Senin, 18 Oktober 2010

Bung Hatta Ingin Beli Sepatu

Jujur, lugu dan bijaksana.
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa.
Rakyat Indonesia.

Iwan Fals, Bung Hatta


Bayangkan seseorang yang sangat ingin memiliki sepatu. Sebegitu inginnya, orang itu sampai menggunting iklan sepatu itu di koran, dan kemudian menyimpannya agar selalu bisa memandangi gambar sepatu yang amat diidamkannya.

Itulah yang dilakukan Bung Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Pada era 1950-an, ada merek sepatu yang sangat terkenal, “Bally”. Karena bermutu tinggi, harga sepatu itu pun tidak murah. Nah, Bung Hatta sangat ingin memiliki sepatu ini, sebegitu inginnya sampai ia menggunting iklan sepatu Bally di koran, kemudian menyimpannya. Setelah itu, dia menabung agar bisa membeli sepatu itu.

Yang paling menyentuh dari kisah ini adalah, sampai Bung Hatta wafat, sepatu Bally yang menjadi impiannya itu tetap tak terbeli karena uang tabungan Bung Hatta tak pernah mencukupi, karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga, membantu sanak saudara, dan handai taulan. Seusai Bung Hatta wafat, keluarganya membereskan barang-barang Bung Hatta, dan mereka menemukan guntingan iklan sepatu itu di antara tumpukan bukunya.

Setiap kali membaca kisah itu, saya selalu membayangkan sosok Bung Hatta yang jujur dan sederhana. Sebagai wakil presiden, waktu itu, tentu bukan hal sulit baginya kalau sekadar ingin membeli sepatu dengan memanfaatkan jabatannya. Dia bisa meminta tolong pengusaha atau rekan yang dikenalnya, dan tentunya hal itu tidak akan dianggap ‘korupsi’—toh hanya sepasang sepatu yang dimintanya.

Tetapi di sinilah letak keistimewaan orang yang satu ini. Dalam acara ‘Satu Abad Bung Hatta’, Adi Sasono menyatakan dalam pidatonya, “Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.”

Bung Hatta menyadari bahwa keinginan pribadinya tidak seharusnya mengorbankan orang lain dan jabatannya. Ia terlalu besar untuk meminta, terlalu arif untuk mengorbankan orang lain demi kepentingannya. Sejarah tak bisa membantah, bahwa Bung Hatta adalah salah satu orang besar yang pernah dimiliki negeri ini. Di balik sosoknya yang kaku dan pendiam, dia adalah tauladan sepanjang hayat.

Mungkin Bung Hatta bukan orang yang pandai bicara—tidak seperti para politisi yang sangat mahir mengumbar janji, tapi juga pintar melanggar janjinya sendiri. Mungkin pula Bung Hatta bukan orang yang berpenampilan mewah—tidak seperti para pejabat yang naik mobil mahal dan tinggal di rumah megah.

Tetapi negeri ini memang tidak membutuhkan pemimpin yang pintar omong tapi juga pintar bohong. Negeri ini tidak membutuhkan para pemimpin yang hanya bisa berpenampilan mirip artis tapi otak dan hatinya kosong. Yang lebih dibutuhkan negeri ini adalah pemimpin yang mau menyadari bahwa pemimpin sejati adalah orang yang mampu memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.

Kerusakan yang selalu dilahirkan oleh kepemimpinan adalah kenyataan bahwa si pemimpin tidak bisa memimpin dirinya sendiri, tetapi ngotot memimpin orang lain. Tidak ada kepemimpinan yang dapat berjalan dengan baik selama si pemimpin lebih sibuk mengarahkan dan memerintah orang lain, tetapi tak mampu mengarahkan dan memerintah dirinya sendiri.

Bung Hatta adalah figur pemimpin sejati—sosok yang telah mampu memimpin dirinya sendiri dengan baik, sehingga orang pun percaya kepadanya, dan merasa nyaman dipimpinnya. Rakyat tahu Bung Hatta bisa dipercaya, dan mereka yakin Bung Hatta tidak akan mengkhianati kepercayaan mereka. Bahkan umpama Bung Hatta mengambil sedikit uang negara untuk membeli sepatu idamannya, rakyat pun pasti akan dapat memakluminya.

Tetapi, sampai sebegitu pun, Bung Hatta tetap menunjukkan integritasnya yang tanpa cela—hingga ia memilih menabung untuk dapat membeli sepatu impiannya, meski impian itu gagal sampai ia meninggal dunia.

Jika meminta sepatu saja sudah merupakan ‘kekeliruan’ bagi Bung Hatta, apalagi jika meminta laptop? Apalagi pelesir ke luar negeri? Apalagi meminta tunjangan bulanan yang jumlahnya sampai miliaran...? Apalagi meminta kenaikan gaji yang jumlahnya tak masuk akal, sementara jutaan rakyat dicekik inflasi dan hidup serba kekurangan...?

Sikap menomorsatukan orang lain dibanding dirinya sendiri, serta sikap untuk menahan keinginannya sendiri demi tidak mengorbankan orang lain, adalah sifat pemimpin sejati. Tetapi masih adakah pemimpin semacam itu di sini, di zaman ini? Masih adakah pemimpin yang mau memikirkan rakyatnya di antara kesibukannya memikirkan diri sendiri...?

Jika masih ada pemimpin yang seperti itu, jika masih ada pemimpin yang rela menahan diri demi tidak melukai perasaan rakyat yang dipimpinnya, jika masih ada pemimpin yang jujur demi tidak mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah memilihnya, maka dua ratus tiga puluh juta rakyat negeri ini kelak akan menangisi kematiannya, sebagaimana dulu mereka menangisi kematian Bung Hatta....

Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang sepertimu


*) Kata-kata yang dicetak miring adalah syair lagu Iwan Fals.

 
;