Jumat, 26 Juli 2019

Meludahi Dunia di Gurun Nevada

Ketika massa mengatur, manusia diperintah oleh ketidaktahuan;
ketika doktrin mengatur, manusia diperintah oleh takhayul;
dan ketika negara mengatur, manusia diperintah oleh rasa takut.
Manly P. Hall


Gurun pasir Nevada, Amerika Serikat, adalah salah satu tempat yang tidak ramah di bumi. Saat siang, panasnya ngujubilah setan. Sementara malam hari, dinginnya menggigit tulang. Karena kondisi semacam itu, tidak ada orang yang berminat tinggal di sana, dan gurun Nevada pun menjadi tempat yang luas sekaligus sunyi.

Tetapi, setiap tahun, puluhan ribu orang akan berdatangan ke sana, dan berkumpul selama seminggu penuh, untuk merayakan sesuatu yang disebut Burning Man. (Tahun ini, Burning Man akan digelar pada 26 Agustus 2019 sampai 2 September 2019).

Ketika acara Burning Man digelar, gurun Nevada yang semula sunyi berubah menjadi kota—dalam arti sesungguhnya. Kota yang tiba-tiba tumbuh di gurun gersang dan dihuni puluhan ribu orang selama seminggu itu, disebut Black Rock City.

Siapa pun boleh datang ke Black Rock City, dan mengikuti acara Burning Man. Dari anak-anak, remaja, orang dewasa, pria, wanita, semuanya berkumpul jadi satu, seperti keluarga besar. Acara itu berlangsung setiap tahun, dan telah diadakan lebih dari 30 tahun terakhir.

Meski sering disebut festival, Burning Man sebenarnya bukan festival—lebih tepat jika disebut pertemuan dan perkumpulan orang-orang yang ingin menjalani kehidupan setara. Sponsor dan merek produk apa pun dilarang masuk ke sana, jadi kita tidak akan menemukan baliho atau papan-papan sponsor yang biasa ada di festival. Kebersamaan dan kesetaraan adalah prinsip utama yang dikedepankan Burning Man.

Sekadar informasi, bocah-bocah hebat dari Silicon Valley selalu datang ke acara ini, termasuk Elon Musk, Zuckerberg, Larry Page, dan lain-lain, karena biasanya di sanalah mereka bisa menemukan bocah-bocah hebat lain yang sulit ditemukan di “dunia normal”, karena tak pernah terungkap publisitas.

Black Rock City terbuka pada siapa pun yang mau datang, tapi kota ini memiliki tiga prinsip utama yang harus dipatuhi. Pertama adalah bersikap mandiri, kedua adalah menghormati kebebasan berekspresi, dan ketiga adalah kesediaan memberi. Tiga prinsip itulah yang lalu menyatukan puluhan ribu orang, dan pertemuan serta aktivitas mereka selama di sana disebut Burning Man.

Apa tujuan Burning Man? Mungkin terdengar utopis, yaitu membangun komunitas yang menolak aturan hukum dasar masyarakat modern.

Seperti yang disebut tadi, gurun Nevada adalah tempat yang sunyi. Karenanya, di sana tidak ada layanan telepon seluler. Kalau kau masuk ke sana, ponselmu tidak bisa digunakan. Praktis, puluhan ribu orang yang berkumpul di sana benar-benar terputus dari dunia luar. (Mulai tahun kemarin, sinyal ponsel sudah ada, tapi masih buruk, hingga sulit digunakan—entah tahun ini. Tapi kalau pun sinyal ponsel sudah bisa digunakan, kita akan diminta untuk TIDAK menggunakannya, selama di sana.)

Jadi, di sana, orang-orang bercakap dengan sesama tanpa diganggu dering atau notifikasi seperti yang dialami orang-orang modern. Mereka bisa bercengkerama, bercanda, dan tertawa, tanpa disela kesibukan mengecek media sosial atau tetek bengek semacamnya. Anak-anak bermain gembira, para remaja mengayuh sepeda, sementara orang-orang dewasa membangun persahabatan dengan orang-orang baru.

Selain tidak ada layanan seluler, di sana juga tidak ada uang! Tidak ada penjual, tidak ada pembeli—uang tidak berlaku di Black Rock City! Ingat salah satu prinsip di acara itu; kesediaan memberi!

Puluhan ribu orang yang berdatangan ke sana membawa aneka makanan dan minuman dari rumah, dan mereka saling memberi dan menerima. Kau membagikan makananmu pada orang lain, dan orang lain membagikan makanannya untukmu, dan begitu seterusnya. Meski tidak ada transaksi jual beli, orang tidak akan kelaparan selama di Black Rock City.

Selain berbagi makanan dan minuman, aktivitas saling memberi dan menerima di sana juga mencakup hal lain.

Acara Burning Man berlangsung selama seminggu penuh. Karenanya, banyak orang datang ke sana dengan membawa aneka barang, dari sepeda sampai papan catur, sampai freezer dan panci, dan lain-lain. Kalau kebetulan sepedamu mengalami kerusakan, misalnya, orang-orang di sana akan bantu membetulkan. Saling memberi dan menerima, termasuk berbagi kemampuan yang dimiliki.

Tapi ingat prinsip pertama; bersikap mandiri. Karenanya, sebisa mungkin kita harus berusaha membereskan semua masalah kita sendiri, sebelum terpaksa meminta bantuan orang lain. Intinya, tidak saling menyusahkan.

Kemudian, prinsip satunya lagi; kebebasan berekspresi. Di Black Rock City, orang bebas mengekspresikan diri seperti apa pun, selama tidak mengganggu orang lain.

