Sangat berduka cita. Selamat jalan, Om Wendo.
—@noffret
—@noffret
Indonesia kehilangan salah satu seniman terbesarnya, saat Arswendo Atmowiloto meninggal dunia, pada 19 Juli kemarin. Arswendo, sebagaimana kita tahu, telah melahirkan banyak karya, yang sebagian bahkan dikenang abadi.
Ada teman saya yang sempat mengira Arswendo sebagai tokoh fiksi. Dia suka membaca novel serial Lupus karya Hilman, dan di dalam serial itu nama Arswendo sempat disebut beberapa kali—sebagai “Redaktur HAI”—dan berperan sebagai atasan/mentor Lupus. Teman saya mengira Arswendo termasuk nama/tokoh fiksi, sebagaimana Lupus, Gusur, Boim, Fifi Alone, dan sebagainya.
Belakangan dia kaget, ketika mendapati Arswendo Atmowiloto ternyata nama asli, dan orang itu benar-benar ada di dunia nyata!
Ingatan saya pada Arswendo bukan hanya pada namanya yang muncul dalam serial Lupus, tapi juga kontroversi dan “kegegeran nasional” yang pernah ia timbulkan. Pada era 1990-an, Arswendo memimpin Monitor, salah satu tabloid populer di zamannya.
Untuk menutup tahun 1990, Monitor bikin polling berhadiah untuk pembaca. Polling-nya sederhana. Pembaca dipersilakan memilih satu tokoh idola, siapa pun—dari dalam maupun luar negeri—dan menuliskan nama si tokoh pada selembar kartu pos. Nantinya, nama-nama yang masuk akan diurutkan dalam daftar khusus, sesuai pilihan pembaca/pengirim kartu pos. Nama tokoh yang paling banyak disebut, tentu saja, akan menempati peringkat teratas.
Di era ’90-an, polling semacam itu menarik minat banyak orang Indonesia, tak jauh beda dengan acara kontes-kontesan di televisi yang meminta atensi pemirsa untuk mengirim SMS, dalam mendukung salah satu jagoan yang diidolakan. Bedanya, acara kontes di televisi menyediakan tokoh pilihan secara terbatas. Sementara polling yang diadakan Monitor tidak membatasi jumlah tokoh yang dipilih. Akibatnya, siapa pun bisa memilih siapa pun.
Belakangan, itu menjadi kesalahan tak terbayangkan, dan Arswendo sangat menyesalinya.
Ketika para pembaca Monitor mendapati polling itu, mereka pun segera antusias membeli kartu pos, menempelkan prangko, lalu menuliskan nama tokoh yang diidolakan. Motivasi utama dalam hal itu, selain mungkin memang ingin idolanya menempati peringkat teratas, juga karena mengharapkan hadiah dari polling tersebut.
Lalu ribuan kartu pos dari penjuru Indonesia berdatangan ke kantor redaksi Monitor. Seperti yang diminta dalam polling, masing-masing kartu pos berisi satu nama tokoh yang diidolakan si pengirim. Ketika ribuan kartu pos itu mulai didata untuk mengecek nama-nama tokoh, untuk kemudian diurutkan dalam daftar/peringkat, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi.
Total kartu pos yang masuk waktu itu hampir mencapai 34.000 lembar. Artinya, ada kemungkinan ribuan nama tercantum di lembar-lembar kartu pos itu. Bahkan menggunakan rumus probabilitas paling skeptis sekali pun, selalu ada kemungkinan nama-entah-siapa muncul di lembar kartu pos. Dalam contoh mudah, Si A bisa saja mengidolakan Ketua RT di kampungnya, dan Si A menuliskan nama Pak RT tersebut di kartu pos yang ia kirimkan! Wong ia mengidolakannya, kok!
Ini benar-benar polling dengan “kekhilafan” paling berbahaya sepanjang sejarah Indonesia! Dan Arswendo, sayangnya, baru menyadari kenyataan itu setelah ribuan kartu pos menggunung di kantornya.
Mestinya, pikir Arswendo waktu itu, mereka membatasi jumlah tokoh, atau membatasi hanya tokoh di bidang tertentu, atau setidaknya membatasi hanya tokoh yang ada di Indonesia. Dengan adanya pembatasan, pilihan peserta polling akan lebih terarah dan tidak “liar” ke mana-mana hingga bebas menyebut nama siapa saja. Sayangnya, kesadaran itu sudah terlambat.
Nama-nama yang tercantum di kartu pos itu pun lalu didata, sebagaimana harusnya polling dijalankan. Seperti yang disebut tadi, ada ribuan nama yang terdata waktu itu, meski sebagian besar dari mereka terdiskualifikasi karena pemilihnya sedikit. Monitor hanya akan memilih 50 nama tokoh yang mendapat pilihan terbanyak. Dan hasilnya bikin awak Monitor pusing.
