Kamis, 01 Agustus 2013

Wasiat Antar Abad

Dua puluh abad yang lalu, seorang lelaki duduk di atas bukit, dikelilingi murid-muridnya. Mereka memanggilnya Sang Guru. Hari itu, Sang Guru—seperti hari-hari sebelumnya—memberikan pelajaran-pelajaran penting yang didengarkan murid-muridnya dengan khusyuk. Beberapa ada yang menuliskannya di daun lontar, sebagian menghafalkannya, untuk disampaikan kepada yang lain.

“Memburuk-burukkan seseorang di depannya adalah perbuatan tercela,” kata Sang Guru. “Tetapi memburuk-burukkan seseorang di belakangnya jauh lebih tercela.”

Keheningan menggantung di langit.

Seorang murid memberanikan diri bertanya, “Kenapa, Guru?”

Sang Guru menjelaskan, “Kalau kau memburuk-burukkan seseorang di depannya, itu perbuatan tercela—tapi dia setidaknya bisa membela diri, dan menjawab tuduhan-tuduhanmu yang mungkin keliru. Tetapi, jika kau memburuk-burukkan seseorang di belakangnya, itu jauh lebih tercela—karena dia tidak bisa membela diri untuk mengoreksi kesalahanmu.”

....
....

Lima abad setelah itu, seorang lelaki lain berdiri di atas padang pasir, dikelilingi sahabat-sahabatnya. Mereka menyebutnya Sang Rasul. Hari itu, Sang Rasul—seperti hari-hari sebelumnya—menyampaikan pelajaran-pelajaran penting yang didengarkan sahabat-sahabatnya dengan hening. Beberapa ada yang menuliskannya di pelepah kurma, sebagian menghafalkannya, untuk disampaikan kepada yang lain.

Sang Rasul berkata, “Adakah yang mau memakan bangkai saudaramu sendiri?”

Keheningan menggantung di langit.

Seorang sahabat menjawab dengan santun, “Tentu saja kami tidak mau.”

Sang Rasul melanjutkan, “Tetapi ada orang yang suka melakukannya. Ialah dia yang membicarakan keburukan orang lain di belakang punggungnya. Itu sama menjijikkan dengan memakan bangkai saudaranya.”

....
....

Lima belas abad kemudian, seorang lelaki tak dikenal menuliskan wasiat-wasiat itu dalam catatannya, untuk dibaca teman-temannya.

 
;