Minggu, 01 Mei 2022

Agama yang Saya Percaya

Agama berdiri di atas dasar keyakinan.
Setiap pemeluknya punya kewajiban untuk
mempelajari keyakinannya, agar benar-benar
memahami yang diyakini.

Hanya dengan cara itu kita bisa benar-benar memahami
konteks, dan benar-benar beragama dengan ilmu,
pengetahuan, dan kesadaran.
@noffret


Di antara banyak pertanyaan, salah satu yang sering saya terima adalah, “Apakah kamu percaya agama?” 

Saya percaya agama yang berbasis pembelajaran, bukan agama yang berbasis doktrin. Agama yang berbasis pembelajaran “sibuk ke dalam”, sementara agama yang berbasis doktrin “sibuk keluar”.

Uraian soal ini bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9538, padahal urusan saya tidak hanya menulis untuk blog ini. Jadi, agar lebih singkat, kita gunakan contoh saja. Dan karena agama yang saya kenal sejak kecil adalah Islam, ocehan ini akan menggunakan perspektif muslim.

Well.

Sahih Bukhari-Muslim, sebagai contoh, hanyalah dua kitab. Yang satu ditulis Imam Bukhari, satunya lagi ditulis Imam Muslim. Tetapi dua kitab itu melahirkan lebih dari seribu kitab lain yang ditulis oleh para pemikir/pembelajar—atau yang biasa disebut ulama—dari masa ke masa.

Padahal, dua kitab yang ditulis Bukhari dan Muslim “cuma” hadist, yang posisinya di bawah kitab suci. 

Bertolak dari kenyataan itu, kita melihat betapa luasnya ilmu agama, kalau memang mau “benar-benar beragama”, atau “hijrah”, atau “kaffah”, atau apa pun sebutannya.

Ada lebih dari seribu pembelajar—di zaman kuno—yang masing-masingnya membedah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, dan dari mereka lahir lebih dari seribu kitab yang semuanya membahas inti sama, dengan beragam perspektif, dengan aneka cara berpikir.

Sekarang umpamakan saja, setiap orang Islam mau mempelajari seribuan kitab itu untuk mendalami agamanya, seumur hidup belum tentu selesai. Bahkan umpama kita melajang dan terus mempelajarinya, belum tentu akan selesai—apalagi ditambah kawin dan beranak pinak.

Itulah agama yang saya percaya, yakni agama yang berbasis pembelajaran; agama yang berproses untuk menyempurnakan sesuatu di dalam diri. Agama semacam ini tidak peduli dengan hal-hal di luar, karena menyadari setiap manusia memang berproses, dan prosesnya bisa jadi berbeda.

Agama berbasis pembelajaran membuat pelakunya sibuk belajar, dan menujukan pandangannya ke dalam, karena tujuannya memperbaiki diri. Ini bertolak belakang dengan agama berbasis doktrin, yang menjadikan pelakunya justru menujukan pandangan ke luar (orang lain).

Agama berbasis pembelajaran tidak peduli ada surga atau neraka—mohon maaf, itu mainan anak-anak. Kalau orang memang ingin menjadi manusia yang baik, dia tidak peduli apakah mendapat balasan atau tidak, karena tujuannya hanya ingin menjadi manusia yang baik.

Sampai di sini, selalu ada kemungkinan orang gatal ingin bertanya, “Kenapa kita harus percaya pada Bukhari dan Muslim, sebagaimana kita harus percaya pada seribuan orang yang menulis kitab-kitab lain?” 

Ada setumpuk jawaban rasional, yang menurut saya sulit dibantah. 

Bukhari dan Muslim menulis kitab Sahih mereka, semata-mata karena memang ingin melakukannya, dan mereka mengabdikan hidup mereka hanya untuk itu. Proses memilah dan memilih mana hadist sahih bukan pekerjaan mudah, itu butuh ketekunan dan waktu puluhan tahun.

Mereka melakukan pekerjaan sulit itu semata-mata karena menyadari, “Jika aku tidak melakukannya, belum tentu ada orang lain yang akan melakukan—padahal ini (mengumpulkan hadist sahih) harus dilakukan.” 

Latar belakang itu menjadikan Sahih Bukhari Muslim terpercaya.

Dan ingat fakta penting ini; Bukhari dan Muslim tidak mendapat royalti, tidak mendapat popularitas semisal tambahan follower di medsos, dan hasil kerja mereka juga tidak dimonetisasi. Jika ada orang melakukan sesuatu karena semata ingin melakukannya, dan sesuatu yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan orang banyak, ia layak dipercaya.

Begitu pula seribuan pembelajar lain yang mempelajari Sahih Bukhari Muslim; mereka sama-sama melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya, dan seribuan kitab lain itulah hasilnya. Mereka tidak peduli kita akan membacanya atau tidak; mereka hanya melakukan yang mereka pikir perlu dilakukan.

Latar belakang semacam itulah yang menjadikan ijtihad (upaya menemukan kebenaran) tidak pernah salah. Karena bahkan umpama mereka salah, kita tidak bisa menyalahkan, karena mereka telah mengupayakan seluruh daya yang dimiliki, sesuai konteks dan peradaban zamannya.

Dan itulah “agama” yang saya percaya; agama berbasis pembelajaran, sesuatu yang terus berproses dan belum selesai, karena berupaya memperbaiki diri. 

Pembelajaran membuat manusia terus berproses; doktrinasi menjadikan manusia berhenti karena merasa selesai.

 
;