Aku pernah baca cerita seseorang di blog, terkait ojek online (ojol). Ceritanya, dia mau pulang, butuh ojol, tapi ponselnya eror, jadi gak bisa mesan ojol. Dia lalu masuk minimarket, beli aqua (sebagai dalih), lalu minta tolong kasir minimarket agar memesankan ojol untuknya.
Sayang, kasir minimarket tidak bisa membantu, karena di ponselnya tidak ada aplikasi ojol semacam Gojek atau lainnya.
Orang tadi kecewa, dan makin pusing. Akhirnya dia masuk kafe, dengan harapan orang-orang di kafe ada yang bisa membantunya memesan ojol pakai ponsel mereka.
Orang tadi memesan sesuatu di kafe. Di sana ada 5 tamu, dan 2 orang petugas kafe. Orang tadi menemui satu per satu tamu di kafe itu, meminta tolong memesankan ojol, tapi tidak ada satu pun yang bisa—termasuk 2 petugas kafe. Mereka semua tidak memakai aplikasi ojol di ponsel!
Orang tadi makin stres, dan marah. Di blognya, dia menulis kira-kira seperti ini, "Aku tidak percaya mereka semua tidak pakai aplikasi ojol di ponselnya! Hari gini, apa kalian percaya ada orang yang sama sekali tidak pakai aplikasi ojol?"
Dalam hati, aku menjawab, "Aku percaya."
Ya, aku percaya bahwa hari gini ada orang-orang yang tidak pernah memakai ojol, hingga di ponsel mereka tidak terinstal aplikasi semacam itu. Aku percaya bahwa meski ada jutaan orang yang menggunakan ojol, bukan berarti SEMUA orang pasti begitu.
Ini kebenaran yang sederhana.
Orang tadi menatap/menilai orang-orang lain dengan kacamata pengguna ojol. Dia mungkin setiap hari menggunakan ojol, dan memesan ojol lewat ponselnya. Sebegitu intim dia dengan ojol, hingga dia sulit percaya bahwa ada banyak orang yang sama sekali tidak pernah menggunakan ojol.
Aku percaya bahwa di luar sana ada orang-orang yang, meski mungkin gaul dan modern serta akrab dengan teknologi, tapi sama sekali tidak pernah menggunakan ojol, dan tidak menginstal aplikasi semacam itu di ponselnya.
Aku salah satunya. Tidak ada aplikasi ojol apa pun di ponselku.
Kalau ditanya kenapa aku tidak menginstal aplikasi ojol di ponsel, jawabannya sederhana; karena memang tidak butuh.
Aku punya motor di rumah, dan jarang dipakai. Jadi kalau ingin keluar ke tempat yang dekat, mending pakai motor sendiri daripada naik ojol. Lebih bebas dan nyaman.
Kalau ditanya, apakah aku pernah naik ojol? Pernah, satu kali, dalam kondisi darurat, dan dipesankan teman lewat ponselnya. Bisa jadi, itu menjadi pengalaman pertama sekaligus terakhir. Aku sama sekali tidak nyaman. Karena driver-nya terus menerus ngoceh sepanjang perjalanan!
Waktu itu, sejak aku duduk di jok motor dan mulai melaju, driver ojol ngoceh tanpa henti. (Belakangan aku tahu, itu rupanya kebiasaan hampir semua driver ojol di mana pun).
Jadi, sepanjang perjalanan waktu itu, aku seperti mendengarkan radio rusak yang suaranya tidak jelas.
Yang membuatku tidak nyaman sebenarnya bukan semata ocehannya, melainkan dampaknya. Selama berkendara, konsentrasi driver terpecah antara fokus pada jalan di depan, dan fokus pada ocehannya. Akibatnya, dia berkendara dengan berbahaya, bahkan sampai melanggar lampu merah.
Perlu kukatakan di sini, driver yang semacam itu tentu tidak semuanya, dan kebetulan saja aku mungkin apes dapat driver yang kurang hati-hati berkendara, karena terlalu banyak ngoceh sepanjang perjalanan. Yang jelas, pengalaman pertama itu membuatku trauma dengan ojol.
Banyaknya driver yang suka ngoceh sepanjang perjalanan—berdasarkan yang kubaca-baca selama ini di TL—mungkin dilatari karena ingin memberikan kesan baik dan ramah pada penumpang. Sayangnya, keinginan baik itu bisa berbahaya kalau tidak diikuti kehati-hatian selama berkendara.
Dalam hal ini, aku justru lebih suka naik ojek atau taksi—atau apa pun—yang driver-nya fokus pada jalan raya, dan tidak banyak omong! Cukup diam saja, berkendaralah dengan baik, fokus pada jalan di depan, dan antarkan aku sampai tujuan... maka aku akan memberikan bintang lima!
Tampaknya, para driver ojol perlu memahami bahwa TIDAK SEMUA ORANG SUKA NGOBROL MBAH-MBUH, apalagi dalam perjalanan naik motor di jalan raya yang ramai dan bising. Itu sangat tidak nyaman! Kalau mau ngobrol mbah-mbuh, mending kita mampir ke warung sambil minum teh dan udud!
Driver ojol dan penumpang biasanya dua orang asing yang hanya bertemu beberapa menit (sepanjang perjalanan). Ketika dua orang asing bercakap-cakap dalam waktu yang relatif singkat, kira-kira sepenting apa percakapan itu?
Ini berbeda kalau misal dua orang teman yang memang akrab.
Kalau sepasang teman (dalam arti saling kenal) naik motor berboncengan sambil ngobrol, percakapan mereka adalah percakapan antarteman—bukan percakapan di antara dua orang asing. Mungkin sama-sama mbah-mbuh, tapi mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang asing; kedekatan.
So, jika aku ditanya seperti apa "driver ojol ideal", maka jawabanku adalah driver yang fokus pada perjalanan, berkendara dengan baik, tidak banyak omong, dan tanggap dengan kebutuhan penumpang. Sudah, itu saja sudah cukup, dan penumpang pasti akan memberikan bintang lima.
Jika kelak perusahaan ojol mampu memberi jaminan semacam itu (driver yang fokus pada kerjanya, dan tidak banyak ngoceh-tidak-penting selama bekerja), mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menggunakan ojol. Untuk saat ini, aku lebih memilih memacu motorku sendiri. Lebih nyaman!
((((Disclaimer)))))*
Ocehan ini ditulis bocah yang jarang keluar rumah, punya motor tapi jarang dipakai, dan tidak suka ngoceh-tidak-jelas dengan orang asing. Karenanya, sudut pandang ini bisa jadi (dan hampir pasti) akan berbeda dengan kebanyakan orang lain.
*Koyo opo wae.
....
....
Nyambung ocehanku semalam, ini salah satu hal yang kuhindari dari aktivitas "ngoceh-tidak-jelas" dengan orang asing, khususnya driver ojol. Karena ngobrol-tidak-jelas dengan orang asing bisa berujung eksploitasi (selain kurangnya fokus dalam berkendara).
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12-13 September 2019.