Ironi manusia tak pernah berubah sejak zaman dulu kala.
Tak pernah berpikir, tetapi berpikir bahwa mereka berpikir.
Lalu hidup dengan itu.
—@noffret
Tak pernah berpikir, tetapi berpikir bahwa mereka berpikir.
Lalu hidup dengan itu.
—@noffret
Di masa sekarang, nyaris bisa dibilang tak ada tempat pribadi bagi setiap orang. Di mana pun, di dunia nyata apalagi di dunia maya, setiap orang telah kehilangan hak privatnya. Istilah “desa dunia” yang dulu terdengar indah bahkan menakjubkan, sekarang justru meresahkan, jika tidak ingin dibilang mengerikan. Semua orang telah kehilangan ruang pribadinya, karena di mana-mana seolah ada mata yang melihat, dan telinga yang mendengar, sementara siapa pun bisa memasuki wilayah privat kita.
Belum lama, beberapa pihak meributkan kemungkinan Facebook menjadi alat mata-mata yang dimanfaatkan CIA (dinas intelijen Amerika) dalam memantau aktivitas dunia maya dan para pelakunya. Sebenarnya itu cerita lama—sebegitu lama, hingga sudah sangat basi. Kenyataannya, tidak hanya Facebook, hampir seluruh aktivitas kita di dunia maya dipantau oleh banyak pihak—CIA, FBI, BIN, ASIS, Mossad, BND, MI6, DGSE, sebut lainnya.
Di beberapa negara, aktivitas di internet bahkan dipantau pemerintahnya secara sangat ketat. Tetapi bukan berarti di negara-negara yang relatif bebas bisa melakukan apa saja seenaknya. Seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia maya bisa dibilang tidak bisa disembunyikan, semuanya akan terpantau—oleh pemerintah secara resmi, atau oleh pihak-pihak lain yang bisa mengakses aktivitas kita.
Masuk ke dunia maya sama saja artinya masuk ke dunia tanpa batas. Tanpa penghalang. Tanpa penutup. Tanpa ruang pribadi. Beraktivitas di internet artinya beraktivitas di dunia yang terbuka, tempat siapa pun dapat melihat, bisa menyaksikan, dan... kadang kala, bisa memanfaatkannya untuk berbagai tujuan.
Mari kita ambil contoh yang sangat sederhana. Masih ingat kasus Dinda yang dihujat banyak orang, gara-gara menuliskan keluh kesahnya di Path? Dinda merasa kesal gara-gara ada ibu hamil yang meminta tempat duduknya di kereta api. Kekesalannya ia tulis di Path. Kita tahu, Path adalah jejaring sosial yang relatif tertutup karena jatah pertemanan setiap orang dibatasi, sehingga masing-masing pengguna Path hanya berteman dengan orang-orang yang ia kenal baik.
Karenanya, ketika Dinda menulis keluh kesahnya di Path, dia pasti membayangkan teman-temannya di sana akan dapat memahami perasaannya, karena mereka teman-teman yang ia kenal baik. Selain itu, Path juga relatif tertutup, sehingga tidak akan ada orang lain yang bisa bebas membaca keluh kesahnya. Tapi apa yang terjadi kemudian? Salah satu “teman baik” itu meng-capture keluh kesah Dinda, dan menyebarkannya ke jejaring sosial yang jelas terbuka seperti Twitter. Hasilnya, Dinda di-bully oleh rakyat Indonesia.
Sekarang mari kita pikirkan. Jika di jejaring sosial yang tertutup semacam Path saja tidak ada privasi, apa yang bisa kita harapkan dari jejaring sosial lain semisal Facebook atau Twitter? Apalagi blog?
Dalam pengalaman pribadi, saya pernah memiliki blog yang diproteksi, dan hanya bisa diakses 100 orang setelah alamat e-mail mereka didaftarkan. Saya memilih sendiri mereka-mereka yang bisa mengakses blog itu, yaitu orang-orang yang saya yakini bisa dipercaya, yang dapat memahami diri saya luar dalam, yang bisa menjaga dan menghormati kepercayaan untuk izin akses yang saya berikan. Di blog itu, saya memuntahkan pikiran-pikiran saya yang paling “liar”, dan membiarkan mereka menikmati serta mendiskusikannya.
