankan pesan makanan ala GoFood—saya punya pertimbangan sendiri kenapa tidak pernah tertarik melakukannya. 

Jika kelak menikah, saya ingin masalah sehari-hari itu hilang. Artinya, saya bisa makan di rumah tanpa harus repot keluyuran. Dan untuk memenuhi hal itu, solusinya sederhana; saya harus punya istri yang pintar masak! 

Setiap orang punya hak menentukan kriteria ideal pasangannya masing-masing, dan itulah kriteria ideal pasangan yang saya harapkan. Tipe mbakyu, dan pintar masak! Sudah, itu saja. 

Bertolak dari pemikiran-pemikiran itu, saya jadi apatis untuk menjalin hubungan serius dengan wanita yang tinggal di kota besar, yang biasa menjalani gaya hidup ala orang kota besar. Karena bahkan umpama dia mau tinggal bersama saya di kota kecil, saya khawatir akan membuatnya tertekan, karena serupa pindah dari laut ke akuarium. Mungkin saya bahagia bersamanya, tapi dia belum tentu.

So, saya pikir, jauh lebih baik jika saya menemukan pasangan yang tinggal sekota. Selain jarak yang lebih mudah dijangkau, urusan selanjutnya juga lebih mudah, karena kami memiliki latar belakang yang sama, kebiasaan serta gaya hidup yang sama, sebagaimana umumnya orang yang tinggal di kota kecil. Saat akhirnya kami tinggal bersama, tidak ada “kekagetan” apa pun, karena nyatanya sejak dulu sudah tinggal di sini.

Mungkin, suatu hari kelak, entah di mana, saya akan menemukan pasangan seperti yang ada dalam bayangan; tipe mbakyu, dan pintar masak. Saat itu terjadi, saya akan tahu bahwa dialah yang saya tunggu. Dan mungkin saya akan menyatakan cinta, mengajaknya menikah, lalu kami tinggal bersama. Menjalani kehidupan bersahaja, seperti umumnya orang di kota kecil.

Saya tidak berani percaya bahwa menikah akan menjamin kebahagiaan. Tapi hidup bersama mbakyu yang pintar masak artinya menyelesaikan masalah saya yang terbesar. Dan itu saja sudah cukup.

 
;