Makin hari, aku merasa makin frustrasi dengan pandemi sialan ini.
Mungkin banyak orang lain yang juga merasakan hal sama.
Simpang Lima di kota saya adalah salah satu kawasan yang selalu ramai, khususnya di malam hari. Ada banyak sekali pedagang yang jualan di sana—dari makanan sampai aneka jajan—dan biasanya juga banyak pembelinya. Biasanya, para pedagang di sana mulai buka sore atau malam hari, lalu tutup menjelang tengah malam atau setelah dagangan habis.
Tetapi, sejak ada PPKM, kawasan Simpang Lima berubah senyap. Lampu-lampu yang ada di sana dipadamkan oleh pemerintah daerah, sehingga suasana di sekitar pun gelap. Para pedagang tidak berani jualan, karena sewaktu-waktu ada razia. Orang-orang—khususnya anak-anak muda yang biasa nongkrong di sana—juga ikut menghilang.
Setelah ada PPKM, anak-anak muda yang biasa nongkrong di sana mungkin hanya kehilangan tempat nongkrong. Tapi bagaimana dengan para pedagang yang mencari nafkah di tempat itu?
Adanya larangan berjualan di Simpang Lima—dan kawasan-kawasan lain yang biasa ramai—secara langsung mengurangi, atau bahkan mematikan, mata pencaharian mereka. Bagaimana pun, para pedagang di malam hari itu rata-rata mulai buka sore hari atau setelah maghrib. Kalau dua jam kemudian mereka harus tutup karena PPKM, apakah mereka sudah mendapat rezeki yang cukup untuk bertahan hidup?
Saya mulai memikirkan hal itu, setelah tak sengaja melihat ibu-ibu menuntun sepeda, dan di bagian belakangnya ada termos es yang terikat di boncengan. Di termos es itu ada kertas bertulisan “Wedang Jahe, Rp2000”. Tulisannya tidak rapi, dan kertas yang digunakan untuk menera tulisan itu berasal dari buku tulis.
Karena iba, saya menghentikan ibu-ibu itu, dan membeli dagangannya—wedang jahe dibungkus plastik. Saya bilang kepadanya, seumur-umur baru kali itu saya menemukan penjual wedang jahe keliling.
Dia lalu bercerita. Sebelumnya, dia biasa mangkal (berdagang di satu tempat), di salah satu bagian Simpang Lima. “Biasanya saya jualan malam hari,” katanya. Tetapi, setelah ada PPKM, dia tidak bisa jualan di Simpang Lima seperti biasa. Dia juga tidak bisa berkeliling jualan malam hari, karena khawatir kena razia. Akhirnya, dia pun terpaksa berdagang keliling siang hari.
Dari kisah itu, saya lalu terpikir pada para pedagang lain yang biasa mangkal di Simpang Lima. Bagaimana nasib mereka, setelah ada PPKM? Apakah mereka juga bertahan hidup seperti yang dilakukan ibu penjual wedang jahe?
Selain Simpang Lima, kawasan kota yang juga selalu ramai setiap hari adalah Lapangan Mataram. Dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam, Lapangan Mataram dan sekitarnya penuh orang jualan aneka makanan, dan kita bisa wisata kuliner di sana, karena hampir semua makanan ada. Salah satu favorit saya adalah batagor.
Suatu siang, dalam perjalanan, saya mampir ke warung batagor di sana. Saat sampai di Lapangan Mataram, saya agak kaget, karena suasananya sangat sepi—jauh beda dengan hari-hari biasa yang selalu ramai.
Saya menuju ke warung batagor, dan bertanya ke penjualnya, “Kok sepi sekali, Bu?”
“Iya,” jawab ibu penjual batagor. “Sejak PPKM, warung-warung di sini pada tutup, soalnya tidak laku. Pembeli sepi, karena ada larangan berkerumun. Yang datang ke sini (ke Lapangan Mataram) paling satu dua, dan dibawa pulang.”
