Jumat, 10 September 2021

KDRT

Lagi googling untuk riset sesuatu, gak sengaja nemu artikel-artikel ini. 


Ada 137 perempuan di dunia yang tewas setiap hari karena KDRT. Itu artinya ada sekitar 6 perempuan yang terbunuh setiap jam di rumah atau di tengah keluarganya sendiri. Itu pun yang namanya jelas tercatat sebagai korban KDRT. Bagaimana dengan yang tidak tercatat?

Jika statistik itu sudah terdengar mengerikan, ada yang lebih mengerikan; tidak semua korban KDRT tewas! Artinya, di antara ratusan perempuan yang tewas setiap hari karena KDRT, ada ratusan lagi—atau bahkan mungkin ribuan—yang juga menjadi korban KDRT, tapi tidak terdata.

Di Bali, sekian waktu lalu, misalnya, ada perempuan yang kakinya dimutilasi oleh suaminya sendiri. Dia tidak tewas, tapi cacat seumur hidup. Di berbagai tempat, KDRT terjadi, dan bisa jadi juga ada di rumah tetangga kita. Tapi mungkin kita tidak tahu, sampai “bukti”nya terlihat.

Bahkan ketika orang-orang tahu ada KDRT, reaksi masyarakat kita, rata-rata, masih “primitif”, dan menganggap itu “urusan rumah tangga orang lain”. Lebih primitif lagi, mereka menganggap KDRT yang terjadi di rumah tetangga sebagai semacam “topik obrolan yang mengasyikkan”.

KDRT adalah masalah rumit, bahkan jika kita melihat kasus itu dari luar (bukan pihak yang terlibat). Bayangkan seorang wanita jadi korban KDRT, dan pulang ke rumah orang tua, misalnya. Belum tentu orang tua si wanita akan bisa menerima masalah itu dengan sikap yang tepat.

Ada banyak orang tua yang, ketika anak perempuannya pulang setelah bertengkar dengan suami, justru menyalahkan si anak. Alasannya bisa macam-macam, dan yang paling klise adalah “istri harus menurut suami”—tanpa memahami konteks masalah yang mungkin terjadi.

Jika orang tua kandungnya saja bisa bersikap seperti itu, apa lagi orang lain yang asing? Mungkin karena itu banyak korban KDRT memilih diam saja, memendam penderitaannya sendiri, karena mereka sadar belum tentu orang lain akan memahami yang ia alami dan rasakan.

Gebleknya, ketika korban KDRT mengalami masalah berat—semisal kasus mutilasi di Bali—atau bahkan sampai tewas, orang-orang dengan sok lugu berkata, “Kenapa dia tidak menceritakan masalahnya ke kita?” 

Wong umpama dia menceritakan pun belum tentu kita peduli!

Karenanya, KDRT adalah masalah rumit. Kalau pencuri masuk ke rumah kita, dan kita mengadu, Ketua RT sampai Kapolsek akan paham itu kejahatan—terlepas barang yang dicuri paling celana dalam. Tapi kalau lapor karena jadi korban KDRT, belum tentu mereka akan paham.

Masalah itu kian parah jika si korban KDRT kebetulan tinggal di lingkungan buruk; tempat orang-orang kurang kerjaan menjadikan acara menggunjing tetangga sebagai kewajiban. Alih-alih peduli, mereka justru akan menjadikan masalah KDRT sebagai bahan gunjingan baru.

Realitanya, kita hidup dalam sistem kemasyarakatan semacam itu. Ada banyak orang—termasuk orang-orang di sekitar kita—yang justru “senang” saat mendapati tetangganya kena masalah, termasuk masalah KDRT. Kita jelas tidak bisa berharap banyak pada mereka.

Jika kita bertanya kenapa KDRT bisa terjadi, jawabannya tentu bisa banyak, dan panjang sekali. Tetapi, menurutku, penyebab utama KDRT—dan segala masalah umum yang terjadi di rumah tangga—adalah kurangnya kedewasaan nalar dan kematangan berpikir.

Ada banyak wanita (istri) yang menjengkelkan, itu fakta. Sebegitu menjengkelkan, sampai suami stres dan tidak nyaman tinggal di rumah. Tapi juga ada banyak pria (suami) yang biadab (atau katakanlah, tidak bertanggung jawab), dan sekali lagi itu fakta, hingga si istri frustrasi.

Perilaku buruk semacam itu (menjengkelkan dan tidak bertanggung jawab) adalah bukti belum dewasanya mental/pikiran seseorang, ketika memutuskan menikah. Pertanyannya, tentu saja, KENAPA MEREKA BISA MENIKAH, PADAHAL JELAS-JELAS BELUM DEWASA? 

Inilah kenapa kita pantas ngamuk kalau mendapati orang-orang yang suka memprovokasi muda-mudi agar cepat kawin dengan segala doktrinasi dan glorifikasi. Wong mereka masih belia, belum tahu apa-apa, tapi malah disuruh cepat kawin, sambil dikibuli habis-habisan.

Ocehan ini, kalau kuteruskan, bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 8391. Tapi setidaknya, sekarang, kalau ada orang ngoceh bahwa “menikah akan membuatmu bahagia”, kita bisa sodorkan fakta keparat ini: Ada 137 wanita yang tewas setiap hari karena KDRT. 

 
;