Pada 15 Oktober 1990, Monitor terbit dengan menampilkan hasil jajak pendapat, bertajuk “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca”. Di peringkat teratas, bertengger nama Presiden Soeharto, dengan 5.003 suara dari kartu pos kiriman pembaca. Peringkat di bawahnya ditempati B.J. Habibie, lalu Ir. Sukarno, Iwan Fals, Zainudin MZ, Try Sutrisno, Saddam Hussein, Siti Hardiyanti Rukmana (putri Soeharto), dan Arswendo Atmowiloto sendiri.
Sampai di situ mungkin tidak ada masalah. Masalahnya baru muncul pada posisi ke-11. Di posisi itu tercantum nama Nabi Muhammad, dengan jumlah pemilih sebanyak 616 kartu pos! Di Indonesia, setidaknya di masa itu, rupanya ada lebih banyak orang yang mengidolakan Soeharto, Iwan Fals, hingga Arswendo Atmowiloto, daripada mengidolakan Nabi Muhammad. Polling Monitor, setidaknya, telah membuktikan.
Inilah kekhilafan Arswendo, yang sayangnya terlambat disadari. Dalam kata-katanya sendiri, waktu itu Arswendo mengatakan, “Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya saya sudah tahu. Nyatanya saya bego, sangat bego!”
Ketika nama-nama “tokoh idola” itu terdata dan tersusun sebagaimana hasil polling, Arswendo sudah menyadari sesuatu yang bermasalah. Dia cukup waras untuk memahami bahwa menempatkan Nabi Muhammad di bawah nama-nama orang lain—termasuk namanya sendiri—pasti akan menimbulkan masalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ketika kesadaran itu muncul, Arswendo berhadapan dengan etika dan kejujurannya sendiri—bukan hanya sebagai manusia, tapi juga sebagai jurnalis.
Dia sadar, jika hasil polling itu diterbitkan, tabloid yang dipimpinnya akan menuai masalah. Tetapi, jika dia tidak menerbitkan hasil polling itu, dia akan mengkhianati para pembacanya. “Jalan tengah” mungkin bisa dilakukan, yakni dengan “mengacak” nama-nama itu dan menempatkan siapa di tempat mana. Tapi Arswendo terlalu jujur untuk melakukannya. Dia tidak ingin melukai integritasnya, sebagaimana tidak ingin mengkhianati pembacanya.
Akhirnya, sebagaimana yang disebut tadi, polling itu benar-benar diterbitkan sebagaimana adanya, sesuai pilihan para pembaca Monitor, dan nama-nama yang tercantum dalam “50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca” adalah murni hasil pilihan peserta polling.
Akibatnya bisa ditebak. Umat Islam di Indonesia ngamuk. Mereka tidak terima Nabi junjungan yang dihormati umat muslim sedunia ditempatkan di bawah Soeharto, di bawah Iwan Fals, di bawah Siti Hardiyanti Rukmana, bahkan di bawah Arswendo Atmowiloto!
Waktu itu, nyaris semua tokoh Islam sama-sama mencerca Monitor dan Arswendo atas polling yang mereka terbitkan. Bahkan Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang terkenal sebagai cendekiawan muslim moderat pun ikut marah. Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) yang sebelumnya terkenal mampu meredam amarah umat Islam, waktu itu memilih diam. KH. Hasan Basri, Ketua MUI waktu itu, ikut marah. Zainuddin MZ, ustaz berjuta umat, juga marah. Amien Rais? Sudah jelas dia marah!
Satu-satunya tokoh Islam yang waktu itu berani “membela” Arswendo, dan berupaya meredam kemarahan umat Islam, hanya Gus Dur (Abdurrahman Wahid), yang waktu itu menjabat Ketua Umum PBNU. “Wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang,” kata Gus Dur, “hanya karena kasus Monitor.”
Sayangnya, tidak semua orang Islam berpikir seperti Gus Dur. Lebih dari itu, tidak semua orang menyadari apa yang sebenarnya waktu itu terjadi.
Kalau mau, sebenarnya, Arswendo bisa saja tidak menerbitkan hasil polling, dan dia bisa mengarang dalih apa pun untuk mengatasi kekecewaan peserta/pembacanya. Kalau mau, Arswendo bisa saja mengacak dan mengubah susunan daftar hasil polling, demi memuaskan semua orang, dan para peserta polling tidak akan tahu.
Tapi dia tidak melakukannya. Dia tidak ingin melukai integritasnya sendiri, sebagaimana dia tidak ingin mengkhianati kepercayaan pembacanya. Dan dia pula yang menanggung risikonya. Tabloid Monitor yang dipimpinnya akhirnya dibredel, sementara Arswendo menyatakan permintaan maaf secara terbuka, menjalani pengadilan, dan divonis 5 tahun penjara. Dia menjalani hukumannya dengan patuh, sampai kemudian bebas.
Kini, orang berintegritas itu telah tiada. Dia tidak hanya mewariskan karya-karyanya untuk dunia, tapi juga meninggalkan kisah tentang seseorang yang tetap memilih jujur... meski harus dihukum karena kejujurannya.