Aku telah memperhatikannya cukup lama—bocah itu, yang menjalani hidupnya dengan tenang, damai, dan tampak tenteram selalu. Dia biasa sendirian, tapi tidak tampak kesepian. Dia biasa melakukan apa pun seorang diri, tapi terlihat senang melakukannya.
Dia dianggap bocah tidak penting—orang-orang tidak terlalu menghiraukannya—tapi dia tidak terganggu dengan hal itu. Dia menjalani hidup dengan tenang, nyaman, tampak tidak terganggu dengan apa pun. Di mataku, dia bocah paling damai di dunia. Karena tertarik, aku pun ingin menjadi temannya, agar ketularan kehidupannya yang damai.
“Aku telah lama memperhatikanmu,” ujarku kepadanya, “kau tampak selalu tenang, damai, dan menjalani hidup seperti tanpa masalah. Bagaimana resepmu menjalani hidup semacam itu?”
“Aku selalu mengatakan pada diri sendiri, aku bukan siapa-siapa,” dia menjawab. “Kapan pun, kalau ingat, aku selalu mengingatkan diriku sendiri seperti itu. Aku berkata pada diri sendiri bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bukan siapa-siapa. Bahwa aku bukan siapa-siapa.”
“Dengan cara itu, kau bisa hidup damai?”
“Ya.” Dia mengangguk. “Setiap kali terjadi apa pun di dunia ini, aku berkata pada diriku sendiri, aku bukan siapa-siapa. Jadi, kalau ada tetangga punya hajatan dan aku tidak diundang sementara orang lain diundang, aku tidak tersinggung, karena aku memang bukan siapa-siapa. Kalau saudara-saudaraku berkunjung ke tempat lain di saat lebaran tapi tidak mengunjungiku, aku pun tidak marah, karena aku memang bukan siapa-siapa. Kalau ada famili yang menikahkan anaknya, dan aku tidak diberitahu, aku juga tidak marah, karena aku memang bukan siapa-siapa. Begitu pun saat menghadapi hal lainnya, aku selalu mengingatkan diri sendiri bahwa aku bukan siapa-siapa, sehingga aku tidak perlu merisaukan atau meributkan apa pun.”
Aku menatapnya, dan berkata sungguh-sungguh, “Aku ingin menjadi temanmu.”
“Tentu saja aku senang,” dia tersenyum. “Tapi aku bukan siapa-siapa.”
“Karena itulah aku ingin menjadi temanmu.”