Tentu banyak anak yang bahagia dengan hidupnya,
mensyukuri kelahirannya, dan sangat mencintai orang tuanya.
Mungkin kau termasuk di antara mereka—dan kau orang beruntung.
Sayangnya, tidak semua anak seberuntung dirimu.
—@noffret
mensyukuri kelahirannya, dan sangat mencintai orang tuanya.
Mungkin kau termasuk di antara mereka—dan kau orang beruntung.
Sayangnya, tidak semua anak seberuntung dirimu.
—@noffret
Ada orang-orang yang memuja orang tuanya, dengan berbagai sebab dan alasan; ada pula orang-orang yang membenci orang tuanya, dengan berbagai sebab dan alasan. Karena meski sama-sama orang tua, mereka tetap manusia. Dan manusia selalu memiliki perbedaan—dalam cara berpikir, cara bersikap, kebaikan, dan keburukan. Dalam hal itu, si anak menjadi pihak yang paling tahu seperti apa orang tuanya, karena si anak yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan si orang tua.
Karenanya, saya sering merasa “kesandung” setiap kali mendengar orang mengatakan puja-puji pada orang tua, sembari menyuruh-nyuruh orang lain agar melakukan hal yang sama. Yang jadi persoalan di sini, orang tua Si A mungkin memang baik. Tapi tidak semua orang tua di muka bumi sebaik orang tua Si A. Bisa jadi, Si B atau Si C justru sangat membenci orang tuanya, karena perilaku si orang tua yang memang buruk.
Meyakini bahwa setiap orang tua pasti baik itu namanya generalisasi, dan manusia—termasuk orang tua—tidak bisa digeneralisasi. Tolong berhentilah menipu diri sendiri dengan mengatakan semua orang tua pasti baik, dan tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Karena doktrin itu sudah terbukti basi. Realitas sudah menunjukkan dengan sangat jelas bahwa di dunia ini ada banyak orang tua yang buruk, juga banyak orang tua yang menjerumuskan anaknya sendiri.
Orang tua yang tidak bertanggung jawab pada anaknya, dan membiarkan anak-anaknya telantar dan terlunta-lunta—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk? Orang tua yang melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap anaknya, dan menjadikan hal itu sebagai kepuasan diri sendiri sebagai orang tua—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk? Ayah yang memperkosa putrinya, atau ibu yang menjual anaknya ke pelacuran—apa namanya jika bukan orang tua yang buruk?
Sebagian orang yang masih ngotot mungkin ingin mengatakan, “Ah, itu kan hal-hal yang terlihat mata kita. Siapa tahu orang tua melakukan hal-hal itu sebenarnya dengan niat baik?”
Jika ada yang ingin mengatakan dalih semacam itu, ini jawabannya: Niat seseorang adalah urusan hati, dan itu urusannya pribadi. Yang dilihat orang lain adalah hasil dari niat itu—ketika diwujudkan dalam perbuatan—dan itulah yang dinilai, karena memang hanya itulah yang bisa dinilai. Niat adalah urusan dengan Tuhan, karena manusia lain hanya bisa melihat perbuatan.
Seorang ayah yang memperkosa putrinya mungkin punya niat baik—oh, well, niat baik! Tapi apakah kemudian kita bisa membenarkan perilakunya (memperkosa putrinya) hanya dengan berdalih bahwa dia punya niat baik?
Seorang ibu yang menjual anaknya ke pelacuran mungkin punya niat baik—oh, well, niat baik! Tapi apakah kemudian kita bisa membenarkan perilakunya (menjual anak ke pelacuran) hanya dengan berdalih bahwa dia punya niat baik?
Begitu pula dengan perilaku dan perbuatan lain yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya. Yang bisa kita nilai adalah perbuatannya, terlepas apa pun niatnya. Orang tua yang menganiaya anak mungkin punya niat baik—sebelas dua belas dengan orang tua yang memperkosa anaknya atau menjual anaknya ke pelacuran. Tapi bukan berarti kemudian kita bisa membenarkan perilakunya hanya dengan berdalih “orang tua pasti berniat baik”. Sudah saatnya kita sadar dari mabuk doktrin yang merusak!
