Rabu, 20 Agustus 2025

Teh Hangat di Pagi Hari

Ini lanjutan catatan sebelumnya (Dingin di Luar, Hangat di Hati). Pagi hari, Apri serta Kholid juga saya telah bangun dari tidur, dan kami duduk di atas tikar di ruang tamu. Apri telah membuat teh, dan kami pun menyeruput teh hangat di gelas masing-masing. 

“Bagi kebanyakan orang,” kata Apri, “minum teh hangat di pagi hari mungkin biasa aja. Tapi bagiku, minum teh hangat di pagi hari adalah kenikmatan luar biasa.”

Sebelum bekerja bersama Kholid, Apri menganggur cukup lama. Dia sempat kerja serabutan, tapi lebih sering menganggur, sehingga belum tentu setiap hari bisa makan, karena memang tidak ada uang. Kisah lengkap tentang hal itu bisa dibaca di sini: Malam Ngelangut.

Karena sulitnya mendapat uang di masa-masa itu, Apri harus sangat berhemat. Setiap hari dia hanya minum air putih, karena baginya bikin teh artinya menambah pengeluaran. Apalagi jika harus ditambah gula. Menurut cerita Apri pagi itu, kalau suatu hari dia bikin teh, artinya di hari itu tak perlu makan, karena perutnya sudah “dikenyangkan” dengan teh. Sementara di hari lain, Apri hanya minum air putih, dan biasanya hanya makan sebungkus mi instan atau beberapa gorengan dalam sehari.

Tak perlu tanya apakah makan sebungkus mi instan atau beberapa biji gorengan dalam sehari bisa membuat kenyang. Sudah jelas tidak! Tapi kalau kamu cuma punya uang Rp10.000, dan seminggu ke depan belum tentu dapat uang lagi, kamu tentu akan sangat hati-hati menggunakan uangmu. Faktanya, bahkan sudah sangat berhemat pun, Apri sering menjalani hari-hari tanpa uang sama sekali, tak bisa makan apa-apa, dan hanya mengisi perutnya dengan air putih. 
 
Pagi itu, di depan saya dan Kholid, Apri menceritakan, ada suatu masa ketika ia tidak minum teh hingga sebulan lebih, dan ia merasa sangat ingin minum teh hangat di pagi hari. Keinginan yang sederhana, hanya minum teh hangat di pagi hari! Tapi bahkan untuk mewujudkan keinginan sederhana itu, Apri tidak mampu. Karena memang tidak ada uang sama sekali. 

“Akhirnya aku terpikir untuk pergi ke rumah adikku,” ujar Apri mengisahkan.

Adik Apri, seorang perempuan, sudah menikah, dan tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan. Jaraknya cukup jauh. Tapi demi bisa minum teh hangat, Apri berangkat dari rumahnya usai subuh, ketika hari masih gelap, lalu jalan kaki menuju rumah adiknya. 

Sekitar satu jam Apri berjalan kaki sendirian, menyusuri jalan panjang yang waktu itu masih sepi, dan dia terus melangkah di trotoar. 

“Di tengah jalan,” Apri berkata sambil tersenyum, “tanpa sengaja aku nemu puntung rokok yang masih cukup panjang.”

Dia ambil puntung rokok yang cukup panjang itu, dan menyimpannya dalam saku. Lalu terus melangkah menuju rumah adiknya.

Sesampai di rumah adiknya, hari sudah terang, dan Apri merasa kelelahan. Dia bertanya apakah ada teh, dan adiknya segera membuatkan segelas teh hangat. 

Apri duduk di teras kontrakan adiknya, menyesap teh hangat di gelas, lalu menyulut puntung rokok yang tadi ia temukan di tengah perjalanan. 

“Nikmatnya luar biasa,” ujar Apri pada kami. Setelah sebulan lebih hanya minum air putih, teh hangat manis dan sepuntung rokok terasa sangat nikmat hingga sulit dilukiskan kata-kata.

Kholid kemudian bertanya, “Adikmu tahu kondisimu waktu itu, Pri?”

