Memaafkan diri sendiri kadang-kadang
jauh lebih sulit dibanding memaafkan orang lain.
Pun meminta maaf pada diri sendiri.
—@noffret
jauh lebih sulit dibanding memaafkan orang lain.
Pun meminta maaf pada diri sendiri.
—@noffret
Suatu hari saya bermimpi, yang bagi saya aneh sekali. Waktu itu saya tidur jam enam pagi, setelah semalaman tidak tidur, dan langsung terlelap karena sangat lelah. Dalam tidur itulah saya bermimpi menyaksikan adegan-adegan yang sangat aneh.
Saya sedang berdiri di tempat parkir swalayan, begitu kisah dalam mimpi tersebut, dan kemudian tampak orang-orang berjalan bergegas-gegas sambil ribut. Beberapa di antara mereka ada yang menunjuk-nunjuk ke suatu arah. Karena penasaran, saya pun bertanya pada seorang lelaki yang juga sedang berjalan cepat-cepat di sana. Lelaki itu menjawab dengan buru-buru, “Ada orang mau bunuh diri!”
Ada orang bunuh diri? Rasa penasaran saya makin meningkat. Maka saya pun kemudian ikut bersama orang-orang di sana yang berjalan cepat-cepat menuju tempat kejadian.
Di bagian lain tempat parkir swalayan itu, tampak ratusan orang berjejal-jejal sambil menunjuk-nunjuk ke atas. Ketika saya menengadahkan wajah, saya menyaksikan seorang lelaki—mungkin usianya 25 atau 26—sedang berdiri di atas balkon lantai tiga swalayan. Penampilan lelaki itu tampak biasa—dalam arti tidak terlihat seperti orang gila atau gelandangan. Ia mengenakan celana jins warna biru, serta kemaja yang bersih.
Dan lelaki itu sekarang sedang berniat bunuh diri.
Di sisi luar dinding swalayan terdapat balkon kecil, tepat di bawah jendela kaca. Rupanya, lelaki itu memecahkan kaca jendela swalayan, lalu keluar, dan sekarang berdiri di atas balkon yang amat kecil itu, sementara dua tangannya berpegangan pada tonjolan dinding. Sedikit saja lelaki itu melepaskan pegangannya, bisa dipastikan dia akan jatuh membentur tanah keras di bawahnya… dan mati.
Suara-suara orang terdengar ribut—sebagian berteriak meminta lelaki itu agar tidak bunuh diri, sementara sebagian lain berbisik dan berkata-kata tidak jelas. Kabar keributan di belakang swalayan itu pasti telah sampai ke kantor kepolisian, dan beberapa mobil polisi dengan sirine meraung-raung tampak berdatangan ke sana, lalu puluhan polisi berlari ke sana kemari untuk melakukan evakuasi, sementara orang-orang di sana semakin ribut.
Saya berada di tengah-tengah kekacauan itu, sambil berpikir, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Kemudian, beberapa polisi wanita datang bersama wanita setengah baya, dan kedatangan mereka menyeruak kepadatan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Rupanya, wanita setengah baya itu ibu si laki-laki yang akan bunuh diri, dan ia telah dijemput beberapa polwan—mungkin ia diharapkan mampu meluluhkan hati putranya yang akan bunuh diri.
Wanita setengah baya itu menangis, dan memanggil-manggil nama anaknya. Dan memintanya agar mengurungkan niatnya bunuh diri. Dan menanyakan apa yang membuatnya berbuat senekat itu. Dan menyebutkan hal-hal yang ia pikir dapat membuat hati anaknya luluh. Dan lain-lain. Dan sebagainya.
Saya tidak yakin lelaki yang akan bunuh diri itu dapat mendengar suara ibunya. Ia ada di lantai tiga, sementara ibunya ada di bawah dan berbicara sambil terisak. Tetapi, meski begitu, saya yakin lelaki itu bisa menyaksikan raut muka ibunya, tangis kesedihannya.
Lanjut ke sini.