Saya jadi bingung. “Duh, jadi saya tidak bisa makan batagor di sini?”
Ibu penjual batagor nyengir. “Bisa, tapi di sini (di belakang gerobaknya).”
Lalu, setelah menyerahkan piring batagor, dia menggelar karpet di dekat gerobaknya, dan mempersilakan saya duduk. Saya makan batagor, tapi kayak mengisap sabu-sabu, karena khawatir kalau-kalau ada Satpol PP datang.
Lapangan Mataram, tempat saya makan batagor waktu itu, memiliki trotoar yang lebar, dan biasanya di pinggir-pinggir trotoar itu digelari karpet untuk lesehan para pembeli. Waktu itu, ketika saya makan batagor di sana, tidak ada lagi karpet untuk lesehan. Satu-satunya karpet ya yang saya duduki waktu itu—bukan di pinggir trotoar seperti biasa, tapi di belakang gerobak penjualnya.
Di kanan-kiri penjual batagor juga biasanya ada banyak penjual lain, dari penjual es cokelat sampai soto dan nasi bakar. Tapi waktu itu yang buka hanya warung batagor—mungkin karena sudah punya pelanggan setia, karena memang sangat terkenal. Jadi, seperti yang saya bilang tadi, Lapangan Mataram sepi setelah ada PPKM. Entah bagaimana nasib para penjualnya.
Selain warung-warung yang menyediakan aneka makanan, di kota saya juga ada pasar buah—deretan kios yang menyediakan aneka buah. Ada teman saya yang punya usaha jualan buah di salah satu kios di sana, dan saya tanya apakah bisnisnya ikut terdampak pandemi. Dengan nada pasrah, dia berujar, “Apa sih, yang tidak terdampak pandemi?”
Dia menceritakan, penjualan buah ikut terdampak sejak adanya pandemi, apalagi setelah ada PPKM. Ketika pandemi muncul, menurutnya, banyak orang kehilangan mata pencaharian. Daya beli merosot, dan hal itu juga berdampak pada pasar buah. Itu pun masih ditambah PPKM yang membatasi ruang gerak masyarakat. “Sedikit sekali yang beli buah,” katanya.
Yang membuatnya mampu bertahan adalah stroberi, dia menceritakan. Dia mendapat pasokan stroberi dari seorang wanita asal Bandung. “Namanya Teh Lilis. Dia bekerja di sini (di sebuah perusahaan tekstil). Sebulan sekali dia pulang ke Bandung, dan saat kembali ke sini membawa stroberi yang aku jualkan.”
Stroberi termasuk buah langka di kota kami, dan menyediakan stroberi membantu teman saya bertahan di kios buahnya. Sayangnya, belakangan ini Teh Lilis pulang ke Bandung, dan belum pernah muncul lagi.
“Ibunya meninggal,” kata teman saya, “tiga hari setelah vaksin.”
Setelah itu dia menceritakan panjang lebar, “Teh Lilis punya tiga anak, dan sudah cerai dengan suaminya. Selama ini, anak-anaknya yang masih kecil diasuh oleh ibu Teh Lilis. Ketika ibunya meninggal, Teh Lilis tidak bisa lagi meninggalkan anak-anaknya, karena tidak ada pengasuh. Jadi ada kemungkinan dia tidak bisa lagi ke sini.”
Soal ibu Teh Lilis yang meninggal tiga hari setelah vaksin, teman saya berkata ragu-ragu, “Bisa jadi kebetulan saja. Menurut Teh Lilis, ibunya punya penyakit jantung. Jadi, ada kemungkinan meninggalnya karena penyakit jantung.”
Siang itu, saat kami mengobrol di rumahnya, karena dia tidak lagi jualan di kios, dia mengatakan, “Pandemi ini merusak segalanya, ya?”
Saya mendengar nada keluhan dari ucapan itu. Tapi siapa yang bisa menyalahkannya?