Tidak ada fakta, hanya interpretasi.
—Friedrich Nietszche
Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk,
hanya pikiranlah yang membedakannya.
—William Shakespeare
—Friedrich Nietszche
Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk,
hanya pikiranlah yang membedakannya.
—William Shakespeare
Pada pertengahan 1990-an, Dessy Ratnasari menyanyikan sebuah lagu berjudul Takdir—ciptaan Chossy Pratama—dan lagu itu sempat menjadi polemik. Pasalnya, di dalam lagu itu ada kalimat yang berbunyi, “Takdir memang kejam”—di bagian reffrain.
Pada mulanya, lagu itu ‘baik-baik saja’—dalam arti tidak ada orang yang meributkannya, meski waktu itu sudah cukup populer. Tetapi karena lagu itu juga menjadi soundtrack untuk sinetron yang tayang hampir setiap malam, maka bocah-bocah kecil di kampung pun jadi cepat hafal—dan ada orang-orang tertentu yang kemudian merasa terusik.
Orang-orang-tertentu-yang-merasa-terusik itu lalu melayangkan protes terhadap pencipta dan penyanyi lagu tersebut, agar kalimat “takdir memang kejam” di atas diganti dengan kalimat lain. Mengapa? Karena, menurut mereka yang protes, kalimat tersebut tidak layak dan tidak benar, karena seolah-olah kita sedang menyalahkan takdir Tuhan.
Jika takdir dianggap kejam—mungkin begitu pikir mereka yang protes—maka berarti Tuhan juga kejam, karena Dialah si pemilik dan penentu takdir. Karenanya, menyebut takdir itu kejam sungguh tidak elok, khususnya lagi jika dinyanyikan dalam sebuah lagu.
Untungnya, Dessy si penyanyi dan Chossy si pencipta lagu, sangat kooperatif. Mereka tidak meributkan protes itu atau mengajukan argumentasi untuk melawan, tetapi segera mengganti kalimat “takdir memang kejam” menjadi kalimat lain. Setelah itu, lirik lagu itu pun jadi terdengar ‘aneh’—karena sebelumnya orang-orang sudah biasa menyanyikan, “Taaakdiiir memang kejam…”
Lalu benarkah takdir tidak kejam, sebagaimana yang diklaim orang-orang yang memprotes lirik lagu tersebut? Ataukah memang kejam sebagaimana yang dinyanyikan Dessy Ratnasari? Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya teringat salah satu mata kuliah di kampus dulu, yaitu Masa’ilul Fiqhiyah.
Masa’ilul Fiqhiyah adalah kuliah tentang cara menggunakan sumber hukum agama (al-Qur’an dan hadist) untuk menilai sesuatu apakah halal atau haram, benar atau salah. Materi mata kuliah ini adalah memperdebatkan suatu topik tertentu, dengan mendasarkan perspektif dari sumber ayat dan hadist yang berbeda.
Jadi, model kuliah Masa’ilul Fiqhiyah dibuat dalam bentuk diskusi yang mengarah pada perdebatan. Untuk setiap topik yang dipelajari, akan ada dua kelompok mahasiswa yang ditugaskan untuk mencari dan menggali sumber-sumber yang berbeda. Jadi, umpama hari ini Topik A akan dipelajari, maka sebagian mahasiswa akan mendasarkan perspektifnya pada hukum yang halal, sedang sebagian lagi akan mendasarkan perspektifnya pada hukum yang haram.
Setelah diberi waktu satu minggu untuk mempersiapkan semua materi yang dibutuhkan, acara kuliah yang sangat panas dan menegangkan pun dimulai. Sang dosen akan melemparkan topik itu ke tengah-tengah kelas dalam bentuk netral, dan kemudian dua kelompok mahasiswa yang sudah siap dengan setumpuk kitabnya akan memulai ‘peperangan’—untuk menentukan hukum atas topik itu, apakah halal atau haram, berdasarkan perspektif fiqih.
Selama berpuluh kali mengikuti mata kuliah ini, saya takjub menyaksikan betapa suatu topik tertentu selalu dapat dipandang dengan sudut pandang yang berbeda, dapat dihukumi dengan perspektif yang berbeda, dan kita selalu bisa menemukan sumber yang sahih untuk menilai apakah topik tertentu merupakan halal ataukah haram, benar atau salah.
