Selasa, 22 Juli 2014

Pecel Lele Paling Nikmat Sedunia Akhirat

Hidup bukan detak jarum jam atau bayang-bayang di kejauhan.
Ia denyut napas yang dijalani dengan kesadaran.
@noffret


Di selatan Pekalongan, ada sebuah daerah bernama Wonopringgo. Di daerah itu ada sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan, yang menyediakan aneka menu—opor ayam, pecel lele, sayur asem, dan lainnya. Saya mengenal warung itu bertahun-tahun lalu, dan pernah menjadi pelanggan sampai lama. Yang membuat jatuh cinta, di warung itu ada pecel lele yang saya anggap paling nikmat sedunia akhirat.

Tepat di depan warung itu ada sebuah pondok pesantren. Karenanya, bisa jadi, warung makan itu sebenarnya ditujukan untuk para santri yang mondok di sana. Kenyataannya memang para santri sering terlihat masuk warung itu, dan membeli nasi untuk dimakan di pondok. Tetapi, orang-orang yang bukan santri pondok juga banyak mendatangi warung tersebut, termasuk saya.

Sekadar catatan, Ustad Zainuddin MZ juga dulu suka datang ke warung itu, saat masih hidup, bersama Rhoma Irama. Ini serius! Biasanya, mereka datang ke sana untuk menikmati pecel lele dengan sambal terasi. Saya tahu kenyataan itu, waktu warung tersebut memajang guntingan koran berisi foto Zainuddin MZ dan Rhoma Irama yang sedang makan di sana.

Dulu, waktu saya masih sering dolan ke daerah itu, saya pun suka mampir ke warung tersebut. Kadang sendirian, kadang bersama teman. Biasanya, saya akan memesan nasi, pecel lele dengan sambal terasi, dan wedang alang-alang (minuman tradisional yang dibuat dari tanaman alang-alang—rasanya manis dan menghangatkan).

Bisa dibilang, yang disuguhkan di sana enak semua, dan memenuhi selera saya—lahir batin. Nasinya dibuat dari beras unggul, hingga bentuknya keras tapi empuk, tidak lembek, biji-biji nasinya saling terpisah. Meski dimakan dengan tangan langsung (tidak menggunakan sendok), nasi itu tidak lengket di tangan, hingga kita bisa makan dengan nyaman. Dalam bayangan saya, nasi jenis itulah yang kelak akan kita nikmati setiap hari di surga.

Kemudian pecel lelenya. Subhanallah...! Saya pernah menikmati pecel lele di berbagai tempat, di ratusan warung makan, tapi bisa dibilang tidak ada yang mampu menandingi kenikmatan pecel lele yang disajikan warung itu. Wujudnya memang sama—karena sama-sama lele. Tapi rasanya berbeda. Entah bagaimana cara mereka menggoreng, yang jelas pecel lele di warung itu rasanya berbeda dibanding di tempat lain mana pun.

Pecel lele itu dilengkapi sambal terasi yang nikmatnya juga mampu menciptakan sensasi orgasme. Saat mulai menyantapnya bersama nasi dan lalapan, saya akan menikmatinya perlahan-lahan, karena tak ingin segala kenikmatan itu cepat berlalu. Inilah yang disebut makan, pikir saya setiap kali menikmati sajian di sana.

Well, kalau-kalau belum tahu, ada perbedaan esensial antara makan dengan “makan”. Makan (tanpa tanda kutip) adalah aktivitas makan yang benar-benar kita nikmati. Sedangkan “makan” (dengan tanda kutip) adalah aktivitas memasukkan makanan ke mulut tanpa bisa dinikmati. Ironisnya, dalam hidup, saya lebih sering “makan” daripada makan. Kenyataan itu terjadi karena sulitnya menemukan warung makan yang mampu memuaskan selera saya.

Sejujurnya, selera makan saya tidak sulit, bahkan bisa dibilang sederhana. Saya bukan pecinta makanan-makanan aneh yang namanya sulit dilafalkan, yang hanya tersedia di restoran mewah atau hotel bintang lima. Tidak—saya jauh lebih sederhana dari itu. Seperti yang pernah saya tulis di sini, saya justru menyukai masakan tradisional, yang bahkan bisa dibuat ibu kita di rumah—sayur asem atau sayur lodeh, ayam goreng, pecel lele, lalapan, tempe goreng, dan semacamnya.