“Tahu,” jawab Apri. “Cuma dia hidupnya juga susah, jadi aku ngerti kalau dia nggak bisa bantu banyak. Kadang, kalau pas aku dolan ke tempatnya, dia nyangoni (ngasih) duit beberapa ribu, atau sekantong jajan. Kadang ngasih dua bungkus mi instan. Itu aja, aku udah sangat berterima kasih.”

Apri menyesap teh hangat di gelasnya, lalu berujar, “Aku nggak suka neko-neko, dan nggak punya impian macam-macam dalam hidup. Aku cuma berharap bisa minum teh hangat manis setiap pagi, agar punya cukup energi untuk menjalani hari. Makanya kalau dengar orang ceramah soal 'jangan cinta dunia', atau ‘uang nggak dibawa mati’, aku ingin tertawa. Mereka nggak perlu mengajari, hidupku udah kayak gitu dari dulu.”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Orang emang biasanya baru ngerti nilai uang setelah nggak punya uang sama sekali. Makanya orang-orang yang suka berlagak ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, hampir dapat dipastikan belum pernah mengalami kondisi nggak punya uang sama sekali. Karena nyatanya untuk bisa minum teh hangat di pagi hari aja butuh uang. Padahal itu sederhana. Cuma teh hangat!”

Kholid berkata, “Aku punya pengalaman yang kayaknya juga nyambung (relate) dengan itu.”

Dulu, Kholid menceritakan, dia pernah mengalami sakit pada punggungnya. Makin hari, sakit pada punggung itu makin terasa, tepatnya di punggung bagian bawah, dan sangat mengganggu kerjanya. Kemungkinan besar, menurut Kholid, sakit pada punggungnya juga terkait pekerjaannya.

Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, Kholid bekerja sebagai kuli keceh di pabrik batik. Pekerjaan itu mengharuskan badan banyak bergerak. Kemungkinan, menurut Kholid, dia mengalami “salah posisi” waktu sedang bekerja, hingga ada urat di punggungnya yang “melintir”. Makin hari, sakit di punggung itu terasa kian parah, dan Kholid berencana pijat untuk membetulkan masalah urat di punggungnya. Dia punya tetangga yang ahli pijat, dan Kholid biasa minta pijat kepadanya setiap kali badannya bermasalah. Sayangnya, ketika punggungnya sakit waktu itu, Kholid tidak ada uang untuk biaya pijat.

“Sisa pocokanku (penghasilan mingguannya) cuma tinggal empat puluh ribu, dan itu buat makan aku sama ibuku beberapa hari ke depan,” ujar Kholid.

Akhirnya, meski punggungnya makin terasa tidak nyaman, Kholid tetap menguatkan diri. Dia terus berangkat kerja sambil menahan sakit di punggung, dan berharap Kamis segera datang agar dia mendapat uang pocokan, agar bisa pijat dan membereskan sakit punggungnya.

Lalu Kamis tiba, dan sakit di punggung Kholid juga tiba pada puncaknya. Menjelang asar, dia tiba-tiba ambruk di tempat kerjanya, dan merasa antara sadar dan tidak. Yang ia rasakan waktu itu hanyalah punggungnya yang sangat sakit.

Majikan Kholid, yang tahu hal itu, segera berinisiatif membawa Kholid ke rumah sakit. Tapi Kholid seketika menolak. 

Kepada saya dan Apri pagi itu, Kholid mengatakan, “Bagi orang miskin kayak aku, rumah sakit terdengar mengerikan. Karena yang kupikirkan waktu itu adalah biaya mahal, obat mahal, perawatan mahal, sementara aku nggak ada duit sama sekali.”
 
Akhirnya, karena Kholid menolak dibawa ke rumah sakit, majikannya lalu meminta sopirnya untuk mengantarkan Kholid pulang. Sore itu juga Kholid pulang, dengan membawa uang pocokan hasil kerja seminggu.

Sesampai di rumah, dia minta tolong ibunya agar memanggilkan tukang pijat tetangga mereka. Dugaan Kholid ternyata tepat. Ada urat di punggung bawahnya yang “melintir” hingga menimbulkan sakit. Tukang pijat lalu membetulkan urat yang melintir itu, dan sakit pada punggung Kholid berangsur-angsur mereda. Besoknya, hari Jumat, Kholid istirahat di rumah, dan merasakan badannya mulai sehat, hingga bisa kembali bekerja seperti biasa ketika Sabtu tiba.

