Selasa, 28 Juli 2015

Pria, Wanita, dan Masalah Kita

Kita memang makhluk subjektif. Meski kehidupan memiliki
banyak sisi, namun kita cenderung hanya menilai dari satu sisi.
@noffret


“Wanita tidak pernah salah,” kata pepatah populer. Saya tidak tahu sejak kapan pepatah itu mulai muncul dan beredar. Seingat saya, ketika dulu belajar menghafal pepatah di waktu SD, tidak ada pepatah itu. Yang masih saya ingat adalah pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, juga “hemat pangkal kaya”, dan “rajin pangkal pandai”.

Kemungkinan besar, pepatah “wanita tak pernah salah” mulai populer sejak era internet—setidaknya, saya mulai mengenal dan akrab dengan pepatah itu sejak sering nongkrongin Twitter. Berdasarkan yang saya tahu, pepatah itu muncul sebagai refleksi (atau olok-olok) dalam hubungan pria-wanita. Ketika pria dan wanita pacaran, pihak yang sering menjadi tumpuan kesalahan adalah pria. Kapan saja terjadi pertengkaran, pria akan selalu salah. Sebegitu sering atau banyaknya kasus semacam itu, muncullah pepatah “wanita tak pernah salah”.

Dalam kenyataan sehari-hari, kadang kita mendapati adegan mirip sinetron. Misalnya seorang wanita menampar pria. Ketika menyaksikan hal semacam itu, apa kira-kira yang ada dalam persepsi kita? Secara umum, saat menyaksikan wanita menampar pria, persepsi banyak orang kira-kira, “Pasti si pria telah kurang ajar!”

Sekarang, coba kita balik adegan tersebut—seorang pria menampar wanita. Apa kira-kira yang muncul dalam benak kita? Secara umum, persepsi banyak orang kira-kira, “Sungguh terlalu! Pria macam apa yang menampar wanita?!”

Coba lihat—wanita tak pernah salah. Ketika pria ditampar, kita menyalahkan si pria. Sebaliknya, ketika pria menampar, kita tetap menyalahkan si pria. Pria selalu salah! Pertanyaannya, sekarang, benarkah memang seperti itu? Benarkah pria memang selalu salah, khususnya dalam hubungan pria dan wanita? Benarkah wanita makhluk lemah (dan indah)—sebegitu lemah (dan indah) hingga tak mungkin berbuat salah?

“Wanita dijajah pria sejak dulu,” kata lagu lama. Mungkin, ya. Tapi yang “sejak dulu” belum tentu tetap berlangsung “sampai sekarang”. Sekarang, ada Komnas Perempuan, sebuah lembaga yang khusus mengadvokasi dan mengurusi masalah kaum wanita. Kita tahu, tidak ada lembaga serupa untuk pria, misalnya Komnas Lelaki.

Tentu saja kita mendukung keberadaan Komnas Perempuan, meski sebenarnya telah ada Komnas HAM yang secara khusus ditujukan untuk mengadvokasi hak asasi manusia. Omong-omong, seingat saya, wanita juga manusia. Tetapi, yeah, wanita tampaknya memang tak pernah salah.

Dalam suatu berita populer, pernah ada kejadian seorang wanita dijambret seorang pria. Rupanya, si wanita jago karate. Ketika tasnya dijambret, dia tidak berteriak histeris atau menangis. Sebaliknya, dia langsung mengejar si penjahat, merenggut kembali tasnya, kemudian menghajar si penjahat hingga luka-luka. Berita itu populer, dan para pembaca memuji-muji si wanita sambil tak lupa memaki si penjahat.

Sekarang, jika posisi kejadian itu dibalik, kira-kira bagaimana reaksi kita? Bayangkan saja seorang pria dijambret penjahat wanita. Si pria mengejar penjahat wanita yang menjambret tasnya, kemudian menghajarnya hingga terluka. Apakah kita akan tetap memuji si pria sembari memaki si penjahat yang kebetulan wanita?

Terdengar dilematis? Sekarang kita akan melihat kejadian nyata yang tak jauh beda, peristiwa yang benar-benar terjadi, yang bahkan lebih dilematis.

Di Mesir, ada seorang polwan (polisi wanita) bernama Nashwa Mahmud. Dia bertugas di Kairo. Sebagaimana umumnya wanita Mesir, dia juga berhijab. Dan sebagaimana umumnya polisi, dia juga dilengkapi peralatan keamanan, dari senjata api sampai senjata kejut berupa pentungan yang dapat mengalirkan listrik.

Pada 23 Juli 2014, Nashwa Mahmud menjadi buah bibir karena suatu peristiwa penangkapan. Dalam video yang beredar di internet, tampak polwan itu menyeret seorang pria dari tengah kerumunan di bioskop Metro, Kairo. Setelah berhasil menyeret si pria, Nashwa Mahmud memukul, menempeleng, hingga menyetrum si pria dengan pentungan listrik.