Jadi, di sana, orang bisa memakai baju model apa pun, atau mengenakan bikini, atau bahkan telanjang—kalau mau. Selama orang lain tidak mempermasalahkan, bebas! Tidak ada aturan atau hukum yang harus dipatuhi. Selama orang lain tetap nyaman dan tak terganggu, kau boleh melakukan apa pun sesukamu.

Setidaknya ada 70 ribu orang yang setiap tahun berkumpul di gurun Nevada untuk merayakan kehidupan bebas dan bahagia, yang disebut Burning Man. Di sana, tidak ada tetangga rese yang akan ngoceh dan mengomentarimu, tidak ada aturan atau norma sosial yang membelenggu, tidak ada keparat-keparat kurang kerjaan yang nyinyir kapan kawin atau kapan punya anak, bahkan tidak ada sistem kapitalisme yang membelenggu kehidupan.

Di Black Rock City, uang tidak berlaku, tapi orang-orang tetap bisa menjalani kehidupan dengan baik, dengan ceria, dengan kebebasan. Setiap hari, seminggu penuh di sana, mereka tidak harus berangkat kerja pagi dan pulang malam, tapi tetap bisa makan dan minum dan udud.

Di antara mereka tidak ada transaksi untung rugi, karena semua orang saling percaya, saling memberi dan menerima. Di sana juga tidak ada ponsel, tidak ada media sosial, tapi mereka bisa menjalani hari-hari dengan bahagia.

Black Rock City adalah tempat orang-orang bisa meludahi dunia dan sistem-sistem di dalamnya. Semua hukum dan aturan dan norma dan budaya yang ada di dunia—sebagaimana yang kita kenal selama ini—tidak berlaku di sana. Uang yang dikejar setiap hari, demi membangun status sosial, seperti dicampakkan ke tempat sampah. Puluhan ribu orang di sana membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa uang.

Begitu pula sistem sosial atau norma masyarakat—adat dan budaya ketimuran, adat dan budaya kebaratan... oh, well, apa itu?

Itu ironis, kalau dipikir-pikir. Pemerintah negara-negara dunia, atas nama tatanan masyarakat, membangun aturan dan hukum, tapi yang muncul adalah belenggu. Masyarakat, atas nama ketertiban lingkungan dan kemaslahatan bersama, membangun norma sosial, tapi yang muncul adalah perbudakan.

Wakil rakyat dibentuk untuk mewakili rakyat, tapi malah menyusahkan rakyat. Hukum dan keadilan ditegakkan, tapi kapitalisme menempatkan pemodal sebagai raksasa, dan para pekerja sebagai semut yang terinjak. Sementara mayoritas bisa sewenang-wenang terhadap minoritas.

Sopan santun diteriakkan, tapi terus nyinyir mengurus selangkangan orang. Panji-panji agama dikumandangkan, tapi kejujuran dan ketulusan antarmanusia semakin hilang. Memaksa orang-orang percaya kepada Tuhan, tapi bahkan pada tetangga pun hilang kepercayaan. Memperjuangkan kemanusiaan, tapi memberhalakan status sosial. Meneriakkan kesetaraan, tapi diam-diam merasa lebih tinggi dari orang lain.

Adat ketimuran, katanya... oh, well, adat ketimuran. Budaya barat, katanya... oh, well, budaya barat. Bagi orang-orang di Black Rock City, semua itu cuma sampah!

Ada jutaan orang di dunia yang telah muak menyaksikan semua kebrengsekan itu. Ada jutaan orang di negara mana pun yang telah mual menghadapi kenyataan hidup yang isinya hanya sistem-sistem yang terdengar indah seperti angin surga, tapi mencampakkan manusia ke liang neraka.

Di bawah sistem tirani masyarakat, manusia bahkan lebih rendah dari binatang. Setidaknya, binatang tidak perlu menjadi budak kapitalisme untuk bisa makan dan meneruskan hidup. Binatang tidak perlu membangun status sosial untuk dianggap ada. Binatang tidak perlu mendengar orang-orang nyinyir yang merasa paling pintar dan paling benar, padahal ujung-ujungnya hanya ingin semua orang sama.

Kemuakan-kemuakan itulah yang lalu mengumpulkan puluhan ribu orang setiap tahun di gurun Nevada, dan mereka membangun kota sendiri bernama Black Rock City—kota yang terbebas dari aturan pemerintah, komunitas yang terbebas dari belenggu sistem masyarakat, kumpulan orang yang bisa meludahi dunia dan semua kebrengsekan di dalamnya.

Tak peduli berapa banyak uangmu, semua yang kaumiliki tidak berlaku di Black Rock City, karena di sana uang tidak laku! Kau tidak bisa membanggakan kekayaanmu, atau jabatanmu, atau status sosialmu, atau moyangmu, atau profesimu, atau jumlah follower-mu, karena semua itu tidak ada artinya di sana. Di Black Rock City, semua manusia sama!

Di bawah kesadaran semacam itu, mereka saling memberi dan menerima, saling membantu dan saling percaya, dan menyadari bahwa hidup lebih mudah dijalani ketika tidak ada sistem-sistem terkutuk yang dibangun masyarakat.

Menikmati Burning Man selama seminggu di gurun Nevada bukan hanya memberi banyak pengalaman, karena bisa bertemu ribuan orang baru yang satu visi, tapi juga memberi kesadaran baru mengenai cara menjalani hidup.

Bahwa hidup ini sebenarnya mudah, tapi dipersulit oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini ringan, tapi diperberat oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini indah, tapi dirusak oleh sistem-sistem. Bahwa hidup ini menyenangkan, tapi diperkosa oleh sistem-sistem. Bahwa hidup berarti tumbuh, tapi kita dibunuh perlahan oleh sistem-sistem.

Dan ketika sistem-fucking-sistem itu diruntuhkan... kita pun tahu arti sejati kehidupan.

 
;