Sekali lagi, di dunia ini memang ada orang tua yang baik—sebegitu baik, hingga anak-anaknya memuja dan ingin meneladani mereka. Ada anak-anak yang berkata, “Kelak, setelah menjadi orang tua, aku ingin seperti ayahku.” Ada pula yang mengatakan, “Kelak, setelah berumah tangga, aku ingin seperti ibuku.”
Anak-anak itu termasuk orang-orang beruntung, karena memiliki orang tua baik yang mampu memberikan contoh dan teladan baik. Sebegitu baik, sampai anak-anaknya ingin meniru dan meneladani! Bahkan para malaikat di surga pun akan sepakat orang tua semacam itu pasti baik.
Tetapi, sayang, tidak semua orang tua pasti begitu. Di antara banyak orang tua yang baik, dunia ini juga penuh orang tua yang buruk. Sebegitu buruk, sampai anak-anaknya tidak ingin meniru apalagi meneladani! Dalam hal ini, saya termasuk di antaranya.
Ayah saya mungkin orang baik, dan siapa pun yang mengenalnya akan bersaksi bahwa dia memang orang baik. Tetapi, sebagai anaknya, saya tahu dia bukan ayah yang baik. Selain cara mendidiknya yang sangat salah, ayah saya juga kurang memiliki tanggung jawab—yang belakangan melahirkan petaka dalam hidup saya.
Dulu, waktu saya masih anak-anak, saya kerap mendapati ayah menganggur dan terlihat santai di rumah, padahal waktu itu kami dalam kondisi miskin dan kekurangan. Ayah tidak tampak berusaha mencari kerja, atau berupaya mendapat penghasilan agar bisa menghidupi keluarganya. Kalau ada panggilan kerja, dia berangkat kerja. Kalau tidak ada pekerjaan, dia santai-santai saja, seolah malaikat akan turun dari langit membawakan makanan untuk kami.
Saya tentu tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayah waktu itu—mungkin niatnya baik, persis seperti dalih orang tua lain. Jadi, meski saban hari dia menganggur dan kami sekeluarga dibelit kemiskinan yang mengerikan, niat ayah saya mungkin baik. Oh, well, niatnya baik! Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, eh?
Tapi saya tidak bisa melihat niat seseorang, meski itu ayah saya sendiri! Yang bisa saya lihat adalah hasilnya; bahwa dia menganggur, dan tampak tidak punya tanggung jawab, hingga keluarga kami dihimpit kesusahan!
Latar belakang itulah, yang kemudian sampai membuat saya berusaha mencari uang sendiri di jalanan, ketika saya masih kelas 5 SD! Karena orang tua saya bahkan tidak mampu memberi uang saku, hingga saya tidak pernah bisa jajan di sekolah!
Kebiasaan menganggur ayah saya terus berlanjut, ketika saya beranjak remaja, hingga terus tumbuh besar. Dia tidak berubah, tetap santai menjalani hidup, dan tampak tak punya tanggung jawab.
Di masa-masa itu, saya kerap membatin, “Daripada dia cuma duduk-duduk di rumah tanpa ada yang dikerjakan, mbok coba mencari pekerjaan di luar, atau berusaha melakukan sesuatu yang bermanfaat.”
Tapi saya tidak pernah mengatakannya, selain hanya menyimpannya dalam batin. Yang jelas, kenyataan itu belakangan membentuk saya menjadi sosok yang 180 derajat berbeda dengan ayah saya sendiri. Inilah latar belakang yang kemudian menjadikan saya sangat giat bekerja—sesuatu yang bahkan menjadi sifat terbesar saya sampai saat ini. Alasannya sederhana: Saya tidak ingin seperti ayah saya!
Manusia dibentuk oleh pengalamannya, masa lalunya, bahkan oleh luka dan trauma yang dialaminya. Bagaimana kau menilai orang tuamu, tak bisa dilepaskan dari bagaimana orang tuamu yang kaulihat sejak kecil. Bahkan apakah kau ingin meniru orang tuamu atau tidak, sepenuhnya tergantung pada bagaimana perlakuan orang tua kepadamu. Kalau orang tuamu buruk, bahkan iblis di neraka pun tahu, kau tidak ingin meniru mereka!
