***
Kemudian, di salah satu jendela yang tak jauh dari tempat lelaki nekat itu berdiri, muncul sesosok polisi yang mencoba berbicara dengannya. Saya tidak bisa mendengar yang dikatakan polisi itu, tetapi tampaknya ia berbicara perlahan-lahan, dengan sikap ingin menunjukkan empati. Beberapa saat polisi itu berbicara, dan si lelaki nekat hanya diam sambil terus berdiri dan memegangi tonjolan dinding dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba, lelaki nekat itu berteriak, “Tidak! Pokoknya aku ingin mati! Hidup hanyalah sekumpulan kisah keparat yang dijejalkan takdir untuk kauhadapi! Aku mau mati sekarang!”
Suara itu pasti keras sekali, karena saya yang ada di tiga lantai di bawahnya cukup bisa mendengarnya. Orang-orang yang ada di sana juga pasti mendengar teriakan itu, karena suasana seketika sunyi senyap, sementara beberapa perempuan menutup mulutnya, beberapa yang lain terisak, sementara ibu si lelaki nekat kini tampak histeris.
Yang saya saksikan waktu itu mirip adegan film. Dan saya masih berdiri di sana, menyaksikan polisi di atas yang kini kembali mencoba berbicara pada si lelaki nekat—entah apa yang dikatakannya. Polisi itu pastilah seorang negosiator, yang memang memiliki keahlian membujuk. Biasanya, negosiator semacam itu akan menangani kasus penculikan saat bernegosiasi dengan si penculik, atau membujuk seseorang yang berencana bunuh diri seperti si lelaki nekat sekarang ini.
Suasana masih sunyi, ketika lelaki nekat itu kembali berteriak, “Aku sudah bosan! Aku muak menghadapi hidup yang gelap ini! Aku ingin mati!”
Suasana makin sunyi. Makin mencekam. Beberapa perempuan semakin keras isakannya. Ibu si lelaki nekat makin histeris. Saya makin merasa sedang menonton film. Di atas, si lelaki nekat tampak makin keras berteriak-teriak menyatakan ingin mati.
Tiba-tiba, tepat seperti adegan film dramatis, muncul seseorang dari belakang kerumunan orang-orang yang ada di tempat itu. Kehadiran orang itu segera menarik perhatian kami semua, karena si lelaki nekat di atas tiba-tiba terdiam, tampak terkesima, lalu menatap ke arahnya. Seketika, kami semua ikut menengok ke arah orang yang baru datang itu.
Mengikuti tatapan si lelaki nekat, kami semua melihat sesosok perempuan yang sedang berdiri sendirian. Tampaknya ia memang baru datang. Mendapati dirinya menjadi pusat perhatian, perempuan itu kelihatan salah tingkah, dan kebingungan. Ia tampak ingin pergi, tapi bingung. Lalu terdengar suara keras si lelaki nekat, namun kali ini ia berbicara dalam bahasa Yunani.
Anehnya, orang-orang yang ada di sana tampaknya bisa memahami bahasa Yunani. Karena seketika suasana menjadi sunyi setelah si lelaki menyatakan sesuatu, sehubungan dengan kehadiran perempuan tadi.
Di tengah kesunyian itu saya masih berdiri.
Seperti adegan slow motion dalam film, orang-orang di sana tampak bergerak lambat. Sebagian menengok kawan di sampingnya dalam adegan lambat, bercakap-cakap dalam nada lambat. Polisi-polisi bergerak mendekati si perempuan dalam adegan lambat. Sementara polisi yang bertugas membujuk lelaki di atas juga tampak berbicara dalam adegan lambat. Ibu si lelaki nekat tampak melangkah ke arah perempuan dalam adegan lambat—saya bahkan merasa mampu melihat air matanya yang jatuh dan menetes dalam gerakan lambat.
Sunyi.
Lalu adegan lambat itu kembali beralih ke adegan normal ketika terdengar lagi suara teriakan si lelaki nekat, masih dalam bahasa Yunani.
Kini para polwan berbicara dengan si perempuan yang baru datang tadi, di sela-sela tangis ibu si lelaki nekat yang juga tampak mengatakan sesuatu pada si perempuan dengan wajah memelas. Saya tidak bisa mendengar yang mereka katakan, karena jarak kami cukup jauh. Pasti mereka sedang membujuk perempuan itu agar mau berkata sesuatu pada si lelaki nekat untuk membatalkan niatnya bunuh diri.
Lalu saya menyaksikan perempuan itu mengangguk, meski ragu-ragu. Saya simpulkan, perempuan itu bersedia menuruti yang dikatakan kepadanya. Dan perempuan itu pun menyatakan sesuatu, dalam bahasa Yunani. Si lelaki nekat melihatnya, dan mulai tersenyum.
