Jumat, 10 September 2021

Doktrinasi dan Glorifikasi Pernikahan Itu Menyesatkan

Betapa indahnya menikah, karena membuatmu memiliki pasangan, dan kau tak sendirian lagi, tak kesepian lagi, dan kau bisa pamer kemesraanmu di media sosial untuk bikin iri orang-orang lain, seolah surga hanya milikmu. Oh, well, betapa indahnya menikah. 

"Kamu kayaknya sinis banget sama pernikahan. Emang anti-pernikahan dan tidak akan menikah, atau gimana?"

Aku tidak sinis apalagi anti pada pernikahan. Yang membuatku sinis dan anti adalah glorifikasi pernikahan yang berpotensi menyesatkan orang-orang dan bisa menimbulkan korban.

Mengglorifikasi pernikahan seolah menikah adalah solusi untuk semua masalah adalah sebentuk pembodohan sekaligus penyesatan, karena orang-orang yang tidak tahu realitas pernikahan akan terbujuk. Ketika realitas yang dihadapi ternyata berbeda, mereka bisa menyesal dan tertipu.

Mungkin belum terlalu bermasalah ketika dua orang yang menikah memilih cerai, ketika menghadapi realitas pernikahan yang ternyata pahit dan menekan—yang tak sesuai doktrinasi dan glorifikasi yang mereka dengar sebelumnya. Tapi bagaimana jika mereka telah punya anak-anak?

Ketika dua orang dewasa menikah, dan belakangan merasa kecewa hingga memutuskan bercerai, masalah bisa dibilang selesai. Toh keduanya sudah sama-sama dewasa dan bisa melanjutkan kehidupan sendiri-sendiri. Tapi jika perkawinan sudah menghasilkan anak, merekalah yang jadi korban.

Anak-anak yang terlahir karena perkawinan, tidak tahu apa-apa soal perkawinan orang tua mereka. Tapi ketika orang tua bercerai, justru anak-anak itulah yang menjadi korban pertama. Mereka bukan hanya korban perceraian, tapi juga korban doktrinasi dan glorifikasi perkawinan!

Karenanya, glorifikasi dan doktrinasi ndakik-ndakik soal pernikahan mestinya sudah harus ditinggalkan, karena ia menciptakan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Jauh lebih baik memberi tahu dan menyadarkan para lajang, mengenai realitas perkawinan yang sering kali berat.

Alih-alih mengompori indahnya menikah yang kadang tak masuk akal, jauh lebih baik dan bijaksana memberi tahu mereka, "Pernikahan tidak seindah yang kaubayangkan, Nak. Kau perlu mental, persiapan, dan hati yang besar, untuk melakukannya."

Tapi siapa yang mau jujur seperti itu?

Jika kita mau jujur, glorifikasi bahkan doktrinasi ndakik-ndakik soal perkawinan sebenarnya lahir karena orang-orang yang menikah ingin membuktikan pada orang lain bahwa pernikahan mereka bahagia. Yang tidak mereka sadar... kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak bisa dibuktikan!

Terkait kebahagiaan—termasuk kebahagiaan dalam perkawinan—aku percaya satu hal; jika orang berusaha membuktikan bahwa dia punya, maka artinya dia tidak punya! Karena bidadari di surga tak pernah membuktikan mereka tinggal di surga, sebagaimana iblis yang terbakar nyala di neraka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Januari 2020.

 
;