Kamis, 10 Desember 2015

Koi Tidak Kedinginan

Berabad-abad yang lalu, ketika banjir Nuh melanda, aku melihat Koi kedinginan. Dia bahkan hampir kehilangan hidup, saat tubuh diterpa gigil yang nyaris tak selesai. Lalu Koi menghangatkan diri di dekat kompor, dengan keprihatinan banyak orang, sementara aku mendengarkan sandiwara radio tengah malam.

Masa itu adalah abad kebahagiaan, bagiku, bahkan ketika banjir menggenang. Tidak setiap hari kau bisa menikmati sandiwara radio tengah malam, kau tahu, dan sandiwara itu sempat melenakan akalku dari bayangan Koi yang kedinginan. Tentu saja aku prihatin pada nasib Koi, karena dia kedinginan. Tidak seharusnya Koi kedinginan, apalagi hampir mati karena kedinginan.

Berabad-abad kemudian, saat banjir Nuh telah lama menjauh, Koi terus tumbuh. Dia masih Koi yang dulu, meski agak berbeda. Oh, well, dia bahkan menambahkan beberapa huruf pada namanya, agar benar-benar berbeda. Dan tak pernah lagi kedinginan. Kemarin aku sempat melihatnya, dan—tentu saja—dia tidak kedinginan. Koi sempat menengok, seperti biasa, seperti lama berselang.

Setelah waktu berabad-abad, Koi mungkin telah lupa bahwa dulu dia pernah kedinginan. Atau dia lupa bahwa aku pernah melihatnya kedinginan. Tetapi, sayang sungguh sayang, aku orang yang sulit lupa. Bahkan sampai kiamat kelak, aku akan masih ingat bahwa berabad-abad lalu Koi pernah kedinginan.

Kadang-kadang aku ingin merobek kepalaku, mengorek otakku, lalu membuangnya ke mana pun, agar sekali-sekali bisa lupa. Seperti Koi. Yang mungkin telah lupa pada gigil dan kedinginan.

 
;