"Takdir terbaik," kata Soe Hok Gie, "adalah tidak dilahirkan."
Dan dia beruntung, karena segera dijemput kematian.
Kalau saja bisa, aku ingin seperti dirinya.
—@noffret
Dan dia beruntung, karena segera dijemput kematian.
Kalau saja bisa, aku ingin seperti dirinya.
—@noffret
Orang bisa mati kapan pun, dan itulah yang terpikir di kepala saya, ketika sesuatu muncul tiba-tiba, dan saya sangat terkejut.
Saya sedang duduk di sofa sambil membaca buku, suatu malam, ketika tiba-tiba dada terasa sakit. Maksud saya, sangat... sangat sakit. Seperti ada sesuatu yang menghantam dada saya dengan keras, lalu menghimpitnya dengan sama keras.
Saya meletakkan buku di meja, membaringkan tubuh di sofa, dan meraba dada, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Saya merasakan detak jantung tak beraturan, di atas normal. “Ada yang tidak beres,” pikir saya.
Selama berbaring di sofa, sambil memegangi dada yang sakit, saya mencoba mengatur pernapasan yang waktu itu tiba-tiba sesak. Saya menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan, berharap—entah bagaimana caranya—hal itu bisa mengurangi sakit di dada.
Beberapa menit kemudian, sakit itu hilang.
Saya bangkit dari sofa, pergi ke dapur, lalu membuat teh hangat, dan udud. Sambil udud, saya berpikir apa yang tadi saya alami. Kenapa tiba-tiba dada sangat sakit, padahal waktu itu saya sedang duduk santai di sofa?
Sempat ada pikiran “mengerikan”, terkait kemungkinan serangan jantung. Saya telah membaca banyak jurnal medis, dan saya cukup tahu soal serangan jantung. (Sebagian orang mungkin mengira serangan jantung hanya terjadi pada orang-orang lanjut usia. Keliru! Serangan jantung tidak memandang usia, dan bisa menyerang siapa pun, meski usiamu masih muda). Tetapi, seperti umumnya orang lain, saya berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu, dan berharap sesuatu yang terjadi pada saya hanyalah “kebetulan biasa”.
Berusaha “ngadem-ngademi” diri sendiri, saya mencoba berpikir, “Mungkin tadi posisi dudukku tidak benar.” Meski mungkin tidak ilmiah, saya berusaha mempercayai bahwa itulah yang terjadi.
Malam itu berlalu, dan tidak ada kejadian apa-apa. Keesokan harinya, saya pun merasakan tubuh baik-baik saja, dan saya bisa beraktivitas dengan baik seperti biasa. Lalu malam kembali tiba.
Dan “sakit misterius” itu kembali datang.
Kali ini, saya sedang duduk di depan komputer, ketika tiba-tiba dada saya kembali sakit seperti malam sebelumnya. Saya pun segera bangkit dari depan komputer, masuk kamar, lalu membaringkan tubuh di tempat tidur. Sambil berbaring, saya memegangi dada yang sangat sakit, dan mulai menyadari sakit itu ada di bagian kiri, yang menyebar ke arah lain, hingga ke punggung.
Sambil merasakan detak jantung yang tak beraturan dan terasa sangat tak normal, saya mulai menyadari ada hal lain yang tidak beres. Kepala saya terasa pusing, sementara tangan kiri terasa pegal, seperti kehilangan daya. Semua tanda itu merujuk pada satu hal; serangan jantung!
Malam itu sudah larut, dan satu-satunya harapan saya hanyalah menunggu esok, agar saya bisa pergi ke dokter untuk mendapat pencerahan, dan—tentu saja—pertolongan.
Satu-satunya dokter yang buka praktik pagi adalah dokter umum. Tidak ada pilihan, saya pun datang ke tempat praktiknya, tepat pukul 6 pagi. Di sana, saya menjelaskan apa yang saya alami, dan singkat cerita didiagnosis menderita “gejala jantung”—apa pun artinya. Diagnosis itu seperti mengonfirmasi kecurigaan saya.
Dokter menulis resep, saya menebusnya di apotek, dan mulai meminum obat sesuai intruksi, sambil berharap datangnya keajaiban.
Kalau kau masih bocah, dan divonis kena masalah jantung—yang artinya kau akan cepat mati—mungkin yang ada dalam pikiranmu adalah, “Padahal aku belum menikah!”
