Selasa, 21 Mei 2013

Pengadilan untuk Tukang Nasihat

Ada orang yang menyatakan fakir miskin adalah kekasih Tuhan,
tapi ia sendiri hidup dalam kemewahan. #ironi
@noffret, 14 Mei 2012


….
….

“Siapa namamu?”

“Yang Mulia, saya memiliki banyak nama—masyarakat memanggil saya dengan beragam sebutan dan panggilan.”

“Baiklah, kita lupakan namamu. Apa pekerjaanmu?”

“Sebenarnya, Yang Mulia, saya tidak memiliki pekerjaan. Kegiatan saya sehari-hari berkeliling kesana kemari untuk memberikan nasihat kepada orang-orang, dan dari situlah saya mendapatkan penghasilan untuk hidup.”

“Begitu. Dan apa yang kaunasihatkan?”

“Macam-macam, Yang Mulia—tergantung di mana dan pada siapa saya memberikan nasihat. Ketika berhadapan dengan orang-orang miskin, saya menasihati agar mereka tabah menghadapi kemiskinan. Ketika berhadapan dengan orang-orang jahat, saya menasihati mereka agar segera kembali ke jalan yang benar…”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Saya harap begitu, Yang Mulia.”

“Jadi, kau menasihati orang-orang miskin agar mereka tabah menghadapi kemiskinan?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Apakah kau pernah merasakan kemiskinan? Pernahkah kau menjalani hidup sebagai orang miskin—sebegitu miskinnya hingga rasanya kau sanggup melakukan apa pun demi bisa mengganjal perut yang kelaparan?”

“Saya… tentu saja saya belum pernah mengalami hal semacam itu.”

“Kalau begitu mengapa kau merasa layak untuk menasihati mereka agar tabah menjalani dan menghadapi kemiskinan? Kau tidak pernah merasakan kemiskinan, kau tidak tahu apa artinya miskin, kau tidak pernah merasakan kelaparan dan kekurangan. Apa yang membuatmu merasa layak untuk tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan? Kalau kau pernah merasakan kemiskinan—sebegitu miskinnya hingga tak ada orang lain yang lebih miskin darimu—dan kau sanggup tabah menghadapi keadaan semacam itu, maka kau layak berdiri di hadapan orang-orang miskin untuk memberikan nasihat semacam itu, karena kau telah melakukannya sendiri.”

“Yang Mulia…”

“Jangan menyelaku, Tukang Nasihat! Kau berkeliling kesana kemari menasihati orang-orang miskin, dan bersamaan dengan itu kau mengumpulkan uang serta kekayaan untuk kemegahanmu sendiri. Apa sebenarnya yang kaulakukan…? Kau menasihati orang-orang miskin agar tabah menghadapi kemiskinannya, dan bersamaan dengan itu kau membangun kekayaanmu sendiri. Apa sebenarnya yang ada dalam otakmu? Atau, yang lebih penting lagi, apa sebenarnya yang ada di hatimu?”

“Yang Mulia, saya…”

“Sekali lagi, jangan menyelaku, Tukang Nasihat!”

“Yang Mulia, Anda tidak paham…”

“Aku tidak paham…?! Jaga bicaramu! Aku bukan bagian kumpulan orang-orang yang biasa kaulempari sampah dari mulutmu! Di hadapanku sekarang ada setumpuk berkas tentangmu, dan aku telah menghabiskan belasan malam untuk mempelajarinya. Di sini, dengan jelas dan gamblang dilaporkan bagaimana kau merintih dan menghiba dan menangis dan meratap di hadapan orang-orang miskin yang sepenuh hati mendengarkan nasihat dan petuah-petuahmu…

“…Mereka mendengarkan nasihatmu, mempercayai nasihatmu, percaya bahwa kau orang baik yang bersatu dalam pelukan mereka. Tetapi, di sini, dalam berkas laporan di hadapanku ini, juga dijelaskan bagaimana kau membangun kekayaanmu, kemegahan dan kemewahanmu, memperbesar imperium bisnismu, dan bagaimana kau memuaskan nafsu duniamu! Kau menasihati orang-orang miskin, tetapi dirimu sendiri tidak ingin menjadi orang miskin, bahkan kau menjauhi orang-orang miskin. Kau tahu, kau tak ubahnya orang yang menasihati orang lain agar menjauhi setan, tetapi dirimu sendiri bersenggama dengan setan setiap malam!”

….
….

“Ehm, selain menasihati orang-orang miskin, kau juga menasihati orang-orang jahat?”

“Be… benar, Yang Mulia.”

“Baik, kita lanjutkan.…”

 
;