Berita itu dimuat di situs al Yawm-al-Sabi, portal berita terkenal di Mesir, dan banyak pembaca situs tersebut yang mendukung aksi Nashwa Mahmud. Para pengguna internet di Mesir bahkan membuat hastag khusus di Twitter, berbunyi #InSolidaritywithColonelNashwa. Mereka menilai tindakan Nashwa Mahmud hanyalah bagian dari melaksanakan tugas sebagai seorang polisi.

Jadi, Mesir adem ayem dengan kasus itu. Dunia juga adem ayem, seolah tak terjadi apa-apa. Seorang pria ditarik dari kerumunan bioskop, lalu—di hadapan banyak orang yang menyaksikan—seorang polisi wanita memukul, menempeleng, hingga menyetrum pria tersebut. Jika di hadapan banyak saksi mata saja seorang polisi merasa bisa berbuat sewenang-wenang, bisakah kita membayangkan yang mereka lakukan jika tidak ada saksi mata?

Tetapi, oh well, dunia adem ayem, karena perilaku kekerasan itu dilakukan wanita terhadap pria.

Sekarang bayangkan bagaimana kira-kira reaksi dunia, jika peristiwa kekerasan semacam itu terjadi dalam posisi terbalik? Apa kira-kira reaksi kebanyakan orang—termasuk kita—jika menyaksikan seorang polisi pria menganiaya seorang wanita, terlepas apa kesalahannya? Hampir bisa dipastikan, dunia akan ribut. Komnas Perempuan dan para aktivis HAM akan mencerca, sementara para selebtweet di Twitter tiba-tiba berubah menjadi pembela wanita.

Oh ya, tentu saja kita bisa mudah mengatakan, “Tidak seharusnya wanita dianiaya!” Karena itu pula, kita pun marah jika melihat wanita dianiaya, khususnya oleh pria. Tetapi, jika kita menentang penganiayaan terhadap wanita, kenapa kita seolah menganggap hal biasa jika penganiayaan terjadi terhadap pria? Kenapa kita tidak marah ketika melihat pria dianiaya, sebagaimana kita marah melihat wanita dianiaya?

Dalam kultur peradaban yang patriarkhis, wanita memang sering kali menjadi subordinasi dalam hubungan antara pria dan wanita. Tetapi, rupanya, posisi itu tidak selamanya menjadikan wanita selalu dalam posisi lemah. Sebaliknya, dalam banyak hal, posisi semacam itu justru memunculkan justifikasi bahkan legitimiasi jika terjadi kasus-kasus tertentu.

Belum lama, misalnya, sastrawan Saut Situmorang berpolemik di Facebook, sehubungan kasus penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Saut berada di posisi yang menentang penerbitan buku tersebut, dan posisi itu menjadikannya berseberangan dengan Fatin Hamama, wanita yang terindikasi terlibat dalam proses penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh. Singkat cerita, Saut memunculkan kata “bajingan” dalam polemik itu, dan dia dipolisikan dengan tuduhan “melecehkan wanita”.

Saya tidak bermaksud membela Saut Situmorang atau Fatin Hamama. Tetapi, sekarang, cobalah balik kasusnya. Andaikan saja Fatin yang mengeluarkan kata “bajingan” dalam polemik tersebut, bisakah Saut mempolisikan Fatin dengan tuduhan “melecehkan pria”?

Kenapa wanita merasa berhak (dan diberi hak) untuk melaporkan pria dengan tuduhan “melecehkan wanita”, tetapi pria tidak memiliki hak yang sama? Padahal aksi pelecehan—termasuk pelecehan verbal—tidak hanya dilakukan pria terhadap wanita, tapi juga dilakukan wanita terhadap pria. Tentu saja kita bisa mengatakan, “Tidak seharusnya wanita dilecehkan! Kehormatan mereka harus dijaga!” Kalau memang begitu, apakah pria boleh dilecehkan, dan kehormatan pria tidak perlu dijaga?

Kita mungkin terlalu lama hidup dalam kultur patriarkhis, hingga kultur itu kemudian membutakan mata kita, serta mengerosi kepekaan kita sebagai manusia. Kita tidak lagi menyadari bahwa pria dan wanita sama-sama manusia, dan tidak lagi peka untuk menyadari bahwa pria—sebagaimana wanita—juga manusia yang memiliki hak dan kehormatan sama.

Jika kita mendengar istilah “perkosaan”, apa yang langsung muncul dalam benak kita? Kebanyakan orang pasti akan mempersepsikan pria memperkosa wanita. Sebegitu kuat persepsi itu, hingga kita sulit membayangkan peristiwa sebaliknya. Padahal, tidak selamanya korban perkosaan pasti wanita. Ada kalanya, justru si wanita pelaku perkosaan, dan si pria adalah korban.

Sebagian orang mungkin mencibir, “Ah, itu kan kejadian langka. Sangat kasuistis!”

Kata siapa...?