Dan apa yang kemudian terjadi...? Artikel-artikel yang ada di blog itu di-copy seseorang (atau beberapa orang), dan diposting di Facebook. Meski mereka tidak bermaksud negatif (karena tujuannya agar bisa didiskusikan dengan lebih banyak orang), tetapi kenyataan itu sudah menunjukkan satu hal, bahwa kita tidak memiliki ruang privat di internet, bahwa kita telah kehilangan ruang pribadi di dunia maya, bahwa aktivitas yang kita maksudkan sebagai pribadi bisa saja diketahui secara umum oleh orang banyak.
Sekali lagi, memasuki dunia maya artinya memasuki dunia tempat segala hal nyaris tidak bisa disimpan atau disembunyikan. Orang boleh memproteksi akun Twitter atau bahkan blognya, tetapi selalu ada cara yang memungkinkan isi akun atau muatan blog itu keluar dan diketahui banyak orang. Bahkan meski suatu materi telah dihapus sekali pun, jejak-jejak keberadaan materi itu masih dapat ditemukan dan dilihat, untuk kemudian disimpan pihak lain.
Memikirkan kenyataan itu, sepertinya sungguh mengerikan jika kita tidak berhati-hati di dunia maya. Karena dorongan eksistensi, beberapa orang kadang terlalu mengumbar bahkan mengeksploitasi dirinya—mereka mengunggah foto-fotonya, menuliskan detail-detail kehidupannya secara vulgar, men-tweet kegiatan-kegiatannya, memberitahukan tempat-tempat yang sedang dihadirinya, lengkap dengan peta petunjuk lokasi yang dapat dilihat siapa pun.
Kadang-kadang saya ngeri membayangkan bagaimana orang-orang itu bisa sangat leluasa memberitahukan keberadaan dirinya secara mudah pada dunia, tanpa memikirkan apa saja yang bisa terjadi. Atau mungkin saya yang terlalu introver dan paranoid?
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa dunia nyata dan dunia maya jauh berbeda. Mungkin mereka mengira masih memiliki privasi dan ruang pribadi di dunia nyata. Jika memang begitu, sepertinya mereka keliru. Sama halnya dengan dunia maya, di dunia nyata pun sekarang tidak ada lagi ruang pribadi, dan setiap orang telah kehilangan privasi.
Pikirkanlah berapa banyak kamera pengintai yang terpasang di ruang-ruang atau tempat-tempat yang biasa kita datangi. Sebagian kamera pengintai itu memang dipasang secara resmi untuk tujuan keamanan, semisal di gedung perkantoran, swalayan, atau bank, dan semacamnya. Tetapi jangan lupakan kamera-kamera pengintai yang dipasang secara tidak resmi oleh orang-orang iseng dengan tujuan tidak jelas.
Di kamar-kamar kecil, di ruang ganti baju, selalu ada kemungkinan kamera pengintai yang tidak kita lihat, dan bisa saja aktivitas yang kita lakukan di tempat-tempat itu terekam untuk kemudian disalahgunakan. Orang yang bersama kita juga tidak menutup kemungkinan merekam segala aktivitas dan percakapan tanpa kita ketahui, dengan banyak tujuan dan alasan. Bahkan aktivitas yang paling pribadi pun tidak menjamin bebas dari kemungkinan semacam itu.
Dalam salah satu serial film James Bond, kita menyaksikan kacamata canggih yang dipakai agen 007 untuk melihat tembus pandang. Menggunakan kacamata itu, Bond bisa melihat yang ada di balik pakaian orang-orang lain. Percaya atau tidak, kacamata semacam itu benar-benar ada di dunia nyata, dan tidak hanya dimiliki agen-agen intelijen semacam James Bond. Siapa pun kini bisa memiliki kacamata semacam itu, dan bisa “mengintip” pakaian orang-orang lain yang ditemuinya.
Di Jepang, ada perusahaan bernama Kaya Spesial Optic, Inc. Perusahaan itu mengkhususkan diri pada pembuatan alat optik selama 30 tahun, dan salah satu karya mereka yang spektakuler adalah kacamata canggih yang disebut “Infrared See Through Filter PF”. Menggunakan kacamata itu, kita bisa menembus pandangan di balik permukaan objek. Dengan kata lain, kacamata itu memungkinkan kita melihat yang ada di balik pakaian siapa pun.
