Pertempuran besar selalu terjadi setiap hari
di relung-relung keheningan kita. Perang antara kita
dan sesuatu yang menyerupai kita.
—@noffret
di relung-relung keheningan kita. Perang antara kita
dan sesuatu yang menyerupai kita.
—@noffret
Dunia maya—khususnya Twitter—memang tak pernah kehabisan sensasi. Baru-baru ini, yang sempat bikin geger adalah sesosok perempuan bernama “Dinda”—saya tidak tahu itu nama asli atau cuma username yang dipakainya. Ceritanya, seperti yang kita tahu, Dinda menulis pernyataan pribadi di akun Path-nya. Pernyataan itu kemudian di-capture seseorang, dan diunggah ke Twitter. Hasilnya, seperti biasa, bully massal terjadi, dan timeline berdarah-darah.
Mengapa Dinda di-bully? Kalian sudah tahu ceritanya. Tetapi, demi keutuhan catatan ini, izinkan saya mengulang cerita yang terjadi, sebagaimana yang saya baca di berbagai artikel berita.
Jadi, suatu hari, Dinda naik KRL Jakarta-Depok, untuk berangkat kerja seperti biasa. Dia harus berangkat dari rumahnya pagi-pagi sekali demi bisa mendapat tempat duduk. Pada saat itulah kemudian muncul seorang ibu hamil yang masuk KRL dan meminta tempat duduknya. Entah Dinda memberikan tempat duduknya pada ibu hamil itu atau tidak, ia kemudian menulis pernyataan berikut ini di akun Path-nya:
“Benci sama ibu-ibu hamil yang tiba-tiba minta duduk. Ya gue tahu lw hamil tapi plis dong berangkat pagi. Ke stasiun yang jauh sekalian biar dapat duduk, gue aja enggak hamil bela-belain berangkat pagi demi dapat tempat duduk. Dasar emang enggak mau susah.. ckckck.. nyusahin orang. kalau enggak mau susah enggak usah kerja bu di rumah saja. mentang-mentang hamil maunya dingertiin terus. Tapi sendirinya enggak mau usaha.. cape dehh," #notetomyselfjgnnyusahinorg!!”
Pernyataan itu kemudian di-capture seseorang, dan diunggah ke Twitter. Karena pernyataan Dinda dianggap tidak simpatik, bahkan terkesan kasar—khususnya pada ibu hamil—orang-orang pun kemudian mem-bully Dinda. Orang-orang yang mem-bully tersebut menujukan simpatinya pada si ibu hamil, dan menganggap Dinda tidak punya empati. Masak memberikan tempat duduk pada ibu hamil saja keberatan...???
Bagi saya, kisah Dinda sekilas terdengar seperti Penganiaya dan Sang Tertindas. Dinda dianggap sebagai “Penganiaya”, sementara si ibu hamil dipersonifikasi sebagai “Sang Tertindas”. Di mana pun, orang cenderung membela pihak yang tertindas, sebagaimana kita cenderung menyalahkan pihak yang menganiaya. Pertanyaannya sekarang, benarkah Dinda memang “Penganiaya”?
Kita cenderung membela pihak yang tertindas karena kita memberikan empati kepadanya. Dalam kisah di atas, kita memberikan empati sepenuhnya pada si ibu hamil. Karena kita telah memberikan semua empati kepadanya, kita pun tidak lagi punya empati kepada Dinda. Yang menjadi persoalan, bagaimana kita bisa adil terhadap Dinda jika kita tidak punya sedikit pun empati kepadanya?
Saya bukan teman Dinda, saya bahkan tidak mengenalnya. Tetapi, saya pikir, kita telah berlaku tidak adil jika menghakimi Dinda secara massal tanpa sedikit pun memberikan empati kepadanya. Bahwa ibu hamil layak diperhatikan atau bahkan diistimewakan karena kehamilannya, kita semua setuju. Jika suatu hari saya naik kereta, dan kemudian ada ibu hamil yang meminta tempat duduk saya, maka saya tidak akan pikir panjang untuk memberikan tempat duduk untuknya. Itu bahkan saya anggap sebagai kehormatan, dan saya tidak akan mengeluh karenanya.
Kita semua sepakat bahwa kehamilan adalah beban berat bagi setiap (calon) ibu, dan kita layak berempati kepada siapa pun yang sedang hamil. Tetapi bukan berarti kita kemudian bisa menghakimi atau menganiaya orang lain karena tujuan itu. Niat baik tidak bisa dilakukan dengan cara buruk, sebagaimana perbuatan baik pada seseorang tidak bisa dilakukan dengan cara menindas orang lain.