Di Stockholm, Swedia, ada rumah sakit bernama South General Hospital. Rumah sakit itu membuka layanan UGD khusus untuk pria korban perkosaan. Fasilitas itu menyediakan dokter, perawat, psikolog, dan pekerja sosial, untuk membantu pria korban pemerkosaan. Dibukanya layanan tersebut, karena banyaknya pria yang menjadi korban kejahataan perkosaan di Swedia. Pada 2014 saja, tercatat ada 370 kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap pria. Jumlah itu secara kasatmata menunjukkan kepada kita, bahwa setiap hari di Swedia rata-rata ada satu pria yang diperkosa.

Memang, meski yang menjadi korban adalah pria, tidak semua pelaku perkosaan adalah wanita. Sebagian dari kasus itu—khususnya di Swedia—adalah perkosaan pria terhadap pria. Tetapi bahwa pria juga bisa menjadi korban perkosaan adalah fakta. Dengan kata lain, tidak selamanya korban perkosaan atau pelecehan seksual pasti wanita. Tetapi berapa banyak dari kita yang mau membuka pikiran untuk menyadari kenyataan semacam itu?

Teman saya, sebut saja Ferdinan, adalah pria yang menjadi salah satu “korban pemerkosaan” wanita. Dia bekerja di sebuah lembaga, dan terikat perjanjian tidak boleh menikah selama masih bekerja untuk lembaganya. Karena perjanjian itu, Ferdinan pun sangat menjaga diri, berhati-hati, bahkan selalu berusaha menjaga jarak dengan wanita mana pun. “Sayangnya”, Ferdinan tipe pria yang dikejar banyak wanita.

Dalam suatu pertemuan sosial, Ferdinan berjumpa dengan wanita yang ia tahu telah lama mengejar-ngejarnya. Mereka bercakap-cakap dalam pertemuan itu, dan Ferdinan tidak curiga atau punya pikiran macam-macam. Ketika si wanita menyuguhkan minum untuknya, Ferdinan pun menenggaknya tanpa berpikir. Lalu awal bencana dimulai.

Tanpa sepengetahuan Ferdinan, si wanita rupanya telah mencampurkan ramuan tertentu ke dalam minuman, dan Ferdinan pun “tak mampu mengendalikan diri”—dia seperti hilang akal, bahkan tidak menyadari yang ia lakukan. Singkat cerita, mereka bercinta, dan si wanita hamil. (Sebelum peristiwa itu terjadi, si wanita sudah berkali-kali merayu Ferdinan, tapi selama itu pula Ferdinan kukuh menolak.)

Alur kisah ini bisa ditebak—si wanita kemudian menuntut Ferdinan menikahinya karena ada janin dalam kandungan. Ferdinan menolak, karena terikat perjanjian tidak boleh menikah. Si wanita lalu melaporkan hal itu ke polisi, dengan alasan perkosaan, bahkan menyebut “Ferdinan sengaja membuatnya mabuk hingga tidak sadar”. Polisi percaya, dan kasus itu dikategorikan perkosaan, dengan Ferdinan sebagai tersangka.

Sebelum beritanya mencuat, lembaga tempat Ferdinan bekerja segera turun tangan. Mereka berhasil “membungkam” kasus itu, tapi mereka juga tidak menginginkan skandal. Jadi, direktur lembaga menyatakan pada Ferdinan, “Kami percaya kepadamu, tapi kami tidak menyukai skandal. Karenanya, dengan terpaksa kami mengeluarkanmu, dan berharap kau memahami keputusan ini.”

Ferdinan memahami pemecatan itu. Dia lalu menikahi wanita yang telah “memperkosanya”. Akhir kisah, sebagaimana cerita Cinderella, mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. (Setidaknya, semoga saja begitu!)

Sekarang, jika berita semacam itu muncul di media, kira-kira apa yang akan menjadi persepsi kita? Mungkinkah kita percaya bahwa Ferdinan tidak bersalah, bahwa justru dia yang “diperkosa”? Kemungkinan besar tidak! Alih-alih berpihak pada Ferdinan, kebanyakan orang akan langsung memihak si wanita karena meyakini bahwa jika pria dan wanita terlibat dalam sesuatu, pasti si pria yang salah. Dalam hubungan antarmanusia, wanita tidak pernah salah. Dan itu, kadang-kadang, mengerikan.

Saya menulis catatan ini tidak dengan maksud memojokkan wanita. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pria juga manusia sebagaimana wanita. Yang punya hak untuk dijaga perasaan serta kehormatannya, yang seharusnya punya kesetaraan yang adil ketika terjadi masalah di antara mereka. Sebaliknya, wanita juga manusia, yang kadang bisa khilaf, keliru, bahkan bisa berbuat salah secara sengaja.

Jika kita wajib menghormati wanita, maka pria pun punya hak yang sama. Jika kita tidak boleh menganiaya wanita, pria pun punya hak yang sama. Karena, kadang-kadang, kita lupa kalau pria maupun wanita sama-sama manusia.

 
;