Jadi, dalam setiap kuliah ini, masing-masing kelompok mahasiswa selalu mampu mengajukan argumentasinya yang kuat, dapat diverifikasi kesahihannya, berdasarkan hukum yang dapat diterima bersama—baik untuk penghukuman halal, ataupun untuk penghukuman haram. Ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya.
Bagi saya sendiri, Masa’ilul Figh adalah salah satu kuliah favorit, karena di dalam kuliah inilah saya tahu bahwa kita selalu dapat mengambil sudut pandang berbeda untuk menilai sesuatu yang sama.
Begitu pula cara memandang soal ‘takdir memang kejam’ yang dinyanyikan Dessy Ratnasari. Saya membayangkan, kalau saja topik ini dibawa ke kelas Masa’ilul Figh, maka hampir bisa dipastikan akan ada dua kubu yang sama-sama kuat dalam penilaiannya, dan mereka akan bisa sama-sama memiliki dasar hukum yang sahih untuk menilainya.
Jika diringkas dalam bahasa yang mudah, perspektif Masa’ilul Figh adalah soal pendapat. Karena sifatnya pendapat, maka masing-masing orang akan mengajukan pendapatnya berdasarkan apa yang telah dan pernah dipelajarinya, apa yang pernah dilalui dan dijalaninya. Karenanya pula, sungguh wajar dan masuk akal jika kemudian orang sering berbeda pendapat, karena memang begitulah kehidupan manusia; berwarna-warni, penuh dinamika, dan tidak seragam.
Karenanya, jika Dessy Ratnasari menyatakan, “Takdir memang kejam,” itu adalah pendapatnya. Jika itu adalah kesimpulan, maka artinya kesimpulan itu didasarkan pada apa saja yang dipelajari dan dipahami Dessy (atau orang lainnya) dalam hidup mereka. Dan jika kita memang memiliki pendapat sendiri, mengapa harus repot-repot meralat dan menyalahkan pendapat orang lainnya…?
“Tak ada yang benar atau salah,” kata Nietsczhe, “yang ada hanya interpretasi.”
Mungkin Nietsczhe terlalu skeptis. Tetapi interpretasi adalah memang sifat manusia. Bagaimana ia menilai dan menjalani hidupnya, juga bagaimana ia berpendapat atas sesuatu, selalu didasarkan pada interpretasi—karena manusia bukanlah Tuhan yang Maha Tahu. Interpretasi adalah cara manusia dalam memahami sesuatu. Karena pikiran manusia berbeda-beda, maka interpretasi tiap orang pun akan berbeda, begitu pula pendapatnya.
Jadi, apakah takdir memang kejam, sebagaimana yang dinyanyikan Dessy Ratnasari? Kita harus kembali pada interpretasi untuk menilainya secara arif.
Sekali lagi, ini adalah soal pendapat. Jika ada orang yang hidup penuh kesengsaraan, penderitaan, kemiskinan dan kelaparan, dan sepanjang hidupnya terus-menerus dizalimi orang lain, dan kemudian dia berkata, “Takdir memang kejam…” apakah kita harus meralat dan menyalahkan pendapatnya?
Mungkin saya hidup berkelimpahan dan penuh kebahagiaan, sehingga saya pun meyakini bahwa “takdir memang asoy”. Tetapi, saya pikir, bukanlah hak saya untuk menyalahkan orang lain jika mereka menyatakan pendapat yang berbeda atas takdir manusia. Saya menilai sesuatu berdasarkan pendapat saya, dan orang lain pun menilai sesuatu berdasarkan pendapatnya. Tak ada yang berbeda di sini. Semua hanya soal interpretasi.
Kata para filsuf, “Apakah kau memandang hidupmu sebagai surga atau sebagai neraka, kau benar.”
Karenanya, jika Dessy Ratnasari menyatakan bahwa takdir itu kejam, saya lebih memilih untuk tidak menyalahkannya. Lebih dari itu, tugas kita bukanlah menyalahkan mereka yang menyatakan bahwa takdir memang kejam, tetapi menunjukkan kepada mereka bahwa sesungguhnya takdir tidaklah sekejam yang mereka bayangkan.