Takdir hidup kita kadang-kadang sangat jelas.
Sebegitu jelasnya, sampai-sampai kita tidak paham.
—@noffret
Sebegitu jelasnya, sampai-sampai kita tidak paham.
—@noffret
Jonah, sohib saya, suka membaca blog Belajar Sampai Mati. Baginya, membaca blog itu seperti menikmati “camilan” yang bergizi bagi otak. Ringan, renyah, tapi menambah wawasan dan pengetahuan. Kadang-kadang, kalau kami ketemu, dia juga suka menggoda saya dengan bertanya-tanya sesuatu.
Minggu lalu, saya datang ke rumahnya, dan kebetulan dia sedang asyik surfing internet di komputer tablet. Kami ngobrol-ngobrol di rumahnya, dan dia kembali menggoda saya seperti biasa. “Da’,” katanya, “siapa penemu korek api?”
Saya tertawa. “Bukannya itu udah kutulis di blog, ya?” Lalu saya mengambil tablet miliknya, dan menunjukkan, “Kamu bisa membacanya di sini.”
Jonah patuh. Dia membaca artikel yang saya tulis di blog tersebut, kemudian manggut-manggut. Lalu dia bertanya lagi sambil senyum-senyum, “Nah, kalau begitu, siapa orang pertama yang membeli korek api?”
Saya kembali tertawa. Untuk mengulur waktu, saya menyulut rokok. Setelah membuat Jonah mengira saya tidak bisa menjawab, saya berkata perlahan-lahan, “Orang pertama yang membeli korek api adalah Robert Nixon. Dia seorang pengumpul sumbangan atau derma masyarakat.”
“Kamu pasti ngarang!” sergah Jonah spontan.
Saya ngakak. “Kamu lagi pegang tablet, Jo, dan kamu termasuk hamba Google yang taat. Kenapa nggak dicek aja lewat Google?”
Jonah pun segera mengeceknya lewat Google. Tidak lama kemudian dia misuh-misuh. “Kamu memang setan!”
Saya benar-benar ngakak tanpa bisa ditahan.
Ehmm... Kisah penemuan korek api mungkin salah satu cermin tentang cara takdir bermain. Pada tahun 1826, John Walker sedang serius meneliti sesuatu dengan obat-obatan kimia. Waktu itu ia mencampurkan potas dan antimon ke dalam suatu wadah, kemudian mengaduk-aduknya dengan sebuah tongkat.
Setelah pekerjaannya selesai, sebagian tongkat yang ia gunakan untuk mengaduk itu dilekati zat kimia tadi. Karena cukup lama didiamkan, zat kimia yang melekat pada tongkat itu pun telah mengering. Dengan maksud ingin membersihkan, John Walker menggesek-gesekkan tongkat yang ternoda ke lantai batu laboratoriumnya. Noda kimia pada tongkat itu bukannya terlepas seperti yang diinginkan John Walker, tapi justru keajaiban yang terjadi. Ujung tongkat itu menyala!
Tongkat di tangan John Walker memunculkan api, dan sungguh ajaib untuk zaman itu, ketika orang masih susah payah untuk bisa membuat api. Sebagai kimiawan, John Walker menyadari bahwa api pada tongkatnya bukanlah mukjizat sebagaimana yang terjadi pada tongkat Musa, melainkan karena adanya campuran zat kimia yang melekat pada ujungnya. Pemikiran itu pun melahirkan gagasan cemerlang pada John Walker, yang kemudian melahirkan ide pembuatan korek api. Peristiwa itu terjadi pada 31 Desember 1826.
Ketika pertama kali dibuat, korek api yang menggunakan kayu masih berukuran besar—kira-kira dua kali ukuran korek api yang kita kenal sekarang. John Walker mengemas korek api buatannya dalam kaleng, dan menjual di tokonya. Pada hari pertama ia menjual korek api, kebetulan Robert Nixon datang untuk mengumpulkan sumbangan. Nixon tertarik pada korek api buatan John Walker, dan ia pun membelinya. Karena itulah, Robert Nixon menjadi orang pertama yang membeli korek api di planet ini, dan pembelian itu terjadi pada 7 April 1827
Sejak itu, korek api mulai dikenal masyarakat secara luas, dan orang-orang lain ikut membuat serta menjualnya. Orang selalu membutuhkan api untuk kebutuhan sehari-hari—dari memasak, sampai menyalakan perapian ketika musim dingin tiba. John Walker sengaja tidak mematenkan korek api temuannya, sehingga siapa pun bisa memproduksi dan menjual korek api. Pada 1855, korek api mengalami revolusi, hingga bentuknya kecil seperti yang kita kenal sekarang... dan selanjutnya adalah sejarah.
John Walker, lebih dari yang kita tahu, telah mempengaruhi peradaban dunia, serta memberikan sumbangan besar untuk umat manusia.
Ketika menengok sejarah penemuannya, orang yang sinis mungkin bisa menyatakan, “Ah, kalau begitu John Walker menemukan korek api tanpa sengaja. Kalau ceritanya seperti itu, siapa pun bisa melakukannya, karena bisa dibilang ia menemukan korek api karena takdir.”
Mungkin memang benar.
Mungkin memang benar bahwa John Walker menemukan korek api karena takdir semata-mata, karena dia tidak sengaja menemukannya. Tapi mungkinkah takdir semacam itu mendatangi John Walker kalau ia hanya malas-malasan dan ongkang-ongkang kaki? Mungkinkah takdir yang merupakan keberuntungan itu datang kepada John Walker jika dia tidak sibuk bekerja dengan zat-zat kimia dalam penelitiannya?
