Kamis, 10 Juni 2021

Amarah, Luka, dan Kutukan

Barusan baca ini di The Conversation. Meski pahit, sering kali kenyataannya memang setragis ini. Mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa.

Salah satu kutipan dari artikel tadi:

"Anak-anak dari keluarga miskin mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi..."

Anak-anak dari keluarga miskin—dan aku termasuk di dalamnya—rata-rata memang punya orang tua pemarah, bahkan tak jarang juga kejam pada anak-anaknya. Saat aku ngobrol dengan teman-temanku yang berlatar belakang serupa, mereka juga mengakui hal yang sama; orang tua mereka pemarah.

Belakangan, seiring makin dewasa, aku memahami bahwa kecenderungan mudah marah itu karena tekanan hidup yang berat. Kemiskinan, ditambah beban anak-anak, menjadikan sumbu emosi mereka sangat pendek dan mudah meledak. Kenakalan anak yang tak seberapa bisa membuat mereka stres.

Artikel di The Conversation menyatakan bahwa anak-anak dari keluarga miskin cenderung akan miskin ketika dewasa—sama seperti orang tuanya—dan kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarga, pola asuh, pergaulan, lingkungan, dan sebagainya. Tapi itu belum semuanya.

Sekarang aku ingin menambahkan sesuatu yang tak diungkap artikel di The Conversation. Berdasarkan pengamatan dan pengakuan antarteman, anak-anak dari keluarga miskin juga rentan mengalami masalah emosi yang mengkhawatirkan. Dari rendah diri akut sampai ditikam depresi.

Sebagian temanku memiliki latar belakang serupa denganku—kemiskinan, kepahitan, luka, orang tua kurang pendidikan dan pemarah—dan kami bisa berteman dekat karena kesamaan itu. Ajaibnya, kami juga seperti "orang-orang kembar" dengan sifat, pola pikir, dan kepribadian yang sama!

Kami termasuk orang-orang beruntung, karena bisa keluar dari jerat kemiskinan. Dengan kata lain, kami berhasil mematahkan tesis yang tertulis di artikel The Conversation tadi, dan bisa jadi kami minoritas. Tetapi, bahkan seperti itu pun, bukan berarti masalah kemudian selesai.

Ada sesuatu di dalam diri kami—aku biasa menyebutnya "amarah dan luka"—yang sulit dipahami orang-orang lain. Sebentuk trauma psikologis yang hanya dapat dipahami orang-orang dengan latar belakang sama, yang membuat kami berpikir bahwa kemiskinan adalah kutukan mengerikan.

Mungkin lebih lengkap (dan lebih adil) jika aku mengatakan, "Kemiskinan dan kebodohan adalah kombinasi yang mampu menciptakan kutukan mengerikan."

Dan kami adalah anak-anak yang dikutuk oleh dua hal itu, yang membuat kami sangat marah pada dunia, dengan penuh amarah dan luka.

Ada anak-anak dari keluarga miskin, tapi memiliki jiwa yang sehat, dan dapat menjalani kehidupan dengan sama sehat. Bisa jadi, karena orang tua mereka relatif berpendidikan, sehingga bisa menerapkan pola asuh yang juga relatif baik. Mereka miskin, tapi setidaknya cukup beruntung.

Bahkan, sebagai sesama anak miskin, aku iri pada mereka yang seperti itu. Kami sama-sama menghadapi beban kemiskinan, khususnya di saat masih kecil, tapi setidaknya mereka beruntung karena memiliki orang tua yang bisa dipercaya dan diandalkan (karena relatif berpendidikan).

Berdasarkan refleksi pribadiku, tidak ada yang lebih merusak manusia selain kemiskinan yang bercampur kebodohan. Bahkan jika kau mampu keluar dari kondisi semacam itu, bekasnya akan tergurat dalam batinmu—sebentuk luka dan amarah yang kau tidak tahu bagaimana cara menghapusnya.

Kadang-kadang, dengan perasaan getir, aku berpikir bahwa anak-anak miskin yang tetap miskin saat dewasanya justru lebih baik... karena mereka "tidak menyadari apa yang telah terjadi, dan bisa tenang menjalani kehidupan". Tidak ada kegelisahan, tidak ada amarah, tidak ada luka.

Yang paling menyakitkan adalah ketika kau menyadari apa yang sebenarnya terjadi—hal-hal yang telah merusakmu sebegitu dalam—dan... akhirnya, kau pun akan memahami mengapa di dunia ini ada Thanos, Magneto, dan En Sabah Nur. Kesadaran bisa menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan.

Dalam bahasa filosofis, yang melukaimu sebenarnya bukan kemiskinan dan kebodohan... tapi kesadaran terkait keduanya.

Kalau ocehan ini aku lanjutkan, bisa jadi sampai subuh nanti belum juga selesai. Jadi cukup saja sampai di sini. Sebagai penutup, aku ingin mengakui sesuatu...

Aku belajar sangat keras, bukan karena ingin pintar. Tapi karena menyadari betapa merusaknya dampak kebodohan.

Aku bekerja sangat keras, bukan karena ingin kaya. Tapi karena tahu betapa mengerikannya dampak kemiskinan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2019.

 
;