Jumat, 01 Mei 2015

Nge-Tweet Sambil Stres

Selalu ada hal-hal tak masuk akal di Twitter.
Atau di kepalaku. Entahlah.
@noffret


Jarang sekali saya masuk Twitter dalam keadaan waras. Sering kali, saya login ke Twitter ketika stres, atau semacamnya. Karenanya, kebanyakan tweet saya umumnya bernada marah atau pusing. Karena kenyataannya tweet-tweet itu memang lampiasan perasaan yang sedang bad mood. Hanya sesekali saya masuk Twitter dalam keadaan “sehat wal afiat”, sehingga dapat menulis tweet-tweet cakep.

Entah, sampai sekarang saya masih belum cocok dengan Twitter. Rasanya tidak leluasa menulis di sana—jauh beda ketika menulis di blog. Bagaimana pun, kapasitas yang disediakan Twitter sangat terbatas—hanya 140 karakter—dan sempitnya ruang untuk menulis itu kadang bikin saya tambah stres. Apa yang bisa kita ocehkan dalam ruang sebatas 140 karakter?

Di Twitter, saya harus sangat berhati-hati memilih kata dan menyusun kalimat, agar sesuatu yang ingin saya muntahkan dapat terwakili dengan karakter terbatas. Kadang itu menimbulkan masalah, semisal orang salah memahami yang saya maksud, atau semacamnya. Kenyataan itu tentu jauh beda dengan blog. Di blog, saya bisa ngoceh sebebas-bebasnya, sepanjang-panjangnya, menjelaskan apa pun secara detail, hingga kemungkinan salah paham bisa diminimalisasi.

Karena kenyataan itu pula, saya tidak terlalu tertarik pada Twitter, setidaknya sampai hari ini. Karenanya pula, saya hanya masuk ke Twitter kalau kebetulan sedang bad mood, atau ingin memuntahkan kejengkelan atas sesuatu. Dalam keadaan waras, dan pikiran sedang fresh, saya lebih memilih untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat, daripada membuang waktu di Twitter.

Jadi, buat siapa pun yang kebetulan mem-follow akun saya di Twitter, mohon dimaklumi ya, kalau tweet-tweet saya kadang absurd, tak masuk akal, bernada marah, atau semacamnya, karena memang tweet-tweet itu kebanyakan ditulis ketika sedang stres. Semua tweet itu saya tulis spontan, tidak melalui pengendapan apa pun sebagaimana ketika saya menulis di blog. Jadi, ya... gitu.

Berikut ini salah satu contoh rangkaian tweet yang saya tulis spontan ketika sedang stres, gara-gara makan malam yang rusak. Karena ditulis sambil stres, tentu saja isinya kacau, tidak ilmiah, tidak akademis, dan tidak environmental. (Tidak environmental itu apa???) Mbuh.

....
....

Lagi-lagi makan malamku rusak gara-gara nasi lembek! Lebih baik mati daripada makan nasi semacam itu.
—Twitter, 23 Maret 2015

Ada dua kesalahan yang tak pernah bisa dimaafkan di dunia ini: 1) Pengkhianatan. 2) Nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Ada dua perbuatan yang tak bisa diampuni di muka bumi: 1) Menyembah berhala. 2) Menjual nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Bocah-bocah di DPR itu seharusnya membuat regulasi khusus untuk para penjual nasi, dan seharusnya ada sanksi untuk para penjual nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Orang tentu berhak berjualan apa pun, selama tidak melanggar aturan negara. Tapi menjual nasi lembek adalah penistaan terhadap umat manusia.
—Twitter, 23 Maret 2015

Bersedia membeli dan makan nasi lembek sama artinya menoleransi kebodohan. Jika terulang, itu kesalahan. Jika masih terulang, itu kejahatan.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika di dunia tidak ada lagi nasi keras dan hanya tersedia nasi lembek, aku tetap tidak akan sudi memakannya.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika diminta makan nasi lembek atau mati, aku akan memilih mati. Aku tidak akan merendahkan diriku sendiri dengan makan nasi yang kubenci.
—Twitter, 23 Maret 2015

Nabilah bukan mbakyu, tapi kenapa kamu menyukai dia?” | “Karena Nabilah suka nasi keras!”
—Twitter, 23 Maret 2015

Pertanyaan penting yang akan kuajukan sebelum menikah, “Apakah kamu suka nasi keras?” Jika jawabannya “Tidak”, aku akan mencari wanita lain.
—Twitter, 23 Maret 2015

Tidak semua manusia mampu menciptakan mahakarya. Tetapi siapa pun yang bisa membuat nasi keras, sama artinya telah menciptakan mahakarya!
—Twitter, 23 Maret 2015

Goenawan Mohamad, Nabilah JKT48, Ariel Noah, dan Nurul Izzah di Malaysia, memiliki satu kesamaan. Mereka sama-sama menyukai nasi keras!
—Twitter, 23 Maret 2015

