Jumat, 19 Juli 2019

Filosofi Sambal Terasi

Dari tadi malas keluar, karena pede gak lapar.
Sekarang, di hadapan nasi, lalap, dan sambal,
baru sadar perut sangat keroncongan.
@noffret


Sebagian orang menyukai sambal terasi, sebagian lain tidak suka, sementara yang lain lagi menganggap sambal terasi biasa-biasa saja. Dalam hal ini, saya termasuk yang menyukai. Sebenarnya, saya bahkan penggila sambal terasi.

Perkenalan saya dengan sambal terasi dimulai dari warung ini. Bertahun lalu, saya makan di sana, dan menikmati pecel lele dengan sambal terasi. Seketika saya terpesona. Seumur-umur, belum pernah saya makan senikmat waktu itu. Sebegitu nikmat, hingga saya makan banyak sekali. Padahal sangat jarang saya makan banyak.

Nasi yang disajikan di warung itu memenuhi kualifikasi saya—ditanak dengan baik, butiran-butiran nasinya saling terlepas, empuk, tapi tidak lengket. Nasi yang sempurna semacam itu dipadukan dengan pecel lele yang masih panas, dan sambal terasi hitam. Ya Tuhan... rasanya tak bisa dijelaskan kata-kata. Setiap kali makan di sana, tentu dengan sambal terasi, saya merasa sedang menikmati hidangan surga.

Jika saya termasuk penggila sambal terasi, ada pula orang-orang yang justru tidak doyan sama sekali. Mungkin karena mengetahui proses pembuatan terasi yang membuat mereka kehilangan selera. Atau mungkin karena hal lain—saya tidak tahu pasti. Kemudian, ada pula orang-orang yang menganggap sambal terasi “biasa-biasa saja”. Dibilang enak ya bisa, dibilang tidak enak ya bisa.

Terkait sambal terasi, bisa jadi masalahnya cuma selera. Atau karena latar belakang tertentu. Itu hal biasa. Dalam hal ini, untungnya, kita bisa memahami, dan tidak saling menyalahkan hanya karena berbeda selera dan pilihan.

Meski teman-teman saya ada yang tidak doyan sambal terasi, mereka tidak pernah menyalah-nyalahkan saya karena suka sambal terasi. Sebaliknya, saya juga tidak pernah membuang-buang waktu untuk merayu atau memprovokasi mereka agar suka sambal terasi. Karena, meski mungkin nikmat luar biasa bagi saya, belum tentu begitu pula bagi orang lain.

Dalam hal bumbu makanan, semisal sambal terasi, kita bersedia memahami bahwa selera orang bisa berbeda, kita bisa saling bertoleransi bahwa masing-masing kita bisa berbeda. Ada yang suka pedas, ada yang tidak. Ada yang suka kecap, ada yang tidak. Ada yang suka asin, ada yang tidak. Begitu pula, ada yang suka sambal terasi, ada pula yang tidak.

Semua itu hanya bumbu makanan, yang ditujukan untuk menyedapkan makanan pokok yang kita konsumsi. Intinya adalah makanan pokok, sementara asin, manis, pedas, hingga sambal terasi, semua hanya bumbu, atau pelengkap. Karena sifatnya hanya bumbu atau pelengkap, kita bahkan boleh menggunakan atau tidak! Sebab intinya adalah makan, menjaga tubuh senatiasa sehat, agar dapat melanjutkan kehidupan dengan baik. Hanya itu. Soal rasa, itu selera.

Omong-omong soal kehidupan, nasi dan bumbunya bisa menjadi ibarat yang baik untuk kehidupan yang kita jalani. Masing-masing orang memiliki kehidupan sendiri, dan itulah pokok yang dimiliki setiap orang. Tetapi, terkait bumbu, setiap orang bisa berbeda.

Ada banyak bumbu kehidupan, sebagaimana ada banyak bumbu makanan. Kesukaan atau ketidaksukaan, kecocokan atau ketidakcocokan, itu sebenarnya hal biasa dalam kehidupan manusia.

Sebagai misal, ada orang yang sangat suka traveling. Sebegitu suka, sampai mereka rela menabung demi bisa jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri. Mereka benar-benar suka, dan menikmati aktivitas traveling, dan menganggap sebagai hal penting dalam hidup. Apakah itu salah? Tentu saja tidak! Wong itu hanya bumbu kehidupan. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani hidup, itu urusan mereka.

Sebaliknya, ada orang yang justru senang tinggal di rumah, damai meringkuk di sofa, sambil membaca buku. Sebegitu suka, sampai mereka tidak ingin keluar rumah, kalau saja tidak ada kepentingan atau keperluan. Mereka menganggap rumah adalah surga, dan bahagia di dalamnya. Apakah itu salah? Tentu saja tidak! Wong itu hanya bumbu kehidupan. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani hidup, itu urusan mereka.

Lalu soal musik, film, bacaan favorit, jenis pakaian, makanan dan minuman kesukaan... daftarnya masih panjang. Semua itu bumbu kehidupan. Ada yang suka film komedi, ada pula yang suka film action. Sama-sama tidak salah, karena hanya soal selera. Ada yang suka novel detektif, ada yang suka novel drama. Sama-sama sah, meski berbeda.