Saat ini, kacamata itu belum masuk ke Indonesia, dan harganya juga masih relatif mahal. Tapi cepat atau lambat, benda itu akan masuk ke Indonesia, dan bocah-bocah di sekeliling kita akan segera memilikinya. Pikirkan saja bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari di masa mendatang. Bocah yang tampak seperti kutubuku berkacamata, yang sekilas seperti anak manis, ternyata sedang memelototi sesuatu di balik baju kita sambil cengengesan tanpa dosa.
Selain kacamata canggih semacam itu, saat ini di Indonesia sudah ada berbagai peralatan yang tidak kalah canggih, yang ditujukan untuk keperluan serupa. Siapa pun yang biasa keluyuran ke Glodok pasti tahu banyaknya aneka macam peralatan “spionase” yang bisa didapatkan dengan harga murah. Kamera seukuran uang koin, alat pemindai berupa bolpoin, detektor gerak berbentuk jam weker, perekam suara berwujud korek api—sebut apa pun.
Dua puluh tahun yang lalu, mainan-mainan canggih semacam itu hanya digunakan orang-orang yang bekerja di dunia intelijen, dan diproduksi dalam jumlah terbatas karena biaya pembuatannya sangat mahal. Sekarang, siapa pun bisa keluyuran ke Glodok, dan memilikinya dengan harga sangat murah. Jika mainan-mainan itu belum terdengar mengesankan, sekarang mari kita lihat mainan lain. Namanya kamera X-ray.
Sekilas, nama X-ray mungkin terdengar familier—di rumah sakit, di bandara, atau di beberapa tempat lain juga difasilitasi kamera X-ray. Tetapi X-ray yang sedang kita bicarakan ini agak berbeda dengan X-ray yang mungkin telah kita kenal. Dan kali ini tidak terdapat di bandara atau di rumah sakit, tetapi di... ponsel.
Jika kita menyalakan fitur kamera foto atau video di ponsel untuk memotret atau merekam orang lain, kita hanya mendapatkan gambar/film yang sesuai dengan objek yang kita bidik. Tapi tidak begitu jika ponsel kita dilengkapi X-ray. Jika kita menggunakan kamera yang telah ditanam X-ray di dalamnya, orang-orang yang memakai baju bisa terlihat telanjang dalam foto atau film yang kita bidik. Dan itulah tujuan penggunaan X-ray dalam ponsel.
Saat ini, tidak ada ponsel produk mana pun yang secara default dilengkapi X-ray. Tapi siapa pun bisa melengkapi ponselnya dengan teknologi itu melalui tempat-tempat yang melayani hal tersebut. Tarif modifikasinya masih relatif mahal, tergantung kecanggihan ponsel yang digunakan—semakin canggih ponsel, semakin tinggi tingkat megapixel, semakin mahal biaya modifikasinya. Dari yang saya dengar, teknologi yang berpotensi nakal bahkan berbahaya ini telah mulai masuk ke Indonesia.
Mari kita pikirkan, sekali lagi, betapa makin sempitnya ruang pribadi di dunia yang kita huni, hingga bisa dibilang ruang privat telah hilang. Di dunia maya, siapa pun bisa memantau aktivitas kita. Di dunia nyata, hal yang sama tak jauh berbeda. Di dunia maya, isi pikiran dan keseluruhan hidup kita bisa diketahui orang lain. Di dunia nyata, isi pakaian dan keseluruhan tubuh kita bisa disaksikan orang lain. Tidak ada lagi ruang privat, tidak ada lagi tempat pribadi.
Istilah “desa dunia” yang beberapa tahun lalu terdengar indah sekarang lebih menyerupai teror. Orang-orang hidup di rumah mereka sendiri-sendiri, tapi sebenarnya saling berhimpitan sangat dekat, hingga masing-masingnya bisa saling melihat dan mengetahui. Orang-orang tidak saling mengenal, tapi siapa pun bisa menyaksikan segala yang ada di balik pakaian orang lainnya dengan mudah, hingga seolah-olah semua manusia hidup telanjang.
Ribuan tahun yang lalu, manusia purba berhimpitan di gua-gua dan menjalani hidup dalam ketelanjangan. Tapi mereka masih memiliki ruang privat dan tempat pribadi. Di zaman sekarang, manusia modern menjalani hidup individualistik di rumah-rumah berpagar tinggi, tapi kehilangan privasi dan ruang pribadi. Oh, well, ironisme manusia tak pernah selesai.