Sayangnya, saya tidak punya pikiran seperti itu. Ketika diberitahu bahwa saya kena masalah jantung—yang artinya saya bisa mati kapan pun, khususnya dalam waktu dekat—yang ada dalam pikiran saya adalah, “Padahal aku belum selesai meruntuhkan peradaban!”
Sebagai bocah, saya tidak pernah takut mati. Dan kini, karena yakin kematian bisa datang sewaktu-waktu akibat serangan jantung, saya merasa lebih siap dibanding sebelumnya. Sekarang saya tahu dengan cara apa saya akan mati, dan kenyataan itu membuat saya tenang. Saya sudah muak dengan dunia yang terkutuk ini, dan kematian seperti panggilan yang membebaskan.
Malam hari, sambil berdebar dan harap-harap cemas, saya menunggu datangnya sakit yang muncul tiba-tiba seperti dua malam sebelumnya. Tetapi, ajaib, kali ini sakit itu tidak datang. Tampaknya, obat yang diresepkan dokter benar-benar manjur.
Obat yang diresepkan dokter tadi untuk keperluan lima hari. Sejak saya mengonsumsi obat-obat itu, sakit di dada tidak muncul. Sampai tiga hari. Setiap malam, saya harap-harap cemas, kalau-kalau sakit itu—serangan jantung—kembali datang, tapi dada saya baik-baik saja. Tidak pernah sakit lagi.
Setelah tiga hari (atau tiga malam) tidak terjadi apa-apa, saya pun berpikir sudah kembali sehat. Jatah obat tinggal untuk dua hari lagi, dan setelah itu saya akan bebas.
Tapi ternyata saya keliru. Meski saya tetap mengonsumsi obat untuk hari keempat, serangan itu datang kembali.
Malam keempat, dada saya kembali sakit, seperti sebelumnya, dan saya pun berbaring di tempat tidur sambil memegangi dada yang seperti terbakar, merasakan detak jantung tak beraturan, kepala pusing, dan lengan kiri tiba-tiba kehilangan daya.
“Jadi seperti ini rasanya serangan jantung,” pikir saya sambil merasakan sakit yang luar biasa. Saat itu, saya merasa benar-benar dekat dengan kematian, dan saya merasakan pikiran begitu gelap... tak ada apa pun....
Beberapa saat kemudian, ketika saya hampir pingsan, sakit itu perlahan-lahan menghilang. Dan saya bisa bernapas dengan baik kembali, seiring detak jantung kembali normal. Saya pun bangkit dari tempat tidur, ke dapur dan bikin teh hangat, lalu udud.
Sambil udud, saya memikirkan kejadian tadi. Apa sebenarnya yang saya alami? Apakah benar saya mengalami serangan jantung?
Berdasarkan yang pernah saya pelajari—yang semuanya masih nempel di ingatan—semua yang saya alami/rasakan memang mengarah pada hal itu, dan dokter yang memeriksa saya juga menyatakan hal yang sama. Malam itu, saya bahkan sempat mempelajari kembali jurnal-jurnal kesehatan, dan menemukan semua fakta yang tertulis di sana memang tepat seperti yang saya alami; itulah serangan jantung!
So, apa yang harus saya lakukan sekarang? Dokter telah memberikan obat, yang semula saya kira akan membereskan masalah, tapi ternyata tidak. Sakit itu kembali datang. Padahal masih ada jatah obat untuk satu hari lagi. Dan saya membayangkan... jika besok malam sakit itu kembali datang, mungkin saya akan benar-benar mati. Sakit yang datang tadi begitu menyiksa, jauh lebih sakit dibanding malam-malam yang dulu.
Lalu saya terpikir untuk tahu obat apa yang diberikan kepada saya. Maka saya pun searching nama obat yang saya konsumsi, dan menemukan bahwa obat yang diresepkan untuk saya berfungsi mengencerkan darah. (Secara mudah, serangan jantung terjadi, karena adanya darah yang tersumbat. Jika darah diencerkan, aliran darah akan lebih mudah mengalir di dalam tubuh, dan itulah fungsi obat yang saya konsumsi).
“Jadi obat ini tidak menyelesaikan masalah,” pikir saya kemudian.
Saya pun lalu terpikir untuk mendatangi dokter lain, yang spesialis penyakit dalam. Kita sebut saja Dokter X.