Sayangnya, ayah saya bukan hanya pemalas, tapi juga kurang punya tanggung jawab. Saya sengaja menggunakan istilah “kurang punya tanggung jawab”, karena dia mungkin punya tanggung jawab, tapi sangat minim. Yang membuat saya sangat marah, sifat “kurang tanggung jawab” itu, ternyata, menciptakan tumpukan masalah dan petaka ketika saya dewasa.
Sedari dulu, sejak saya masih kecil, ucapan yang biasa keluar dari mulut ayah saya adalah, “Ntar, gampang.” Dia terbiasa menggampangkan segala sesuatu, tanpa niat mengurus atau membereskan dengan tanggung jawab.
Di masa-masa itu, sejak saya masih kecil sampai besar, saya kadang mendapati ibu saya mengatakan sesuatu pada ayah, yang intinya meminta ayah untuk mengurus sesuatu. Tapi jawaban ayah selalu, “Ntar, gampang.”
Dan “ntar”-nya itu tidak pernah terwujud, tidak pernah dia lakukan, kecuali jika ibu sampai marah hingga terjadi pertengkaran dan keributan.
Jadi, selama bertahun-tahun, kadang ada sesuatu yang seharusnya dibereskan, tapi ayah saya hanya menjawab, “Ntar, gampang.” Lalu satu masalah bertumpuk dengan masalah lain, dan terus bertumpuk karena tidak pernah diurus atau dibereskan. Tumpukan masalah itu mengendap diam-diam, selama bertahun-tahun. Semuanya terlihat biasa, hingga saya pun tidak tahu, atau tidak menyadari, bahwa kelak hal itu akan menjadi masalah besar.
Ketika kemudian ayah saya meninggal dunia, tumpukan masalah yang ditinggalkannya seperti menjelma monster yang mencabik-cabik kehidupan saya.
Setelah dia meninggal dunia itulah, saya baru tahu petaka apa yang dia tinggalkan sebagai warisan, dan saya harus bersusah-payah membereskannya. Saya tidak bisa menjelaskan persoalan itu secara detail di sini. Yang jelas, dampak yang timbul pada diri saya sangat merusak, hingga saya ditikam stres berkepanjangan, sampai mengalami masalah kesehatan seperti yang saya ceritakan di catatan ini.
Selama bertahun-tahun, hingga sampai saat ini, saya terus berkubang dalam masalah yang ditinggalkan ayah saya. Dia mati bukan meninggalkan harta warisan, tapi justru masalah yang harus dibereskan. Sampai saya menulis catatan ini, ada satu masalah yang masih menggantung di pengadilan, yang masih belum selesai meski telah berlangsung bertahun-tahun.
Dan saya harus membereskan semua petaka itu sendirian. Ibu saya terlalu bodoh untuk memahami masalah yang terjadi, sementara adik saya—yang terbesar—sudah sibuk dengan keluarga serta urusannya sendiri. Famili dan saudara pura-pura tak tahu, bahkan sebagian teman yang saya mintai tolong pun perlahan menjauh.
Sekarang kalian paham kenapa dampak stres yang saya alami begitu mengerikan, seperti yang saya ceritakan di catatan kemarin, dan sekarang kalian paham kenapa saya mengatakan sudah muak dengan masalah! Saya menjauhi masalah seperti menjauhi lepra—atau ebola, atau AIDS, atau apa pun—karena hidup saya sudah penuh masalah!
Mungkin orang tuamu baik. Sayangnya, tidak semua orang tua sebaik orang tuamu. Mungkin keluargamu begitu indah. Sayangnya, tidak semua keluarga seindah keluargamu. Memaksakan cara hidupmu kepada orang lain adalah sebentuk kebodohan, kalau tak mau disebut kejahatan.
Dan jangan pernah menggampangkan masalah—apalagi masalah yang dialami orang lain—karena sekarang kau telah melihat dampak mengerikan yang ditimbulkan dari kebiasaan terkutuk itu. Ayah saya sangat tahu cara menggampangkan masalah, tapi dia tidak pernah tahu akibat yang ditimbulkannya.