Rabu, 16 Juli 2014

Indonesia Sakit Jiwa

Saat melihat para pejabat dan politisi, sering kali
aku berpikir, “Apakah mereka bisa mengurus dirinya sendiri?”
@noffret


Dalam suatu kesempatan, Presiden Soeharto pernah menyatakan bahwa korupsi adalah persoalan ekonomi. Dia ingin mengatakan bahwa tingkat penghasilan seseorang menjadi faktor yang berpotensi untuk korupsi atau tidak. Dengan kata lain, semakin rendah penghasilan, semakin tinggi potensinya untuk korupsi. Soeharto menyatakan tesisnya itu saat mengomentari kasus korupsi besar-besaran di Pertamina, yang waktu itu menyeret keterlibatan direkturnya, Ibnu Sutowo.

Bertahun-tahun berlalu sejak Soeharto menyatakan hal itu. Umpama dia masih hidup saat ini, mungkinkah dia akan tetap mempercayai tesisnya sendiri?

Gayus Tambunan—well, bagaimana kabarnya bocah itu?—masih berusia 30 tahun, tapi telah memiliki gaji 12 juta per bulan. Jika dinalar dengan akal sehat masyarakat umum negeri ini, bocah berpenghasilan 12 juta per bulan tentu sudah luar biasa. Tapi apa yang dilakukannya? Bukannya mensyukuri penghasilannya yang besar di atas rata-rata ukuran orang lain, dia malah aktif korupsi dalam jumlah huahaha.

Jika Soeharto masih hidup sekarang, kira-kira orang tua itu mau ngomong apa?

Gayus hanyalah contoh kecil betapa tidak relevannya tesis Soeharto, khususnya untuk Indonesia. Jika saya harus menyebutkan bocah-bocah lain yang juga sama kayanya dan sama rakusnya melakukan korupsi, maka saya bisa menghabiskan waktu lama untuk melakukannya, saking banyaknya. Jika saya harus menyebutkan semuanya, maka kalian akan mati bosan karena membaca tumpukan nama yang jumlahnya huahaha.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin, sebagaimana yang dinyatakan Soeharto. Yang benar, korupsi adalah soal mental. Tak peduli sekaya apa pun, seseorang akan tetap korupsi kalau mentalnya memang korup. Sebaliknya, tak peduli semiskin apa pun, seseorang tidak akan tergoda untuk korupsi kalau mentalnya bersih. Menyatakan tinggi rendahnya penghasilan adalah faktor yang membuat seseorang korupsi atau tidak, sama halnya menyatakan bahwa urusan manusia hanyalah soal perut semata.

Dan tampaknya memang “ideologi perut” itulah yang menggerakkan para keparat pejabat untuk terus menggerogoti kekayaan negara, mengorupsi hak milik rakyatnya, demi terus menumpuk kekayaan pribadinya. Orang-orang semacam itu telah mengalami kerusakan mental—sedemikian rusak, hingga apa pun dikorupsi, digerogoti, tanpa rasa malu dan ewuh pekewuh. Orang macam apa yang tidak malu mengorupsi dana haji? Orang macam apa yang tega mengorupsi dana pengadaan kitab suci?

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, para pejabat negeri ini tampaknya memang menghadapi masalah mental. Sering saya membaca berita di koran tentang seorang koruptor yang telah tertangkap, dan ditahan atau dipenjara akibat kasus korupsinya. Lalu pejabat-pejabat lain berdatangan menjenguk si koruptor di penjara. Ketika diwawancarai, para pejabat yang menjenguk si koruptor biasanya menjawab tanpa dosa, “Saya menjenguk ke sini, sebagai bentuk dukungan moral untuknya.”

Dukungan moral!

Ketika seorang pejabat terbukti korupsi, artinya moralnya tidak beres—bermental korup! Dan ketika pejabat bermental korup seperti itu dipenjara karena kejahatan korupsinya, teman-temannya sesama pejabat datang menjenguk dengan menyatakan sebagai bentuk dukungan moral. Ya Tuhan, dukungan moral! Bagaimana bisa pejabat yang terbukti bermental korup semacam itu didukung moralnya? Saya khawatir, orang-orang yang menjenguk itu juga mengalami masalah moral yang sama.

Well, masalah besar negeri ini tampaknya memang masalah moral, masalah mental. Tidak hanya para pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Karena begitu banyaknya pejabat yang korup dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi, pelan namun pasti kejahatan korupsi mengalami distorsi nilai. Disadari atau tidak, itulah masalah terbesar negeri ini.

Hampir setiap hari, di media mana pun, kita terus dibombardir berita korupsi yang dilakukan berbagai macam pejabat, dari tingkat atas sampai paling bawah, dari yang jumlahnya ecek-ecek sampai yang bertriliun-triliun. Dan berita-berita itu bersaing dengan berita perkawinan artis, perceraian selebritas, sampai urusan remeh temeh orang terkenal lain. Di koran, di televisi, di web-web internet, sampai di baris-baris timeline kita.

Pernahkah kita merasakan efek psikologisnya? Dulu, kita menilai korupsi sebagai kejahatan, bahkan kejahatan besar, karena korupsi adalah merampok harta negara, mencuri hak rakyat. Sekarang, akibat banyaknya pelaku korupsi dan begitu derasnya media memberitakannya, korupsi makin tampak bukan kejahatan lagi. Sekali lagi, pernahkah kita merasakannya...?

Korupsi telah mengalami distorsi nilai—dari “kejahatan” menjadi “sekadar kejahatan”—akibat massifnya media memberitakannya, akibat semakin banyak pelakunya.