Dalam menikmati makan, yang pertama dan terutama saya perhatikan adalah nasinya. Dan untuk nasi ini tidak bisa ditawar-tawar, alias mutlak. Nasinya harus keras, tapi empuk. Artinya tidak menggumpal, tidak lembek, dan butiran-butiran nasinya saling terpisah. Nasi “ideal” semacam itu biasanya hanya dapat diwujudkan beras berkualitas baik, dengan cara menanak yang sama baiknya. Dengan nasi semacam itu, saya bisa makan dengan lauk apa pun.

Sebaliknya, jika nasinya lembek dan tidak memenuhi kualifikasi di atas, maka saya tidak akan doyan dan tidak berselera memakannya, tak peduli semewah dan senikmat apa pun lauk-pauknya. Omong-omong, saya bahkan lebih memilih mati daripada memakan nasi lembek yang tidak saya sukai.

Nah, di warung makan yang saya ceritakan tadi, nasinya benar-benar memenuhi kualifikasi saya. Sudah begitu, pecel lele dan sambal terasinya juga nikmat tiada tara. Hasilnya pun saya makan dengan penuh hikmat. Sebegitu hikmat, hingga saya tanpa sadar mengucap syukur dalam hati untuk setiap butir nasi yang masuk ke mulut, untuk setiap kunyahan, untuk setiap zarrah beras yang masuk ke kerongkongan, untuk setiap hela napas yang saya gunakan selama makan. Allahu akbar!

Seusai makan, sambil sedikit menahan pedas di mulut, saya akan menyeruput wedang alang-alang atau teh hangat, sebagai tanda selesai makan. Ya Tuhan, bahkan wedang alang-alang atau teh hangat yang disajikan di sana pun enak luar biasa! Kadang-kadang saya curiga, warung ini sebenarnya berasal dari surga!

Bersama perasaan syukur di hati setelah makan, saya pun duduk menyandar, merasakan perut yang kenyang, lalu mulai mengisap rokok dengan nikmat. Alkhamdulillah...! Terpujilah Tuhan untuk semua karunia kenikmatan ini.

Biasanya, sambil merasakan sensasi orgasme seusai makan seperti itu, angan saya mengkhayal dengan liar. Kelak, kalau punya calon istri, saya akan mengajaknya ke warung itu, dan menunjukkan kepadanya seperti apa nasi dan lauk-pauk yang saya sukai. Itu faktor penting yang menunjang kerukunan dalam hidup berumahtangga—khususnya rumahtangga saya—agar kami bisa membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Tanpa nasi keras, pikir saya, keluarga yang sakinah sukar diwujudkan. Kalau istri saya membuat nasi yang lembek, itu sama saja mengajak bertengkar. Jadi, calon istri ideal bagi saya adalah wanita yang bisa membuat nasi keras, dan menyukai nasi keras. Soal-soal lain bisa dikompromikan. Tapi soal nasi keras... oh, well, itu mutlak!

Meski saya sangat mencintai sajian makanan di warung itu, sayangnya sekarang tidak bisa sesering dulu datang ke sana. Masalahnya sederhana, sekarang saya tinggal di tempat yang sangat jauh dari warung itu, hingga rasanya segan datang ke sana hanya untuk makan. Karena jarak yang sangat jauh pula, sudah bertahun-tahun saya tidak lagi makan di sana, bahkan sempat berpikir mungkin warung itu sudah tidak ada.

Sampai sekitar dua minggu yang lalu, ada teman yang berduka cita karena ayahnya meninggal dunia. Rumahnya ada di daerah warung makan tadi. Saya pun datang bertakziah (turut berbelasungkawa) ke sana malam hari, dan mengajak bocah ini.

Ayah teman saya bisa dibilang belum terlalu tua (masih 50-an tahun), jarang sakit, dan meninggalnya juga bisa dibilang tiba-tiba. Teman saya bahkan bercerita kalau dia sama sekali tidak menyangka ayahnya akan tiada. Kematian memang misteri, dan kita tak pernah tahu kapan akan terjadi.

Pulang dari takziah, kami mampir ke warung langganan saya dulu. Ternyata warungnya masih ada. Di tempat yang sama, dengan sajian yang sama. Dengan nasi yang keras, dan pecel lele paling nikmat sedunia akhirat.

Seusai menikmati sajian yang sangat nikmat itu, saya membayangkan. Hidup ini begitu singkat. Kematian juga datang tak peduli berapa usia kita. Sambil mengenang almarhum ayah teman saya yang kini tiada, saya seperti disadarkan bahwa hidup seharusnya diisi hal-hal bermanfaat, dan dijalani dengan makanan yang kita anggap nikmat, agar setiap hela napas dapat disyukuri penuh hikmat.

Dan, bagi saya, makanan semacam itu adalah nasi yang keras, dengan pecel lele paling nikmat sedunia akhirat.

 
;