Jumat, 20 Mei 2022

Hal-Hal Menjengkelkan Terkait Gofood

Dari tadi lapar, pesan Gofood gak juga dapat driver,
sementara di luar hujan. Mau keluar juga males banget.
Iseng buka Twitter, dan sekarang aku jadi ingin ngoceh.
@noffret


Tempo hari, sebagian orang ribut soal Gofood di Twitter, dipicu oleh Warpopski yang memilih hengkang dari Gofood karena tidak nyaman dengan sistem Gofood. Pro kontra pun mengiringi. Sebagian orang memaklumi tindakan Gofood yang kini menampakkan taring kapitalisnya, sementara sebagian lain mengeluhkan harga/tarif di Gofood yang kini tak masuk akal.

Sebagai pengguna Gofood, saya ikut mengalami keresahan terkait hal itu.

Saya memakai layanan Gofood karena sering mengalami kondisi ketika saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan, tapi perut kelaparan. Ada masa-masa ketika saya harus tetap duduk dan konsentrasi pada pekerjaan yang saya hadapi, sementara perut keroncongan karena belum makan apa pun. Jika saya keluar rumah untuk cari makan, pekerjaan akan terbengkalai. Sementara jika saya meneruskan konsentrasi pada pekerjaan, saya bisa semaput.

Gofood hadir menawarkan solusi untuk masalah itu. Dengan layanan Gofood, saya tinggal membuka ponsel, memesan makanan, dan bisa tetap duduk serta khuysuk menekuri pekerjaan. Maka saya pun lalu berlangganan Gofood. Dengan biaya yang masuk akal, saya pikir Gofood adalah layanan ideal. 

Tetapi, bahkan sejak pertama kali, sebenarnya saya sudah tidak nyaman memakai Gofood, karena hal-hal tertentu. 

Pertama, pilihan yang terbatas.

Ada banyak sekali resto atau kafe di Gofood, dengan aneka makanan, minuman, dan jajan. Kelihatannya sangat banyak. Tetapi, bagi saya, pilihan yang ada di Gofood sangat terbatas. Dari banyak sekali resto yang menyediakan nasi, misalnya, yang cocok bagi saya—sejauh ini—hanya ada tiga!

Dulu, waktu awal-awal menggunakan Gofood, saya menjajal hampir semua resto yang [tampaknya] menyediakan makanan enak. Dari ayam geprek sampai ayam bakar, dan lain-lain. Dari masa-masa penjajakan itu, saya mendapati aneka masalah yang sebelumnya tak terpikirkan, khususnya bagi saya. Dari foto makanan yang ternyata tidak sesuai aslinya, sampai cita rasa yang membuat saya kapok.

Ada masakan-masakan yang cocok bagi lidah saya, misalnya, tapi nasinya lembek. Saya tidak doyan nasi lembek, jadi resto yang menyediakan nasi lembek otomatis akan tercoret dari daftar saya, dan saya tidak akan pernah memesan ke resto itu lagi. Bagi saya, nasi lembek adalah “kesalahan tak termaafkan”. Tak peduli seenak apa pun masakannya, saya tetap tidak doyan.

Ada pula resto yang menyediakan masakan enak, dan nasinya keras (akas), tapi “tidak match”. Misalnya begini. Ada resto yang menyediakan ayam bakar dan ikan bakar, plus nasi. Cuma itu. Layaknya ikan bakar atau ayam bakar, kita biasanya dapat lalapan dan sambal, kan? Nah, resto ini melengkapi ikan bakar atau ayam bakarnya dengan sambal ayam geprek yang pedasnya ngujubilah setan!

Saya benar-benar tidak habis pikir. Kenapa ayam bakar atau ikan bakar pakai sambal ayam geprek yang sangat pedas? Ikan bakarnya enak, ayam bakarnya enak, tapi sambalnya bikin misuh-misuh. Kenapa resto ini tidak membuat sambal yang tepat untuk ayam bakar atau ikan bakar yang mereka buat? Toh mereka juga tidak jualan ayam geprek!

Omong-omong soal ayam geprek, itu merupakan menu terbanyak di Gofood, dan saya merasa berputar-putar di situ. Karena rata-rata menu lain tidak cocok bagi lidah saya, dan ayam geprek sering kali jadi pilihan yang saya ambil dengan terpaksa. 

Sebenarnya saya tidak punya masalah dengan ayam geprek, tapi sambalnya itu yang bikin masalah—pedasnya bikin orang mau ngamuk. Dan tiap kali makan ayam geprek dengan sambalnya yang penuh angkara murka itu, saya harus menanggung sakit perut!

Apa tidak ada pilihan menu-menu lain yang lebih baik dan lebih sehat di Gofood? Sebenarnya ada, tapi saya tidak cocok. Kebanyakan menu masakan itu memiliki nama-nama yang sulit diucapkan lidah kita, dengan tampilan masakan yang, menurut tatapan saya, terlihat aneh—tipe-tipe masakan luar negeri, gitu, lah. Saya kurang cocok—untuk tidak menyebut tidak doyan—masakan semacam itu. Saya hanya cocok dengan masakan Indonesia.