Adegan ini sekali lagi mengingatkan saya pada adegan film, meski kali ini mungkin klise. Tetapi, yang jelas, saya masih berdiri di sana ketika menyaksikan perempuan itu digandeng beberapa polwan maju mendekat, sementara si laki-laki nekat tampak dituntun oleh polisi di atas, untuk kembali masuk ke dalam swalayan. Dia telah membatalkan niatnya bunuh diri. Sepertinya kisah ini akan berakhir happy ending.
Tiba-tiba, terdengar suara musik. Sesaat, saya kebingungan, dan berpikir, apakah suara musik itu memang soundtrack untuk adegan ini?
Makin lama, saya makin sadar itu alunan musik yang saya kenal. Musik yang sekarang terdengar adalah raungan gitar Yngwie Malmsteen, dan lagu yang sedang mengalun adalah Evil Eye—itu musik favorit saya. Mengapa musik itu sekarang menjadi soundtrack adegan ini, pikir saya. Makin lama, suara musik itu terdengar makin keras… makin keras… makin keras… dan… anjrit!
Ternyata itu suara ponsel saya!
Begitu sadar ponsel di dekat saya berdering, saat itu pula saya terbangun dari tidur, dan mimpi tadi pun terputus. Sambil misuh-misuh saya mengambil ponsel, dan mendapati nama seseorang di layar. Saya menerima telepon itu sesopan mungkin, dan beberapa menit kemudian percakapan kami terputus. Saya kembali meletakkan ponsel di tempatnya semula. Kemudian bengong.
Mimpi apa tadi itu…?
Sambil duduk menyandar pada bantal, saya masih bisa membayangkan dan mengingat kembali adegan-adegan dalam mimpi itu. Dan, saat berusaha kembali mengingat semua yang saya saksikan dalam mimpi tadi, tiba-tiba saya menyadari bahwa saya mengenali swalayan yang menjadi lokasi peristiwa itu. Bentuk tempat parkirnya, warna dinding swalayan, jendela kacanya… well, saya tahu swalayan itu!
Dan sekarang saya ketakutan—benar-benar ketakutan! Semakin saya berusaha mengingat semua kisah dalam mimpi tadi, saya makin menyadari bahwa saya mengenali orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu. Polisi yang bernegosiasi… wanita setengah baya yang menangis… saya mengenali wajah-wajah mereka. Bahkan saya pun mengenali wajah perempuan yang membuat si lelaki batal bunuh diri. Saya mengenali mereka—saya mengenali mereka semua!
Yang paling mengerikan di atas semua itu, saya juga mengenali wajah si lelaki nekat dalam mimpi tersebut. Itu wajah saya sendiri.
….
….
Tiba-tiba saya merasa terlempar ke Limbo.
Tiba-tiba, lelaki nekat itu berteriak, “Tidak! Pokoknya aku ingin mati! Hidup hanyalah sekumpulan kisah keparat yang dijejalkan takdir untuk kauhadapi! Aku mau mati sekarang!”
Suara itu pasti keras sekali, karena saya yang ada di tiga lantai di bawahnya cukup bisa mendengarnya. Orang-orang yang ada di sana juga pasti mendengar teriakan itu, karena suasana seketika sunyi senyap, sementara beberapa perempuan menutup mulutnya, beberapa yang lain terisak, sementara ibu si lelaki nekat kini tampak histeris.
Yang saya saksikan waktu itu mirip adegan film. Dan saya masih berdiri di sana, menyaksikan polisi di atas yang kini kembali mencoba berbicara pada si lelaki nekat—entah apa yang dikatakannya. Polisi itu pastilah seorang negosiator, yang memang memiliki keahlian membujuk. Biasanya, negosiator semacam itu akan menangani kasus penculikan saat bernegosiasi dengan si penculik, atau membujuk seseorang yang berencana bunuh diri seperti si lelaki nekat sekarang ini.
Suasana masih sunyi, ketika lelaki nekat itu kembali berteriak, “Aku sudah bosan! Aku muak menghadapi hidup yang gelap ini! Aku ingin mati!”
Suasana makin sunyi. Makin mencekam. Beberapa perempuan semakin keras isakannya. Ibu si lelaki nekat makin histeris. Saya makin merasa sedang menonton film. Di atas, si lelaki nekat tampak makin keras berteriak-teriak menyatakan ingin mati.
Tiba-tiba, tepat seperti adegan film dramatis, muncul seseorang dari belakang kerumunan orang-orang yang ada di tempat itu. Kehadiran orang itu segera menarik perhatian kami semua, karena si lelaki nekat di atas tiba-tiba terdiam, tampak terkesima, lalu menatap ke arahnya. Seketika, kami semua ikut menengok ke arah orang yang baru datang itu.