Kholid berkata, “Aku sering mendengar orang mengatakan, ‘kerja nggak usah ngoyo’. Sebenarnya, orang melarat kayak aku nggak pernah ingin kerja ngoyo. Kalau bisa, aku ingin nggak kerja sama sekali! Tapi kalau aku nggak kerja, siapa yang ngasih makan aku dan ibuku? Aku tetap kerja meski sambil menahan kesakitan, bukan karena ngoyo, tapi karena nggak punya pilihan lain! Karena kalau nggak kerja, aku nggak dapat uang, dan artinya nggak bisa makan. Orang ngomong seenaknya, sok menasihati kerja nggak usah ngoyo, seolah mereka menanggung kehidupanku.”

Apri menyambung ucapan Kholid, “Ada juga yang sok menasihati agar kita nggak perlu khawatir soal rezeki, karena setiap orang udah dapat jatah rezeki. Dulu, waktu menganggur sampai berbulan-bulan, aku sering semaput karena nggak makan sama sekali akibat nggak ada uang, dan aku mengalami hal kayak gitu berbulan-bulan! Orang yang suka ngomong ‘nggak usah khawatir soal rezeki’ sebaiknya mengalami yang kualami dulu, agar omongannya lebih bermakna.”

Mendengar cerita Apri dan Kholid pagi itu, saya mulai menyadari sesuatu. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau tetangga kita tidak makan berhari-hari karena ketiadaan uang, sampai mau minum teh hangat saja harus berjalan kaki ke tempat adiknya yang sangat jauh. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau orang yang kita kenal terpaksa bekerja sambil diam-diam menahan kesakitan, hingga belakangan sampai jatuh pingsan, karena memang dia harus tetap kerja demi bisa dapat uang untuk makan.

Kita tidak tahu, karena mereka mungkin tidak ingin mengganggu kita dengan cerita-cerita orang susah yang terdengar membosankan. Kita tidak tahu, karena mereka memilih untuk memendam masalah hidup mereka sendirian, dan tidak ingin merepotkan orang lain. Kita tidak tahu... dan mestinya kita juga tidak usah sok tahu!

Maksud saya, kita tidak usah sok tahu dengan menasihati mereka “harus begini dan harus begitu” seolah kita tahu kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu! Kita tidak usah sok tahu dengan berlagak tahu semua hal tentang hidup mereka, lalu merasa punya hak mengatur-atur kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu!  

Kalau memang kita ingin menunjukkan kepedulian, ada cara yang jauh lebih baik untuk dilakukan, yaitu bertanya, “Apa yang bisa kubantu?” Lalu bantulah kalau memang mampu. Pertanyaan dan sikap semacam itu menunjukkan empati, bahwa kita peduli—bukan hanya berlagak sok ngerti sambil ceramah ndakik-ndakik dan merasa benar sendiri.

Dinginnya

Oh, dinginnya pagi ini... Sedingin pagi yang dingin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Februari 2012.

Disuruh Rejoh

“Aku disuruh rejoh,” kata seorang bocah.

Saya bertanya, “Rejoh itu apa?”

“Itulah, aku juga tidak tahu. Tapi aku disuruh rejoh.”

“Dan orang yang menyuruhmu rejoh itu... dia tahu apa itu rejoh?”

“Mungkin tidak.”

“Apakah dia melakukan rejoh, terlepas apa pun artinya?”

“Tidak.”

....
....

Rejoh celeng!

Benda yang Dipungut dari Neraka

Direktur Perencanaan Korporat PLN, Syofvi Felienty, berharap masyarakat lebih sering menggunakan listrik di rumah, khususnya AC, agar konsumsi listrik terus meningkat, sesuai target PLN. —@kumparan


JADI SELAMA INI KITA GEMBAR-GEMBOR HEMAT LISTRIK ITU BUAT APA?

Aku tidak pakai AC di rumah. Pertama karena AC menyedot terlalu banyak energi listrik. Kedua, AC menghambatku menikmati udud. Dan ketiga, AC adalah peranti yang tidak ramah lingkungan. Kalau kau ingin melihat lingkaran setan pemanasan global dalam wujud aslinya, lihatlah AC.

