Ini lanjutan catatan sebelumnya (Dingin di Luar, Hangat di Hati). Pagi hari, Apri serta Kholid juga saya telah bangun dari tidur, dan kami duduk di atas tikar di ruang tamu. Apri telah membuat teh, dan kami pun menyeruput teh hangat di gelas masing-masing.
“Bagi kebanyakan orang,” kata Apri, “minum teh hangat di pagi hari mungkin biasa aja. Tapi bagiku, minum teh hangat di pagi hari adalah kenikmatan luar biasa.”
Sebelum bekerja bersama Kholid, Apri menganggur cukup lama. Dia sempat kerja serabutan, tapi lebih sering menganggur, sehingga belum tentu setiap hari bisa makan, karena memang tidak ada uang. Kisah lengkap tentang hal itu bisa dibaca di sini: Malam Ngelangut.
Karena sulitnya mendapat uang di masa-masa itu, Apri harus sangat berhemat. Setiap hari dia hanya minum air putih, karena baginya bikin teh artinya menambah pengeluaran. Apalagi jika harus ditambah gula. Menurut cerita Apri pagi itu, kalau suatu hari dia bikin teh, artinya di hari itu tak perlu makan, karena perutnya sudah “dikenyangkan” dengan teh. Sementara di hari lain, Apri hanya minum air putih, dan biasanya hanya makan sebungkus mi instan atau beberapa gorengan dalam sehari.
Tak perlu tanya apakah makan sebungkus mi instan atau beberapa biji gorengan dalam sehari bisa membuat kenyang. Sudah jelas tidak! Tapi kalau kamu cuma punya uang Rp10.000, dan seminggu ke depan belum tentu dapat uang lagi, kamu tentu akan sangat hati-hati menggunakan uangmu. Faktanya, bahkan sudah sangat berhemat pun, Apri sering menjalani hari-hari tanpa uang sama sekali, tak bisa makan apa-apa, dan hanya mengisi perutnya dengan air putih.
Pagi itu, di depan saya dan Kholid, Apri menceritakan, ada suatu masa ketika ia tidak minum teh hingga sebulan lebih, dan ia merasa sangat ingin minum teh hangat di pagi hari. Keinginan yang sederhana, hanya minum teh hangat di pagi hari! Tapi bahkan untuk mewujudkan keinginan sederhana itu, Apri tidak mampu. Karena memang tidak ada uang sama sekali.
“Akhirnya aku terpikir untuk pergi ke rumah adikku,” ujar Apri mengisahkan.
Adik Apri, seorang perempuan, sudah menikah, dan tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan. Jaraknya cukup jauh. Tapi demi bisa minum teh hangat, Apri berangkat dari rumahnya usai subuh, ketika hari masih gelap, lalu jalan kaki menuju rumah adiknya.
Sekitar satu jam Apri berjalan kaki sendirian, menyusuri jalan panjang yang waktu itu masih sepi, dan dia terus melangkah di trotoar.
“Di tengah jalan,” Apri berkata sambil tersenyum, “tanpa sengaja aku nemu puntung rokok yang masih cukup panjang.”
Dia ambil puntung rokok yang cukup panjang itu, dan menyimpannya dalam saku. Lalu terus melangkah menuju rumah adiknya.
Sesampai di rumah adiknya, hari sudah terang, dan Apri merasa kelelahan. Dia bertanya apakah ada teh, dan adiknya segera membuatkan segelas teh hangat.
Apri duduk di teras kontrakan adiknya, menyesap teh hangat di gelas, lalu menyulut puntung rokok yang tadi ia temukan di tengah perjalanan.
“Nikmatnya luar biasa,” ujar Apri pada kami. Setelah sebulan lebih hanya minum air putih, teh hangat manis dan sepuntung rokok terasa sangat nikmat hingga sulit dilukiskan kata-kata.
Kholid kemudian bertanya, “Adikmu tahu kondisimu waktu itu, Pri?”
“Tahu,” jawab Apri. “Cuma dia hidupnya juga susah, jadi aku ngerti kalau dia nggak bisa bantu banyak. Kadang, kalau pas aku dolan ke tempatnya, dia nyangoni (ngasih) duit beberapa ribu, atau sekantong jajan. Kadang ngasih dua bungkus mi instan. Itu aja, aku udah sangat berterima kasih.”
Apri menyesap teh hangat di gelasnya, lalu berujar, “Aku nggak suka neko-neko, dan nggak punya impian macam-macam dalam hidup. Aku cuma berharap bisa minum teh hangat manis setiap pagi, agar punya cukup energi untuk menjalani hari. Makanya kalau dengar orang ceramah soal hidup sederhana, atau ‘uang nggak dibawa mati’, aku ingin tertawa. Mereka nggak perlu mengajari, hidupku udah kayak gitu dari dulu.”
Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Orang emang biasanya baru ngerti nilai uang setelah nggak punya uang sama sekali. Makanya orang-orang yang suka berlagak ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, hampir dapat dipastikan belum pernah mengalami kondisi nggak punya uang sama sekali. Karena nyatanya untuk bisa minum teh hangat di pagi hari aja butuh uang. Padahal itu sederhana. Cuma teh hangat!”
Kholid berkata, “Aku punya pengalaman yang kayaknya juga nyambung (relate) dengan itu.”
Dulu, Kholid menceritakan, dia pernah mengalami sakit pada punggungnya. Makin hari, sakit pada punggung itu makin terasa, tepatnya di punggung bagian bawah, dan sangat mengganggu kerjanya. Kemungkinan besar, menurut Kholid, sakit pada punggungnya juga terkait pekerjaannya.
Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, Kholid bekerja sebagai kuli keceh di pabrik batik. Pekerjaan itu mengharuskan badan banyak bergerak. Kemungkinan, menurut Kholid, dia mengalami “salah posisi” waktu sedang bekerja, hingga ada urat di punggungnya yang “melintir”. Makin hari, sakit di punggung itu terasa kian parah, dan Kholid berencana pijat untuk membetulkan masalah urat di punggungnya. Dia punya tetangga yang ahli pijat, dan Kholid biasa minta pijat kepadanya setiap kali badannya bermasalah. Sayangnya, ketika punggungnya sakit waktu itu, Kholid tidak ada uang untuk biaya pijat.
“Sisa pocokanku (penghasilan mingguannya) cuma tinggal empat puluh ribu, dan itu buat makan aku sama ibuku beberapa hari ke depan,” ujar Kholid.
Akhirnya, meski punggungnya makin terasa tidak nyaman, Kholid tetap menguatkan diri. Dia terus berangkat kerja sambil menahan sakit di punggung, dan berharap Kamis segera datang agar dia mendapat uang pocokan, agar bisa pijat dan membereskan sakit punggungnya.
Lalu Kamis tiba, dan sakit di punggung Kholid juga tiba pada puncaknya. Menjelang asar, dia tiba-tiba ambruk di tempat kerjanya, dan merasa antara sadar dan tidak. Yang ia rasakan waktu itu hanyalah punggungnya yang sangat sakit.
Majikan Kholid, yang tahu hal itu, segera berinisiatif membawa Kholid ke rumah sakit. Tapi Kholid seketika menolak.
Kepada saya dan Apri pagi itu, Kholid mengatakan, “Bagi orang miskin kayak aku, rumah sakit terdengar mengerikan. Karena yang kupikirkan waktu itu adalah biaya mahal, obat mahal, perawatan mahal, sementara aku nggak ada duit sama sekali.”
Akhirnya, karena Kholid menolak dibawa ke rumah sakit, majikannya lalu meminta sopirnya untuk mengantarkan Kholid pulang. Sore itu juga Kholid pulang, dengan membawa uang pocokan hasil kerja seminggu.
Sesampai di rumah, dia minta tolong ibunya agar memanggilkan tukang pijat tetangga mereka. Dugaan Kholid ternyata tepat. Ada urat di punggung bawahnya yang “melintir” hingga menimbulkan sakit. Tukang pijat lalu membetulkan urat yang melintir itu, dan sakit pada punggung Kholid berangsur-angsur mereda. Besoknya, hari Jumat, Kholid istirahat di rumah, dan merasakan badannya mulai sehat, hingga bisa kembali bekerja seperti biasa ketika Sabtu tiba.
Kholid berkata, “Aku sering mendengar orang mengatakan, ‘kerja nggak usah ngoyo’. Sebenarnya, orang melarat kayak aku nggak pernah ingin kerja ngoyo. Kalau bisa, aku ingin nggak kerja sama sekali! Tapi kalau aku nggak kerja, siapa yang ngasih makan aku dan ibuku? Aku tetap kerja meski sambil menahan kesakitan, bukan karena ngoyo, tapi karena nggak punya pilihan lain! Karena kalau nggak kerja, aku nggak dapat uang, dan artinya nggak bisa makan. Orang ngomong seenaknya, sok menasihati kerja nggak usah ngoyo, seolah mereka menanggung kehidupanku.”
Apri menyambung ucapan Kholid, “Ada juga yang sok menasihati agar kita nggak perlu khawatir soal rezeki, karena setiap orang udah dapat jatah rezeki. Dulu, waktu menganggur sampai berbulan-bulan, aku sering semaput karena nggak makan sama sekali akibat nggak ada uang, dan aku mengalami hal kayak gitu berbulan-bulan! Orang yang suka ngomong ‘nggak usah khawatir soal rezeki’ sebaiknya mengalami yang kualami dulu, agar omongannya lebih bermakna.”
Mendengar cerita Apri dan Kholid pagi itu, saya mulai menyadari sesuatu. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau tetangga kita tidak makan berhari-hari karena ketiadaan uang, sampai mau minum teh hangat saja harus berjalan kaki ke tempat adiknya yang sangat jauh. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau orang yang kita kenal terpaksa bekerja sambil diam-diam menahan kesakitan, hingga belakangan sampai jatuh pingsan, karena memang dia harus tetap kerja demi bisa dapat uang untuk makan.
Kita tidak tahu, karena mereka mungkin tidak ingin mengganggu kita dengan cerita-cerita orang susah yang terdengar membosankan. Kita tidak tahu, karena mereka memilih untuk memendam masalah hidup mereka sendirian, dan tidak ingin merepotkan orang lain. Kita tidak tahu... dan mestinya kita juga tidak usah sok tahu!
Maksud saya, kita tidak usah sok tahu dengan menasihati mereka “harus begini dan harus begitu” seolah kita tahu kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu! Kita tidak usah sok tahu dengan berlagak tahu semua hal tentang hidup mereka, lalu merasa punya hak mengatur-atur kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu!
Kalau memang kita ingin menunjukkan kepedulian, ada cara yang jauh lebih baik untuk dilakukan, yaitu bertanya, “Apa yang bisa kubantu?” Lalu bantulah kalau memang mampu. Pertanyaan dan sikap semacam itu menunjukkan empati, bahwa kita peduli—bukan hanya berlagak sok ngerti sambil ceramah ndakik-ndakik dan merasa benar sendiri.