Selasa, 01 Juni 2021

Kebangsatan Struktural dan Sistemik

Lagi nunggu seseorang untuk makan siang bareng. Iseng buka Twitter, ternyata ribut-ribut kemarin belum selesai. 

Dan karena aku juga kebetulan lagi selo, jadi gatel ingin ikut ngoceh.

Orang mau punya anak atau tidak, sebenarnya hak dan pilihan masing-masing. Karena adanya "hak dan pilihan" itulah, lalu muncul tanggung jawab. Karenanya, hal penting terkait ini sebenarnya bukan apakah seseorang mau punya anak atau tidak, tapi kesadaran diri.

Tidak usah sampai punya anak, wong menikah pun sebenarnya butuh kesadaran diri. Sampai sekarang aku tidak/belum menikah juga karena dilatari hal itu; karena sadar belum layak melakukannya. Daripada nantinya malah menelantarkan pasangan (dan anak), aku memilih menahan diri.

Yang susah, kita hidup di tengah masyarakat yang suka rese. Orang tidak/belum menikah karena sadar belum layak melakukan, malah dinyinyiri dan terus-terusan ditanya kapan kawin. Sementara yang sudah menikah, dinyinyiri dan terus menerus ditanya kapan punya anak.

Bahkan yang sudah punya satu anak pun masih dinyinyiri dan ditanya kapan nambah anak. Masyarakat kita sepertinya belum dapat hidup tenteram kalau belum melihat kita menikah dan punya anak-anak. Kondisi itu menjadikan banyak orang tertekan dan (tanpa sadar) terpaksa melakukan.

Aku percaya, ada banyak orang (laki-laki maupun perempuan) yang sadar mereka belum layak menikah, terlepas apa pun alasannya. Kesadaran itu pun menjadikan mereka damai menjalani hidup meski sendirian (tanpa pasangan). Bagi mereka, tidak apa-apa menjadi lajang, asal hidup damai.

Tapi sistem sosial kita seperti menempatkan para lajang (laki-laki maupun perempuan) di kasta terendah; dianggap belum "sempurna" jika belum menikah. Karenanya, meski mereka—para lajang—hidup bahagia, masyarakat tidak rela. Masyarakat terus menyinyiri kapan mereka menikah.

Di bawah tekanan masyarakat semacam itu, tidak semua orang kuat. Sebagian mereka lalu terpaksa menikah, demi membungkam nyinyiran masyarakat, agar bisa hidup damai.

Tapi mereka salah sangka. Ketika mereka menikah, masyarakat masih nyinyir, kali ini bertanya kapan punya anak.

Ada banyak pasangan yang hanya punya satu anak, meski telah menikah bertahun-tahun. Pasangan semacam itu biasanya memang memilih untuk punya satu anak, biar fokus mendidik dan membesarkannya, atau pun karena alasan lain. Tapi masyarakat sering kali "tidak rela" dan terus nyinyir.

Sekali lagi, di bawah tekanan nyinyiran masyarakat, tidak semua pasangan kuat. Sebagian dari mereka lalu punya beberapa anak, demi membungkam nyinyiran masyarakat. Dan ketika pasangan dengan banyak anak itu menjalani kehidupan susah, apakah masyarakat peduli? Sering kali tidak!

Boro-boro peduli, masyarakat kadang malah menyalahkan, "Sudah tahu hidup susah, tapi punya banyak anak!" Padahal masyarakatlah yang menciptakan kondisi itu. Tapi mereka hanya terus nyinyir, sementara konsekuensi dan tanggung jawabnya ada pada pasangan yang punya anak.

Kita sering meributkan kemiskinan struktural atau kemiskinan sistemik, dan sering lupa bahwa salah satu penyebabnya adalah masyarakat; orang-orang di sekitar kita hidup. Nyinyiran merekalah yang melahirkan sekian juta anak terluka, kelaparan, terpinggirkan, dan dilupakan.

Bisa jadi, kita bagian dari anak-anak itu—yang terlahir untuk tumbuh besar dan dewasa, dan menyadari tak punya privilese, lalu diam-diam mengutuk dunia tidak adil karena orang lain memiliki sesuatu yang tidak kita miliki. Sebagian dari kita bahkan terluka tanpa pernah sembuh.

Kini, bersama kedewasaan dan kematangan nalar, kita mulai sadar apa yang sebenarnya terjadi. Tentang orang tua kita, kondisi hidup yang kita hadapi, dan apa yang mungkin terjadi jika kita mengulang hidup orang tua; menikah dan punya anak. Tapi apakah masyarakat peduli? Tidak.

Masyarakat tidak peduli apa yang kita pikirkan, karena yang mereka pedulikan hanyalah apakah kita menikah dan punya anak-anak atau tidak! Dan mereka selalu punya setumpuk alasan agar kita cepat kawin dan beranak-pinak. Untuk hal itu, mereka bahkan punya setumpuk iming-iming.

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki," kata masyarakat. Dan ketika pernikahan kita bermasalah, mereka punya taktik lain, "Cobalah punya anak-anak, karena anak akan bla-bla-bla."

Lalu siklus dimulai. Anak-anak kita mengulang kehidupan kita, dan begitu seterusnya.

Tentu aku percaya, ada banyak pernikahan bahagia, rumah tangga tenteram, dan anak-anak tumbuh dengan baik juga sehat. Tapi akui sajalah, tidak semua pernikahan/keluarga pasti begitu. Kita yang sering meributkan privilese orang lain, biasanya berasal dari keluarga yang bermasalah.

Orang kadang sinis dan mengatakan, "Ocehan orang yang tak pernah miskin tidak perlu didengarkan, karena cuma omong-kosong." Kalau ada yang berpikir begitu, percayalah, aku pernah miskin, bahkan mungkin lebih miskin darimu. Jadi aku tahu, benar-benar tahu, apa yang kuocehkan.

Jadi, apakah sebagian kita tidak boleh menikah dan punya anak, atau bagaimana? Bukan boleh atau tidak boleh, karena menikah dan punya anak adalah soal pilihan. Karena ia pilihan, setiap orang bertanggung jawab pada pilihannya. Dan tanggung jawab butuh kesadaran. Sesederhana itu

Waduh, kurang titik.

Ulangi, deh.

Sesederhana itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Juli 2020.

 
;