Secara ajaib, orang-orang yang kukagumi semuanya menyukai nasi keras. Dan belum pernah kutemukan orang hebat yang menyukai nasi lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

“Aku berpikir, maka aku ada,” kata Descartes. | “Aku makan nasi keras, maka aku ada,” kataku.
—Twitter, 23 Maret 2015

Aku tidak sudi memakan nasi lembek yang tidak enak bukan karena sok kaya, tapi karena terlalu trauma dan terlalu luka akibat kemiskinan.
—Twitter, 23 Maret 2015

Kemiskinan dan ketidakberdayaan pernah memaksaku untuk memakan nasi lembek yang tidak enak. Sekarang, kebejatan itu tak kan pernah terulang.
—Twitter, 23 Maret 2015

Rusaknya peradaban manusia dimulai dari rusaknya moral. Rusaknya moral dimulai ketika orang mulai menerima nasi lembek demi tidak lapar.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jauh lebih mulia dan lebih terhormat bagimu menahan lapar berhari-hari, daripada kenyang karena terpaksa memakan sesuatu yang kau benci.
—Twitter, 23 Maret 2015

Jika istrimu memaksamu makan nasi lembek, maka ingatlah Adam di surga. Seharusnya dia masih di surga kalau saja tidak terbujuk istrinya.
—Twitter, 23 Maret 2015

Definisi istri salihah bagiku adalah: 1) Mendamaikan, menenteramkan hati. 2) Yang membiarkanmu terlelap di pangkuannya. 3) Suka nasi keras!
—Twitter, 23 Maret 2015

Rusaknya hal-hal besar dimulai hal-hal kecil. Nasi lembek adalah hal kecil. Ia tidak terlalu tampak, terlihat wajar dan biasa, tapi merusak.
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi keras bukan sekadar selera pada sesuatu yang kita makan. Ia adalah visi, idealisme, dan pilihan hidup. » http://bit.ly/1ChNOyM
—Twitter, 23 Maret 2015

Sulitnya mencari nasi keras adalah salah satu indikasi rusaknya sendi kebangsaan dan hancurnya akal kemanusiaan. » http://bit.ly/1DN2mmL
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi lembek bisa menghancurkan hidupmu, menghilangkan nafkah dan usahamu, bahkan menggerogoti harmoni perkawinanmu. » http://bit.ly/1IkP9p7
—Twitter, 23 Maret 2015

Nasi keras mengajarimu untuk bekerja keras, membangun hidup penuh berkat, kemudian mensyukuri dengan penuh nikmat. » http://bit.ly/1LODULo
—Twitter, 23 Maret 2015

Tiga hal terbaik di muka bumi: 1) Buku bagus untuk belajar. 2) Mbakyu untuk ndusel penuh kedamaian. 3) Nasi keras yang membuatmu bersyukur.
—Twitter, 23 Maret 2015

Empat perbuatan mulia di dunia: 1) Membantu yang lemah. 2) Menghormati orang berilmu. 3) Mencintai dengan tulus. 4) Membuat nasi keras.
—Twitter, 23 Maret 2015

Sungguh merugi orang-orang yang kepadanya dititipkan berkat untuk hidup lebih baik, tapi membiarkan diri untuk makan nasi lembek. (HM: 23:1)
—Twitter, 23 Maret 2015

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang memilih nasi keras adalah mereka yang tahu bahwa hidup adalah soal pilihan. (HM: 23:2)
—Twitter, 23 Maret 2015

Dan kenikmatan nasi keras manakah yang kaudustakan? (HM: 23:3)
—Twitter, 23 Maret 2015

Maka katakanlah kepada mereka, “Kau tak akan pernah tahu arti hidup, selama masih membiarkan diri untuk memakan nasi lembek.” (HM: 24:4)
—Twitter, 23 Maret 2015

Berikan pakaian pada mereka yang telanjang. Tapi pakaian yang layak. Berikan makan pada mereka yang kelaparan. Tapi nasi keras yang enak.
—Twitter, 23 Maret 2015

Memakan sesuatu yang kau benci bukanlah makan. Itu sejenis penistaan... terhadap tubuhmu, terhadap pikiranmu, terhadap kemanusiaanmu.
—Twitter, 23 Maret 2015

Empat misteri di dunia ini: Jodoh, maut, rezeki, dan warung penjual nasi. Kita tak pernah bisa yakin nasi yang dijualnya keras atau lembek.
—Twitter, 23 Maret 2015

Manusia dilahirkan tanpa bisa memilih. Tetapi, setelah dilahirkan, dia hidup untuk memilih. Dan aku memilih untuk hanya memakan nasi keras.
—Twitter, 23 Maret 2015


*) Rangkaian tweet ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;