Keesokan harinya, saya mendatangi tempat praktik Dokter X, menjelaskan “dada saya sakit”—tanpa penjelasan lain apa pun, dengan maksud agar Dokter X bisa menilai kondisi saya secara objektif. Tubuh saya lalu diperiksa secara menyeluruh, termasuk diperiksa menggunakan ultrasonografi, yang hasilnya dicetak hingga saya bisa melihatnya sendiri.
Setelah semua pemeriksaan selesai, dan kami duduk berhadapan, Dokter X menyerahkan cetakan pemeriksaan tadi, yang memperlihatkan organ-organ dalam tubuh saya, serta memberikan penjelasan.
“Organ-organ dalam Anda baik-baik saja,” ujar Dokter X. Cetakan pemeriksaan itu memang dilengkapi keterangan bahwa semua organ saya dalam kondisi baik.
Saya bertanya agak khawatir, “Jadi, apa yang saya alami, Dok?”
Dan Dokter X mengeluarkan fatwa yang membuat saya hampir terjengkang.
“Anda cuma stres,” ujarnya.
“Cuma stres?” Saya terpesona. “Bukan kena serangan jantung?”
“Jantung Anda sehat,” jawab Dokter X. “Anda tidak punya masalah jantung.”
Saya berusaha memastikan, “Anda yakin saya tidak kena serangan jantung?”
Dokter X menatap saya, dan balik bertanya, “Apakah sebelum ini Anda sudah memeriksakan diri ke spesialis jantung?”
Saya menjawab tidak. Tapi saya menjelaskan bahwa sebelumnya saya sudah memeriksakan diri ke dokter umum, dan dinyatakan kena gejala jantung. Lebih dari itu, tanda-tanda yang saya alami memang persis seperti tanda-tanda serangan jantung.
“Jantung Anda sehat, dan baik-baik saja,” ujar Dokter X memastikan. “Seperti yang saya bilang tadi, Anda cuma stres.”
Saya tidak yakin apa yang saya rasakan waktu itu—antara bingung campur lega, karena ternyata saya tidak kena serangan jantung, dan “cuma stres”. Fuck, pikir saya, cuma stres! Padahal saya sudah siap mati!
Waktu itu, yang membuat saya agak tenang, ingatan saya membuka salah satu memori terkait artikel di situs tirto. Artikel itu telah saya baca setahun yang lalu, tapi isinya masih saya ingat. Dalam artikel itu, si penulis menceritakan pengalamannya yang mirip saya alami. Dia mengalami sesuatu yang serupa serangan jantung, tapi ternyata disebabkan stres. Kalian bisa membacanya langsung di sini: Jangan Sampai Stres dan Mengalami “Serangan Jantung”.
Ingatan pada isi artikel itu membantu saya untuk menerima diagnosis Dokter X, bahwa saya “cuma stres”. Bisa jadi, yang saya alami memang serupa dengan yang dialami reporter tirto—sama-sama mengira kena serangan jantung, padahal serangan itu disebabkan stres. (Sekarang kita tahu, stres bisa menimbulkan gejala penyakit yang benar-benar aneh dan tak terduga!)
Dokter X lalu menulis resep, dan mengatakan, “Resep ini untuk lima hari. Jika lima hari mendatang keluhan Anda masih muncul, Anda bisa membeli obat lagi dengan resep ini. Tapi kalau lima hari mendatang keluhan Anda sudah hilang, Anda tidak perlu membeli obat lagi. Selain itu, saran saya, kurangi stres.”
Saya mengonsumsi obat yang diresepkan Dokter X, dan sejak itu serangan sakit di dada tidak pernah datang lagi. Kemudian, mematuhi sarannya, saya pun berusaha mengurangi stres. Kalau beberapa hari kemarin kalian tidak melihat saya di dunia maya—di blog maupun Twitter—itu karena saya sedang beristirahat.
Sebenarnya, sampai saat ini pun saya masih stres, tapi setidaknya mulai bisa melanjutkan hidup kembali dengan baik, tanpa gangguan sakit apa pun. Semoga stres saya bisa terus berkurang, dan semoga selalu dikaruniai kesehatan.
PS:
Terima kasih untuk kalian yang telah mengirimkan e-mail. Meski saya belum sempat membaca semuanya, semoga perhatian dan doa-doa baik yang kalian tulis di dalamnya kembali menjadi doa dengan kebaikan serupa.