Mungkin penemuan korek api memang karena takdir. Ia ditemukan tanpa sengaja, menjadi semacam keberuntungan tak terduga. Tapi takdir itu muncul semata-mata karena John Walker sibuk bekerja.
Jika korek api menjadi salah satu penemuan penting dalam peradaban manusia, penemuan penisilin menjadi salah satu tonggak penting dalam dunia medis. Dan sama seperti penemuan korek api, penemuan penisilin juga terjadi tanpa sengaja. Orang boleh menyebutnya takdir. Atau keberuntungan.
Penisilin ditemukan oleh seorang dokter bernama Alexander Fleming. Ketika Perang Dunia I meletus, Fleming bergabung dengan tim medis dan membangun rumah sakit bagi korban perang. Pada waktu itu ia menyaksikan akibat ganas infeksi terhadap luka-luka yang dialami prajurit. Banyak di antara korban tersebut yang mati, meski infeksi yang diderita tergolong ringan. Kenyataan itu pun membuat Fleming berpikir keras untuk bisa menemukan bahan yang bisa digunakannya memerangi bakteri.
Pada 1920, Fleming menenggelamkan diri dalam penelitian di laboratorium Rumah Sakit Santa Maria, London, dan menemukan bahwa enzim yang dihasilkan cairan tubuh—seperti air mata—memiliki efek antibakteri yang alami. Namun, antibakteri alami itu tidak berdaya menghadapi kuman penginfeksi yang kuat. Dari situ, Fleming mencoba menggunakan kultur bakteri Staphylococcus demi bisa menemukan materi yang diinginkannya, yang bisa melawan bakteri berbahaya.
Selama berbulan-bulan Fleming terus mengurung dirinya di laboratorium, mencoba dan meneliti aneka macam bahan, sementara cawan-cawan dan bejana laboratorium tersebar dan bertumpuk di sana-sini. Akibat penelitian yang berat itu, Fleming pun stres. Ketika otaknya sudah macet tak bisa digunakan lagi, Fleming pun memutuskan untuk rehat sejenak. Ia pergi liburan selama dua minggu.
Sepulang liburan, Fleming kembali masuk laboratoriumnya, dan bermaksud membereskan peralatan serta cawan-cawan yang tersebar tak karuan. Pada waktu akan membersihkan cawan-cawan itulah, Fleming mendapati cawan petri yang berisi kultur bakteri Staphylococcus telah ditumbuhi jamur. Rupanya, saat ditinggalkan terbuka di laboratorium, sehelai jamur terbang dan hinggap di cawan itu, kemudian berkembang.
Fleming memperhatikan hal itu. Ia juga memperhatikan bahwa jamur yang hinggap di cawan itu mengeluarkan lapisan bening, berbentuk seperti cincin. Anehnya, di sekitar lapisan itu tidak terdapat satu pun bakteri Staphylococcus. Detik itu ia tahu, sesuatu yang dicari-carinya telah tertemukan tanpa sengaja. Jamur itu telah membuka matanya tentang cara melawan bakteri berbahaya.
Jamur yang nyaris seperti mukjizat itu bernama Penicilium notatum. Fleming menyimpulkan bahwa bakteri pada cawan petri telah dimusnahkan oleh zat yang dihasilkan koloni jamur itu, yang kemudian ia namakan penisilin... dan selanjutnya adalah sejarah.
Penisilin yang ditemukan pada September 1928 itu kemudian menandai abad baru dalam dunia antibiotik modern. Ketika Perang Dunia II pecah, penisilin berjasa dalam menekan jumlah kematian akibat infeksi yang disebabkan luka terbuka yang tak mendapat perawatan, yang dalam situasi serupa dapat menimbulkan gangren bahkan kematian. Secara konklusif, penisilin dipercaya telah menyelamatkan 12-15 persen nyawa korban perang.
Kita lihat, penemuan penisilin juga bisa disebut takdir, sebuah keberuntungan yang tak disengaja, yang bahkan tak pernah dibayangkan penemunya. Tapi mungkinkah takdir semacam itu menghinggapi Alexander Fleming kalau saja dia santai dan tak bekerja? Mungkinkah keberuntungan semacam itu akan mendatangi jika Fleming hanya asyik menghabiskan waktu menonton televisi dan ongkang-ongkang kaki?
Mungkin di dunia ini memang ada nasib baik—sebentuk keberuntungan yang digerakkan oleh takdir. Tetapi nasib baik atau keberuntungan itu hanya datang kepada orang-orang yang telah bekerja keras. Takdir atau nasib baik bukan lotere yang bisa ditunggu tanpa usaha dan jerih payah. Ia hanya datang ketika kita bergerak mendatanginya. Dan cara paling mudah mendatangi takdir atau nasib baik adalah bekerja keras, bukan hanya duduk santai menunggunya.
Takdir memang kadang bermain, dan nasib baik kadang-kadang memang datang. Tapi ia hanya bekerja dan datang kepada orang yang siap menyambutnya. Dan orang yang paling siap menyambut nasib baik adalah orang-orang yang bekerja dengan baik. Karenanya, tugas kita bukan menunggu datangnya takdir atau nasib baik, melainkan menyiapkan kedatangannya. Saat kita bekerja dengan baik, tangan-tangan takdir menggerakkan nasib baik.