Bahkan, dengan cara bagaimana kita menjalani kehidupan, itu juga hanya bumbu. Misal, ada yang menjadi dokter. Ada yang menjadi pilot. Ada yang menjadi penulis. Ada yang menjadi polisi. Ada yang menjadi pelukis. Daftarnya masih panjang. Dan kita bersyukur karena orang-orang memiliki profesi berbeda, sehingga saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Apakah kita pernah menganggap orang lain salah, hanya karena ia memilih menjadi dokter? Apakah kita pernah menyalahkan orang lain, hanya karena ia memilih menjadi pilot? Tentu saja tidak, karena kita menyadari setiap orang memang bisa berbeda cita-cita, berbeda pilihan, dan setiap pilihan adalah hasil panjang latar belakang orang bersangkutan.

Ada orang yang lahir dan tumbuh di keluarga dokter. Ayah ibunya dokter. Kakek neneknya dokter. Bahkan famili-familinya pun dokter. Karena sejak kecil hidup di lingkungan dokter, kemungkinan besar dia pun terpengaruh untuk juga menjadi dokter. Itu sesuatu yang wajar dan alamiah. Ketika akhirnya dewasa, dia pun masuk Fakultas Kedokteran, lalu menjadi dokter. Dia telah memilih hidupnya, yaitu menjadi dokter. Dalam hal ini, pilihan tersebut dilatari oleh lingkungan keluarga.

Tetapi, kadang-kadang, tidak harus begitu yang terjadi.

Misal, ada orang yang lahir dan tumbuh di keluarga dokter. Ayah ibunya dokter. Kakek neneknya dokter. Bahkan famili-familinya pun dokter. Suatu hari, dia melihat seorang pelukis yang membuatnya terpesona. Lalu tertarik pada lukisan. Ketertarikan itu bahkan berlangsung bertahun-tahun, sampai dewasa. Ketika akhirnya dewasa, ia tahu panggilan hatinya pada seni lukis, dan ingin menjadi pelukis. Dia menyadari, dia tumbuh di keluarga dokter. Tapi dia juga menyadari, ingin menjadi pelukis. Maka dia pun mengejar impian itu, hingga benar-benar menjadi pelukis yang menikmati pekerjaannya.

Dua ilustrasi di atas tentu saja berbeda. Yang satu mengikuti lingkungan, sementara yang satu berbeda dengan lingkungan. Tetapi, dua-duanya tidak ada yang salah!

Karena intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani kehidupan, itu tergantung pada pilihan masing-masing. Selama orang berbahagia menjalani pekerjaannya—entah menjadi dokter, pelukis, polisi, pilot, atau yang lain—kita tidak bisa menyalahkan. Karena itu pilihan mereka, karena itu hanya bumbu kehidupan. Sama seperti saya tidak bisa menyalahkan orang lain karena tidak doyan sambal terasi, padahal bagi saya rasanya nikmat sekali!

Sambal terasi hanya bumbu. Intinya adalah makanan pokok. Pilihan dalam menjalani kehidupan hanya bumbu. Intinya adalah hidup!

Makanan, pakaian, musik, film, buku bacaan, sampai profesi atau pekerjaan yang ditekuni, semuanya adalah pilihan yang diambil masing-masing orang sesuai panggilan jiwa—sesuatu yang membuat bahagia. Omong-omong, bukankah itu sebenarnya inti kehidupan? Hanya memenuhi panggilan jiwa, dan menikmati hidup dengan hati bahagia.

Intinya adalah hidup. Soal bagaimana menjalani kehidupan, tergantung pilihan setiap orang.

Jika dalam makanan, pakaian, musik, film, buku bacaan, hingga profesi dan lain-lain, kita bisa legowo menerima perbedaan orang per orang, kenapa kita masih berusaha menyalahkan orang lain, hanya karena mereka memiliki pilihan yang berbeda dengan kita?

Seperti perkawinan, misalnya. Perkawinan, sebenarnya, tidak jauh beda dengan sambal terasi. Bagi sebagian orang, mungkin nikmatnya luar biasa. Tetapi, sebagian lain menganggap biasa-biasa saja. Bahkan, ada pula orang yang mencoba sambal terasi, lalu muntah, dan tidak pernah mencoba lagi selamanya. Karena, menurut mereka, rasanya aneh dan mengerikan.

Perkawinan, sebagaimana hal lain, hanya bumbu kehidupan. Dan sebagaimana bumbu, ada yang cocok, ada pula yang tidak. Intinya adalah hidup. Soal bagaimana orang menjalani kehidupan, itu tergantung pilihan.

Jika seseorang memilih menikah, karena berpikir pernikahan akan menambah kebahagiaan hidupnya, lalu dia menikah dan berkeluarga, apakah salah? Tentu saja tidak! Karena perkawinan hanyalah bumbu. Cara orang meraih dan menikmati kebahagiaan, bisa berbeda orang per orang.

Begitu pula, jika seseorang memilih tidak menikah—atau setidaknya menunda menikah—karena berpikir hidup sendirian membuatnya lebih tenteram dan bahagia, lalu memutuskan tidak buru-buru menikah, apakah salah? Jawabannya sama, tentu saja tidak! Karena menikah atau tidak hanyalah bumbu. Cara orang meraih dan menikmati kebahagiaan, bisa berbeda orang per orang.

Sebagai penikmat sambal terasi, saya tidak pernah menyalahkan orang lain yang tidak doyan sambal terasi. Saya juga tidak pernah merayu apalagi memprovokasi orang-orang lain agar suka sambal terasi. Karena, yang nikmat bagi saya belum tentu nikmat bagi orang lain. Dan saya bersyukur, mereka juga tidak pernah menyalahkan saya karena menyukai sambal terasi.

 
;