Jumat, 02 Desember 2011

Senandung Gerimis

setiap titik gerimis
bagai duri yang menikam
namun ‘ku masih bertahan
masih kugenggam janji kuberikan
padamu perawan

bila malam ‘ku diusik kenangan
bisikanmu menggoda perasaan
mataku pejam
wajah ayumu kubayangkan

senyummu, tawamu, riangmu
jadi penawar…

biar pun langkahku
sedang dibelit sengsara
seluruh hatiku digenggam derita
kau tak kulepas…

Search, Nantikan Gerimis


Gerimis turun di sini, ketika aku kembali mengenangmu—saat suara dan tawamu begitu dekat di hatiku. Kau, wujud terindah yang pernah kumiliki, menjadi jejak bayang-bayang setiap kali aku melewati tempat-tempat yang pernah kita datangi, lekuk-lekuk bumi yang pernah kita lewati. Menggenggam tanganmu, waktu itu, melangkah bersamamu, dan kini aku merasa kembali mendengar suaramu.

Kita pernah ada di sini, menatap langit yang menurunkan gerimis, dan aku ingat kau menyatakan itu gerimis termanis yang pernah kaulewati, membuatku merasa setiap titik gerimis seperti kelembutan mawar dari langit.

Kini, saat aku melewati jalan ini, aku merasa sedang menapaki jejak bayang-bayangmu, merasakan percik gerimis yang turun dari langit, dan aku ingin kembali mendengar suaramu, merasakan genggamanmu, menikmati riang tawamu. Berapa tahunkah waktu telah berlalu? Rasanya baru kemarin di hatiku, hingga masih dapat kuingat setiap jengkalnya, setiap kata yang kita ucapkan.

“Kau tahu kenapa gerimis ini tetap gerimis, dan tidak berubah menjadi hujan?”

Dan kau bertanya penasaran, “Kenapa?”

“Itu cara langit menyatakan restunya.”

Kau tertawa—aku selalu senang mendengar tawamu. Kemudian, saat aku mengeratkan genggamanku di tanganmu, kau berbisik, “Aku tak akan melupakan saat ini.”

Begitu pun aku—bahkan hingga tahun-tahun berlalu. Sekarang, saat aku melangkah sendirian di sini, satu-satunya yang kuinginkan hanyalah dirimu, dan hanya dirimu. Kau melengkapi ruang kosong dalam hidupku, kau bidadari yang selalu kuimpikan di masa kanak-kanakku. Bersamamu, aku merasakan hidupku lengkap, dan impianku terwujud. Duniaku sempurna bersamamu.

“Setelah kita hidup bersama nanti, kau tidak akan sering pergi-pergi lagi, kan?”

Dan aku meyakinkanmu, “Tidak akan. Kelak, aku akan lebih banyak di rumah, karena aku pasti akan sangat sibuk mencintaimu.”

Lalu kau tersenyum, dan memelukku erat, seolah meyakinkan diri bahwa aku memang tak akan pernah pergi.

Tetapi kemudian kau pergi—selamanya, dan tak pernah kembali. Kau pergi setelah perjalanan panjang bersama yang telah kita lewati, kenangan demi kenangan… kau pergi bersama langit yang menurunkan hujan, menepikanku pada malam-malam panjang, bersama tangis dan kerinduan. Menyebut namamu setiap malam, berharap, entah bagaimana caranya, semua itu hanya mimpi buruk dan esok pagi kau akan datang kembali, menjadi milikku.

Namun kau tak pernah kembali, bahkan untuk setiap gerimis yang berubah menjadi hujan. Kau tak pernah kembali, bahkan untuk setiap tangis yang membungkus kerinduan, untuk setiap hari yang kulewati bersama kenangan demi kenangan….

Dan hari-hari berlalu, sementara bayangmu di hatiku tak pernah berlalu. Pada tahun-tahun yang panjang, mengobati sakit rinduku, aku telah kembali pada tempat-tempat yang pernah kita singgahi, setiap jejak, setiap jengkal, untuk kembali memeluk bayangmu, untuk kembali mendengar suaramu, untuk kembali merasakan kedekatan bersamamu. Dan sekarang aku di sini, di tempat kita pernah menikmati gerimis, dan langit seperti tahu kerinduanku.

Gerimis kembali turun sore ini—gerimis yang sama, di tempat yang sama. Aku tahu, ada gerimis lain yang luruh di hatiku.


setiap titik gerimis
bagai duri yang menikam
namun ‘ku masih bertahan
masih kugenggam janji kuberikan
padamu perawan

bila malam ‘ku diusik kenangan
bisikanmu mendera perasaan
mataku pejam
wajah ayumu kubayangkan

senyummu, tawamu, riangmu
jadi penawar…

biar pun langkahku
sedang dibelit sengsara
seluruh hatiku dicengkam derita
kau tak kulupa…

 
;