Di tempat makan langganan, saya duduk berhadapan dengan seseorang, membicarakan sesuatu. Ketika sedang asyik ngobrol, muncul seorang pria, sendirian, dan melangkah melewati meja kami. Pria itu melihat saya, dan kami saling tersenyum. Lalu dia menepuk pundak saya dengan ramah, sambil terus melangkah.
Setelah pria tadi berlalu, orang di hadapan saya berbisik, “Kamu kenal dia?”
Ya, saya kenal pria tadi, karena kebetulan sering ketemu di sebuah panti asuhan. Lalu kami berteman karena sama-sama nyaman saat ngobrol.
Lalu orang di hadapan saya berkata, “Dia angkuh sekali. Ya, kan?”
Saya balik bertanya kepadanya, “Kamu kenal dia?”
“Tidak.”
“Kamu pernah menyapanya?”
Dia kembali menjawab tidak.
Saya bertanya, “Jadi, bagaimana kamu bisa menyimpulkan dia angkuh sekali?”
Dia menjawab ragu-ragu, “Kata orang-orang yang mengenalnya.”
“Kata orang-orang yang mengenalnya”. Deskripsi itu sebenarnya meragukan. Karena jika “orang-orang itu” memang mengenalnya, mereka tidak akan punya kesimpulan semacam itu. Orang-orang itu biasanya hanya sekadar “melihat dari kejauhan”, lalu menyimpulkan sendiri.
Kita sering terjebak pada kondisi absurd semacam itu—tidak mengenal seseorang dalam arti sesungguhnya, cuma mengenal (mungkin lebih tepat disebut melihat) seseorang dari kejauhan, lalu menyimpulkan apa yang kita lihat. Dan hasilnya jelas: Kesimpulan salah!
Ada banyak korban jatuh dari “malapraktik kemanusiaan” semacam ini. Kita tidak mengenal Si A, Si B, Si C, dan seterusnya—kita hanya tahu mereka, dan tahu itu pun dari kejauhan, karena nyatanya memang tidak mengenal secara langsung. Lalu gegabah menyimpulkan.
Kesimpulan yang benar butuh penelitian yang benar. Penelitian yang benar butuh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar butuh kedekatan yang benar. Dan kedekatan yang benar, pertama-tama, butuh pikiran yang netral.
Saya tidak menyalahkan orang di hadapan saya waktu itu, karena dia serupa dengan jutaan orang lain di luar sana, yang terbiasa menilai orang lain berdasarkan “pengamatan dari jauh”, atau sekadar “katanya begini” atau “katanya begitu”.
Homo sapiens punya kecenderungan alami; jika melihat seseorang tidak sama seperti dirinya, dia akan merasa tidak aman. Kecenderungan alami itulah yang lalu membuat kita mudah menghakimi orang lain sesuai asumsi kita sendiri—dari “dia angkuh” sampai “dia aneh”.
Jadi, siapakah pria tadi, yang melangkah sendirian dan melewati meja kami? Seperti yang saya sebut tadi, kami saling kenal karena sering ketemu di panti asuhan. Menurut saya—yang telah kenal, sering bertemu, bahkan sering mengobrol secara intens—dia sosok yang baik.
Apa buktinya dia “sosok yang baik”? Puluhan anak yatim di panti asuhan bisa menjadi saksi. Dia membiayai sekolah mereka, memberikan pakaian dan penghidupan yang layak, dan dia melakukannya dengan uang miliknya sendiri, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa publisitas.
Sekilas, sosoknya memang kaku, dengan wajah seperti orang murung. Sikap kaku dan wajah murung itu pula yang mungkin menjadikan banyak orang menilai dia angkuh. Apalagi kenyataannya dia memang sangat pendiam (belakangan saya tahu, dia sebenarnya agak gagap).
Kenyataan itu pula yang membuat kami tadi hanya saling tersenyum—tidak saling sapa dengan seru seperti orang-orang lain umumnya ketika bertemu seseorang yang dikenal.
Kesimpulan yang benar, tentang seseorang, butuh kedekatan yang sama benar.
“Tak kenal maka tak paham,” kata pepatah. Tapi kita mungkin sering lupa, hingga lebih suka menggunakan asumsi dan penghakiman. Orang-orang yang kita anggap egois dan angkuh, bisa jadi, orang-orang yang justru penuh kasih... yang sayangnya tidak kita tahu.