Mengikuti tatapan si lelaki nekat, kami semua melihat sesosok perempuan yang sedang berdiri sendirian. Tampaknya ia memang baru datang. Mendapati dirinya menjadi pusat perhatian, perempuan itu kelihatan salah tingkah, dan kebingungan. Ia tampak ingin pergi, tapi bingung. Lalu terdengar suara keras si lelaki nekat, namun kali ini ia berbicara dalam bahasa Yunani.
Anehnya, orang-orang yang ada di sana tampaknya bisa memahami bahasa Yunani. Karena seketika suasana menjadi sunyi setelah si lelaki menyatakan sesuatu, sehubungan dengan kehadiran perempuan tadi.
Di tengah kesunyian itu saya masih berdiri.
Seperti adegan slow motion dalam film, orang-orang di sana tampak bergerak lambat. Sebagian menengok kawan di sampingnya dalam adegan lambat, bercakap-cakap dalam nada lambat. Polisi-polisi bergerak mendekati si perempuan dalam adegan lambat. Sementara polisi yang bertugas membujuk lelaki di atas juga tampak berbicara dalam adegan lambat. Ibu si lelaki nekat tampak melangkah ke arah perempuan dalam adegan lambat—saya bahkan merasa mampu melihat air matanya yang jatuh dan menetes dalam gerakan lambat.
Sunyi.
Lalu adegan lambat itu kembali beralih ke adegan normal ketika terdengar lagi suara teriakan si lelaki nekat, masih dalam bahasa Yunani.
Kini para polwan berbicara dengan si perempuan yang baru datang tadi, di sela-sela tangis ibu si lelaki nekat yang juga tampak mengatakan sesuatu pada si perempuan dengan wajah memelas. Saya tidak bisa mendengar yang mereka katakan, karena jarak kami cukup jauh. Pasti mereka sedang membujuk perempuan itu agar mau berkata sesuatu pada si lelaki nekat untuk membatalkan niatnya bunuh diri.
Lalu saya menyaksikan perempuan itu mengangguk, meski ragu-ragu. Saya simpulkan, perempuan itu bersedia menuruti yang dikatakan kepadanya. Dan perempuan itu pun menyatakan sesuatu, dalam bahasa Yunani. Si lelaki nekat melihatnya, dan mulai tersenyum.
Adegan ini sekali lagi mengingatkan saya pada adegan film, meski kali ini mungkin klise. Tetapi, yang jelas, saya masih berdiri di sana ketika menyaksikan perempuan itu digandeng beberapa polwan maju mendekat, sementara si laki-laki nekat tampak dituntun oleh polisi di atas, untuk kembali masuk ke dalam swalayan. Dia telah membatalkan niatnya bunuh diri. Sepertinya kisah ini akan berakhir happy ending.
Tiba-tiba, terdengar suara musik. Sesaat, saya kebingungan, dan berpikir, apakah suara musik itu memang soundtrack untuk adegan ini?
Makin lama, saya makin sadar itu alunan musik yang saya kenal. Musik yang sekarang terdengar adalah raungan gitar Yngwie Malmsteen, dan lagu yang sedang mengalun adalah Evil Eye—itu musik favorit saya. Mengapa musik itu sekarang menjadi soundtrack adegan ini, pikir saya. Makin lama, suara musik itu terdengar makin keras… makin keras… makin keras… dan… anjrit!
Ternyata itu suara ponsel saya!
Begitu sadar ponsel di dekat saya berdering, saat itu pula saya terbangun dari tidur, dan mimpi tadi pun terputus. Sambil misuh-misuh saya mengambil ponsel, dan mendapati nama seseorang di layar. Saya menerima telepon itu sesopan mungkin, dan beberapa menit kemudian percakapan kami terputus. Saya kembali meletakkan ponsel di tempatnya semula. Kemudian bengong.
Mimpi apa tadi itu…?
Sambil duduk menyandar pada bantal, saya masih bisa membayangkan dan mengingat kembali adegan-adegan dalam mimpi itu. Dan, saat berusaha kembali mengingat semua yang saya saksikan dalam mimpi tadi, tiba-tiba saya menyadari bahwa saya mengenali swalayan yang menjadi lokasi peristiwa itu. Bentuk tempat parkirnya, warna dinding swalayan, jendela kacanya… well, saya tahu swalayan itu!
Dan sekarang saya ketakutan—benar-benar ketakutan! Semakin saya berusaha mengingat semua kisah dalam mimpi tadi, saya makin menyadari bahwa saya mengenali orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu. Polisi yang bernegosiasi… wanita setengah baya yang menangis… saya mengenali wajah-wajah mereka. Bahkan saya pun mengenali wajah perempuan yang membuat si lelaki batal bunuh diri. Saya mengenali mereka—saya mengenali mereka semua!
Yang paling mengerikan di atas semua itu, saya juga mengenali wajah si lelaki nekat dalam mimpi tersebut. Itu wajah saya sendiri.
….
….
Tiba-tiba saya merasa terlempar ke Limbo.