Kita tidak lagi terkejut ketika mendapati pejabat anu ditangkap karena dugaan korupsi, atau wakil anu divonis penjara sekian tahun karena terbukti korupsi. Kita telah menganggapnya hal biasa. Itu memang watak dasar manusia. Sesuatu yang paling mengejutkan sekali pun, lama-lama akan terlihat dan terasa biasa jika terus menerus menghadapinya. Itulah masalah kita, itulah masalah bangsa kita!

Dan coba lihat wajah para koruptor itu. Dulu, duluuuu sekali, orang-orang yang diadili karena terbukti korupsi akan malu luar biasa. Sebegitu malu, hingga sering kali keluarganya akan pindah ke tempat lain yang jauh, demi tidak dikenali para tetangga. Di masa lalu, korupsi bukan hanya kejahatan besar, tetapi juga aib yang akan mencoreng wajah semua orang yang terlibat dengan si koruptor.

Sekarang, pejabat yang terbukti korupsi masih bisa cengengesan tanpa dosa, bahkan kadang masih berdalih dengan setumpuk apologi, seolah ditangkap karena korupsi hanya semacam ketahuan menyontek di kala ujian. Bahkan ketika akhirnya divonis karena terbukti korupsi serta dijatuhi hukuman penjara, koruptor-koruptor itu masih tampak “biasa saja”—sebegitu biasa, hingga kadang masih sempat mengundang petugas salon untuk mengurus rambutnya.

Bangsa ini mengalami masalah mental. Tidak hanya pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Dari waktu ke waktu, kita seperti dikondisikan untuk menerima dan memahami bahwa korupsi hanyalah “soal biasa”, suatu “budaya” yang umumnya memang dilakukan para pejabat dan orang-orang yang mengurus negara. Tidak usah terkejut, tidak usah sok kaget, toh ini soal biasa. Korupsi hanyalah soal “sesuatu yang perlu dilakukan” kalau kau punya kesempatan.

Menjelang pemilu, kita tahu, ada banyak sekali orang-orang yang rela mengeluarkan banyak uang demi bisa menjadi caleg. Uang yang mereka keluarkan demi “perjuangan” bisa menduduki kursi di legislatif tidak hanya jutaan atau puluhan juta, tapi sampai ratusan juta, bahkan ada yang sampai milyaran. Demi bisa menjadi caleg!

Di suatu majalah, ada kisah seseorang yang ingin menjadi caleg, sampai menghabiskan biaya 600 juta rupiah. Untuk menutupi semua biaya itu, dia menjual aset-asetnya, bahkan berutang ke rentenir. Singkat cerita, orang itu gagal karena tak terpilih, lalu stres dan gila. Itu bukan kisah istimewa, karena kita semua mungkin juga pernah membaca kisah yang sama—seseorang entah siapa bermimpi menjadi caleg, menghabiskan banyak uang, lalu gagal, lalu stres, dan kadang ada yang sampai masuk rumah sakit jiwa.

Saat membaca kisah-kisah itu, saya sangat miris. Tidak hanya miris membayangkan banyaknya uang yang hilang, tidak hanya miris membayangkan nasib apes mereka yang gagal, tapi juga miris membayangkan apa jadinya bangsa ini jika orang-orang itulah yang menduduki kursi-kursi kepemimpinan. Mereka telah menghabiskan banyak uang demi meraih ambisinya menjadi wakil rakyat. Kira-kira, jika telah berhasil menjadi wakil rakyat sebagaimana yang mereka inginkan, apa yang akan mereka lakukan?

Benar, mereka akan berpikir bagaimana caranya agar segera balik modal!

Menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, tampaknya telah menjadi cara gampang untuk mengumpulkan uang dan kekayaan, plus kadang kekuasaan. Karena cara pandang itu pula yang menjadikan segelintir rakyat begitu berambisi menjadi pejabat, karena menganggap kepemilikan jabatan adalah sarana mengumpulkan kekayaan. Maka wajar kalau kemudian korupsi telah menjadi budaya negeri ini, kolusi menjadi tradisi, sementara suap menggejala di semua lini.

Masalah bangsa kita adalah masalah mental. Tidak hanya para pejabatnya, tapi juga rakyatnya. Kita sedang mengalami masalah mental, pergeseran nilai, dan berubahnya cara pandang terhadap hal yang salah dan benar, kecil dan besar. Kita memukuli maling ayam sampai hampir mati, dan di saat lain menganggap hal biasa terhadap para pelaku korupsi.

Ketika menjadi Menteri Muda Luar Negeri di zaman Soekarno, Haji Agus Salim biasa memakai kemeja tambalan karena sedikitnya kemeja yang ia miliki. Dr. Leimena, yang juga pejabat negara, cuma punya dua potong kemeja. Bung Hatta, wakil presiden Soekarno, sampai mati tidak bisa membeli sepatu yang diimpikannya, karena tidak punya cukup uang.

Mereka orang-orang miskin, khususnya jika dinilai dengan ukuran kita sekarang. Tapi kita tidak pernah membaca sejarah yang menyatakan mereka melakukan korupsi, bahkan ketika kesempatan untuk melakukannya terbuka lebar.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin, korupsi adalah soal mental. Para pahlawan bangsa ini telah menunjukkan dengan gamblang bahwa semiskin apa pun, mereka memiliki mental terpuji hingga menjauh dari korupsi. Sementara pejabat di masa sekarang juga menunjukkan dengan gamblang, bahwa sekaya apa pun seseorang tidak berarti akan terbebas dari perilaku korupsi.

Korupsi bukan soal kaya atau miskin. Korupsi adalah soal mental. Yang mengkhawatirkan, bangsa ini sepertinya sedang mengalami masalah mental.

 
;