Jadi, inilah masalah pertama yang saya hadapi di Gofood, yang membuat saya tidak nyaman, bahkan sejak pertama kali menggunakannya. Yaitu pilihan yang terbatas. Tiga resto yang jadi favorit saya di Gofood, kebetulan adalah resto yang biasa saya datangi—sudah sejak lama saya berlangganan di resto-resto itu, jauh sebelum saya mengenal Gofood.

Tiga resto itu mestinya bisa menjadi penyelamat ketika saya butuh makan tapi tidak bisa keluar rumah. Tetapi, sialnya, tiga resto itu sering tidak menerima pesanan lewat Gofood, akibat ramainya pengunjung di resto bersangkutan! Padahal, jika saya langsung datang ke resto-resto tersebut, saya selalu disambut hangat—pelayan-pelayan di sana sudah mengenal saya sebagai pelanggan setia. 

And know, inilah nasib saya terkait Gofood: Terjepit dalam pilihan yang sangat terbatas, lalu terpaksa memilih masakan yang akan membuat saya sakit perut!

Bahkan sejak awal menggunakannya, saya sudah tidak nyaman. Persis seperti pedekate, dan mendapati lawan bicara kita tidak nyambung.

Tapi saya tetap menggunakan Gofood selama waktu-waktu itu, karena keterpaksaan. Daripada pekerjaan terbengkalai, saya lebih memilih tetap di rumah dan membiarkan Gofood menangani kebutuhan makan saya. Meski, tiap kali membuka aplikasi itu, sejujurnya saya tidak pernah nyaman. Wong terpaksa, kok! Tidak ada orang nyaman karena terpaksa, kan?

Lalu, tibalah “bom” itu—faktor kedua yang bikin saya makin tidak nyaman menggunakan Gofood. Harga-harga melambung secara tak masuk akal, dan saya merasa “dikibuli” terang-terangan.

Di Gofood, ada semacam kasta. Kalau kita baru menggunakan Gofood, kasta kita disebut “Warga”. Semakin sering menggunakan Gofood—hingga habis banyak uang—kasta kita akan naik, dan disebut “Bos”. Naik lagi, kasta kita disebut “Juragan”. Naik lagi, kasta kita jadi “Anak Sultan”.

Dulu, waktu masih berkasta “Warga”, saya mendapati semua hal terasa murah di Gofood. Harga-harga makanan murah, biaya aplikasi murah, dan ongkos driver juga murah. Yang saya maksud “murah” adalah “masuk akal”. Dan semakin tinggi kasta yang saya tempati, saya mendapati harga-harga yang makin naik, dan terus naik.

Mula-mula saya tidak paham dengan hal itu. Pada setiap pergantian kasta, Gofood meminta saya melakukan update aplikasi. Dengan lugu, saya pun meng-update aplikasi Gofood, dan ternyata begitulah cara Gofood mengidentifikasi penggunanya. 

Semakin tinggi kasta seseorang, artinya semakin sering ia menggunakan Gofood, dan harga-harga semakin mahal. Mungkin, pikir Gofood, “Orang ini kayaknya banyak duit, tapi gak punya waktu.”

Dan kini, saya mendapati harga-harga di Gofood yang sudah sampai taraf tak masuk akal. Dari harga makanan, biaya aplikasi, sampai ongkos driver. 

Kondisi “tak masuk akal” itu terjadi karena Gofood menarik komisi dari tiap makanan yang terjual di aplikasi, menarik komisi dari biaya driver, plus menambah tetek bengek lain. Hasilnya, harga makanan bisa dua kali lipat dari harga aslinya, bahkan lebih.

Saya memahami bahwa bagaimana pun Gofood butuh mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, menutup kerugian dari uang yang telah mereka bakar, dan mulai menangguk keuntungan. Tetapi, menurut saya, cara mereka sangat kasar atau terlalu agresif, hingga membuat pengguna—bahkan juga mitra—merasa tertekan, untuk tidak menyebut “merasa dieksploitasi”. 

Di Gofood, ada resto yang menyediakan ikan bakar, dan saya cocok dengan masakan mereka. Ikan bakarnya enak, sambalnya cocok, dan nasinya juga akas. Jadi, saya pun sering beli ikan bakar itu di Gofood. Belakangan, saya tidak lagi mendapati resto ikan bakar itu, sampai sangat lama. Karena kangen, saya pun mendatangi langsung resto tersebut, untuk kembali menikmati ikan bakar yang saya sukai.

Di sana, saya tanya mengapa resto miliknya tidak lagi muncul di Gofood. Di luar dugaan, pemilik resto menyatakan, “Saya kasihan sama pembeli, Mas. Harga ikan bakar kami di Gofood jadi sangat mahal, dan saya tidak nyaman menjual semahal itu.” Jadi, mirip Warpopski, resto ikan bakar ini akhirnya memilih keluar dari Gofood, dan hanya menjual masakan secara langsung [untuk orang-orang yang datang ke resto mereka].

Sekali lagi, saya memahami bahwa Gojek—yang mengoperasikan Gofood—adalah perusahaan, dan mereka tentu harus menghasilkan keuntungan. Tapi caranya mbok yang cantik, hingga semua pihak merasa menang, dan bukan malah merasa dieksploitasi. Mosok startup Decacorn tidak bisa melakukan yang lebih baik daripada sekadar “cekik sana, cekik sini”? 

 
;