Atas pernyataannya yang terkesan tidak simpatik di atas, Dinda punya penjelasan mengapa dia sampai sekasar itu. Dan inilah penjelasannya, sebagaimana yang ia tulis di akun Path miliknya:
"Path gw nyebar gara2 statemen ibu hamil yaa.. ayo monggo yang judge gw ngerasain dulu tiap hari naik kereta trs tiap hari berangkat abis subuh cuma biar dapet tempat duduk.. emg lw smuaa pada ngertiii kaki gw pincang2 gara2 geser tulangnya.. gak kan.. makanyaa gw bela2in berangkat jam 5 pagi buat dapet tmpat duduk..eh tiba2 ada ibu2 hamil baru masuk kereta jam 7 pagi.. gw udh lari2an jam 5 pagi jgn pada maunya cuma dingertiin doag para ibu.. emg gw belum hamil tapi kaki gw sakit aja gw ngerti ga mau nyusain org ko.. pliss sama2 dong kita saling ngerti jgn cuma maunyua enaknyaa doang yaa ibu2.. ayoo sinii yg ngejudge ikut sayaa yaa berangkat dari rumah saya jam 5 naik kereta tiap hari dari rumah saya 1 kali naik ojek trs 2 kali naik angkot lho ke stasiun.. ikutin aja rutinitas saya tiap hari kalo ga ada komen apa2 berarti saya yang berlebihan.. hehe..,"
Jika kalimat di atas agak membingungkan karena ejaan dan tanda baca yang kacau tak karuan (mungkin ditulis sambil emosi), izinkan saya “menerjemahkannya” ke bahasa Indonesia yang lebih baik:
“Path gue nyebar gara-gara statemen ibu hamil, ya? Ayo, monggo, yang judge gue, ngerasain dulu tiap hari naik kereta terus tiap hari, berangkat habis subuh biar dapat tempat duduk. Emang lu semua pada ngerti kaki gue pincang-pincang gara-gara geser tulangnya? Nggak, kan? Makanya, gue bela-belain berangkat jam 5 pagi buat dapat tempat duduk. Eh, tiba-tiba ada ibu-ibu hamil baru masuk kereta jam 7 pagi. Gue udah lari-larian jam 5 pagi. Jangan pada maunya cuma dingertiin doang, para ibu. Emang, gue belum hamil, tapi kaki gue sakit aja gue ngerti gak mau nyusahin orang, kok. Plis, sama-sama dong, kita saling ngerti. Jangan cuma mau enaknya doang ya, ibu-ibu. Ayo sini, yang nge-judge, ikut saya ya, berangkat naik angkot lho, ke stasiun. Ikutin aja rutinitas saya tiap hari. Kalo gak ada komen apa-apa, berarti saya yang berlebihan, hehe...”
Ketika membaca penjelasan itu, saya seperti diingatkan untuk lebih adil dalam memberikan empati. Sebagai manusia, tentu saja saya berempati pada ibu hamil yang naik kereta, dan butuh tempat duduk. Tetapi, sebagai manusia pula, saya merasa tidak adil jika tidak memberikan empati sedikit pun pada Dinda.
Jika saya memberikan empati kepada Dinda, dan membayangkan diri saya berada di tempatnya—setiap hari harus pergi dari rumah habis subuh, naik angkot menuju stasiun dengan buru-buru demi mendapat tempat duduk di kereta, dan dalam aktivitas itu harus sering lari-lari sampai kaki sakit dan terpincang-pincang, dan hal itu saya lakukan setiap hari—tiba-tiba saya bisa memahami bagaimana perasaan Dinda, hingga ia sampai menulis pernyataan seperti di atas.
Mungkin Dinda seorang perempuan yang baik dan penuh kasih. Tetapi aktivitas dan rutinitasnya yang berat—sebagaimana yang ia ceritakan di atas—kemudian mengeraskan perasaannya, membekukan hatinya. Atau, bisa jadi pula, Dinda tetap perempuan berhati lembut dan welas asih, tapi kebetulan hari itu dia sedang badmood karena suatu sebab, hingga muncul judesnya. Apa pun alasan pernyataannya yang terkesan kasar itu, sepertinya kita tetap tidak layak menghakiminya tanpa memberikan sedikit pun empati kepadanya.
Ketika kita menilai atau bahkan menghakimi seseorang tanpa mau berempati sedikit pun kepadanya, maka itu sama halnya memaksakan sepatu kita ke kaki orang lain. Tidak layak, sekaligus tidak adil.
Kita menghakimi Dinda dengan segala macam serapah dan caci-maki, kenapa? Jawabannya sangat gamblang, karena kita tidak menjalani kehidupan sebagaimana yang dijalani Dinda! Di situlah pentingnya empati, yakni menempatkan diri kita pada posisi orang lain sebelum menjatuhkan vonis. Ini bukan berarti bahwa Dinda tidak bersalah. Empati dibutuhkan agar kita bisa memberi penilaian dan menjatuhkan vonis yang adil, serta tidak berbalik menjadi penganiaya.
Bagaimana pun, Dinda tetap bersalah. Di antara kesalahannya adalah menumpahkan kekesalannya secara terbuka, yang kebetulan ia tujukan kepada seorang ibu hamil. Dalam hal itu mungkin Dinda perlu lebih arif untuk memilah mana yang layak ia umbar secara terbuka, dan mana yang lebih baik dipendam saja secara pribadi.
Di zaman ketika dunia maya tidak mengenal privasi seperti yang sekarang kita jalani, mengekspresikan sesuatu tetap dibutuhkan kedewasaan dan kearifan tersendiri.
Mulutmu harimaumu. Begitu pun akun Path atau akun Twitter-mu.