Jumat, 10 Juni 2022

Chemistry

Clear communication is so attractive.

Unclear communication is manipulation.
Clear communication is giving respect to the persons feelings.


Pukul 9.00 pagi menjelang siang, saya baru bersiap memulai kerja. Saat sedang menyulut rokok, ponsel bergetar. Di layar muncul sederet nomor asing. Saya selalu malas menerima telepon dari orang tak dikenal. Tapi waktu itu pikiran saya masih segar, dan tak ada urusan mendesak yang harus segera dilakukan.

Jadi, saya menerima panggilan itu, dan menyapa, “Halo.”

Suara seorang wanita terdengar di ponsel. “Dengan Hoeda?”

“Ya,” saya menyahut. “Dengan siapa ini?”

“Febri.” Nadanya sangat percaya diri. “Febriana.”

Pikiran saya langsung bekerja, mengingat-ingat nama Febriana yang mungkin saya kenal. Tapi dalam beberapa detik itu tidak ada satu pun nama Febri atau Febriana yang saya ingat. Jadi, saya pun berkata, “Maaf, apakah kita saling kenal?”

Dia menyahut, “Aku teman Livia. Livia Renatha, temanmu.”

“Oh.” 

“Aku mendapat nomor ponselmu dari Livia,” dia kembali berkata, “dan aku memberanikan diri meneleponmu sekarang, karena kupikir kita bisa bertemu.”

Saya mengisap rokok, lalu menyahut, “Maaf, kenapa kamu berpikir aku mau menemuimu?”

“Aku punya sesuatu yang pasti akan kamu suka.”

“Oh, really?”

“Ya. Mutasi biologi.”

“Sorry?”

“Aku tahu kamu sangat serius mempelajari mutasi biologi. Livia menceritakan, kamu sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun, mencari semua hal tentang mutasi biologi. Aku memiliki beberapa referensi penting, yang kuyakin belum kamu temukan.”

Saya menegakkan duduk. “Kenapa kamu tertarik pada subjek itu?”

“Aku kuliah sains, jurusan biologi, di Belanda, dan sedang menggarap tesis soal itu. Tesisku hampir selesai, tapi masih banyak ‘lubang’ yang tidak kupahami. Aku butuh seseorang yang memahami topik ini, untuk brainstorming, untuk menutup lubang-lubang teoritis pada tesisku. Kalau kamu mau menemuiku, kita bisa mendiskusikannya, dan akan kuberikan semua referensi yang kupunya. Omong-omong, referensi yang kumiliki berbahasa Belanda, dan semuanya telah kuterjemahkan untukmu.” 

Saya terdiam sesaat, kemudian bertanya, “Kamu tinggal di mana, Febri?”

“Jakarta.” Kemudian, karena mungkin menyadari saya ragu-ragu, dia melanjutkan, “Maaf, mungkin aku terlalu lancang memintamu menemuiku, padahal kita belum kenal. Tapi aku memintamu menemuiku bukan tanpa alasan. Aku punya laboratorium kecil yang ingin kutunjukkan kepadamu, berkaitan dengan tesis yang kutulis. Dan kalau kamu meragukanku, kamu bisa minta pendapat Livia.” 

Saya berkata ragu-ragu, “Menemuimu, artinya aku harus menempuh perjalanan sejauh ratusan kilometer.”

“Dan aku janji kamu tidak akan kecewa. Aku tahu kamu sangat sibuk, dan aku tidak akan memintamu, kalau tidak benar-benar yakin.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kalau kita bertemu, aku tidak akan mengajakmu jalan-jalan atau keluyuran ke mana pun, kecuali kamu yang meminta. Kita hanya akan duduk-duduk tenang, bercakap-cakap... dan aku tidak akan mengajakmu foto-foto, atau melakukan hal-hal lain yang membuatmu tidak nyaman.”

“Kalau aku bersedia menemuimu, berapa hari yang kamu butuhkan?”

“Mungkin tiga hari?” dia menyahut. “Kamu bisa berangkat hari Jumat, dan pulang Minggu atau Senin. Kita hanya akan bertemu selama itu. Kamu bisa membawa pulang hasil terjemahan referensi yang kumiliki. Tidak ada ruginya bagimu. Dan selama kamu di sini, aku bisa menjanjikan, aku teman bicara yang menyenangkan. Aku akan berbicara dengan jelas, lugas, gamblang, tanpa kode-kode tolol yang akan membuatmu bosan.”

Saya tersenyum. “Kedengarannya kamu telah merisetku.”

Dia tertawa kecil. “Aku tidak akan menghubungi seseorang dan meminta sesuatu, jika tidak yakin siapa dirimu. Ya, aku memang telah merisetmu, hingga benar-benar yakin kamu orang yang tepat. Aku juga telah lama membaca blogmu, jadi sangat memahami kepribadianmu. Livia juga berkali-kali mengingatkan, agar aku tidak bertele-tele saat berbicara denganmu, karena akan membuatmu bosan. Jadi, aku sengaja langsung menyatakan maksudku sejelas yang aku bisa.” 

Saya terdiam sesaat, kemudian berujar, “Kamu pasti wanita yang mengagumkan.”

Dia memperdengarkan tawa renyah. “Seperti yang kubilang tadi, aku sangat memahamimu.” Dia terdiam sejenak. “So, kamu bersedia menemuiku?”

“Aku menyukai wanita yang bisa berbicara dengan jelas, tidak berbelit-belit, dan tidak pakai drama macam-macam. Aku menghargai keterusteranganmu. Dan, ya, aku bersedia menemuimu.”

Setelah itu, kami bercakap-cakap beberapa saat, dan Febriana memberikan alamat lengkapnya.

Saya berkata, “Omong-omong, Livia pernah menceritakan seperti apa aku?”

“Menurut Livia, kamu sosok sederhana yang sulit dilupakan.” Kemudian dia berkata dengan ringan, “So, kapan kira-kira kamu bisa meluangkan waktu?”

“Jumat depan aku berangkat ke tempatmu.”

“Bagus. Aku janji kamu tidak akan kecewa.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

....
....

Jakarta, suatu pagi.

Turun dari travel, dengan menyandang tas di punggung, saya melangkah ke depan sebuah rumah. 

Pintu rumah terbuka, dan seorang wanita muncul, dengan ciri-ciri yang telah saya ingat.

Saya menyapa, “Febri?” 

Dia mengangguk, dan tersenyum hangat. “Kamu benar-benar datang!”

Saya membalas senyumnya, “Semoga aku tidak merusak bayanganmu.”

Dia tertawa. “Kamu tepat seperti bayanganku. Sosok yang sederhana.”

“Dan tak mudah dilupakan?”

Tawanya masih terdengar. “Itu masih perlu pembuktian.”

....
....

Cerita dimulai.

 
;