Manusia menyalakan AC karena cuaca panas. Semakin banyak AC dinyalakan, energi yang digunakan semakin banyak, dan panas yang dilepaskan ke atmosfer semakin banyak. Hasilnya, bumi semakin panas, dan manusia semakin sering menggunakan AC, dan begitu seterusnya sampai kiamat.

Dalam bayanganku, AC adalah benda yang dipungut dari neraka, dan dikenalkan pada manusia di dunia. Hasilnya, "yang kaulihat sebagai surga sebenarnya neraka, dan yang kaulihat sebagai neraka adalah surga."

Bumi akan jauh lebih baik saat ini, andai AC tidak pernah ditemukan.

Dan sekarang Direktur Perencanaan Korporat PLN berharap semakin banyak orang yang menggunakan AC, dengan alasan "agar konsumsi listrik yang ditargetkan PLN tercapai."

Itu seperti humor gelap yang mengerikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Baru Kali Ini

Baru kali ini nemu "twitwar" yang membuatku penasaran, sampai ngecek ke akun masing-masing: tinystardustt vs siskaeee.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2019.

Waduh

JKT48 Fanblog http://jkt48fanblog.blogspot.com/ —@gm_gm

Waduh, ini akunnya GM diretas apa gimana?

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Nokia, Dulunya

Nokia itu dulunya pabrik kertas yang menyuplai produknya ke perusahaan telepon. Jaman dulu, tuts telepon pakai bantalan lapisan kertas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Lagi-lagi Nyesel

Lagi-lagi nyesel nonton horor. Kali ini film Us. Sangat tidak enviromental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2019.

Semalam Suntuk

Semalam suntuk cuma baca artikel di web. Rasanya sampai seperti mabuk. Dan ternyata Andrea Hirata pernah punya istri. Kirain masih lajang!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Tertolong oleh Kerupuk

Ajaib, kalau dipikir-pikir.

Tidak Mengema

Iya.

Minggu, 10 Agustus 2025

Dingin di Luar, Hangat di Hati

Orang yang bekerja seharian biasanya merasakan lelah saat malam hari, hingga hanya ingin istirahat dengan tenang, agar besok dapat bekerja kembali. Apalagi jika kerjanya lebih menggunakan fisik, seperti tukang bangunan, atau tukang cuci batik. Karenanya, saya tahu diri untuk tidak mengganggu—misal mendatangi—teman-teman saya yang bekerja seperti itu, kecuali kalau hari libur, atau mereka yang meminta. Karena saya tahu, mereka pasti kelelahan setelah seharian bekerja, dan ingin menikmati istirahat tanpa terganggu apa pun.

Dulu saya biasa mendatangi Apri—orang yang saya ceritakan di sini—kapan saja, karena waktu itu dia masih belum kerja. Belakangan, Apri bekerja sebagai buruh di pabrik batik bersama Kholid, yang saya ceritakan di sini. Sekarang Apri dan Kholid berteman, karena mereka bekerja di tempat sama, dan mengerjakan hal yang sama. Sebagai teman mereka, saya senang melihatnya.

Malam Jumat kemarin, Kholid mengajak saya kumpul di rumah Apri, untuk menikmati kacang rebus bersama. “Majikanku baru panen kacang,” katanya. Para pekerja, termasuk Apri dan Kholid, mendapat sekantong kacang tanah. Apri dan Kholid lalu punya ide menggabungkan kacang itu, untuk dinikmati bersama.

Saya penyuka kacang rebus. Dan saya senang ngobrol dengan Apri serta Kholid. Jadi, saya lalu datang ke rumah Apri, pada malam Jumat seperti yang mereka minta. Malam itu cuaca agak dingin saat saya melaju ke tempat Apri.

Di rumah Apri, saya mendapati Kholid dan Apri sudah duduk santai di depan sebaskom kacang rebus yang masih hangat. Sambil tersenyum, saya berkata pada Apri, “Kamu bisa ngerebus kacang, Pri?”

“Ya bisa, lah,” sahut Apri. “Wong cuma masukin kacang ke panci, kasih air, terus ditambah sedikit garam.”

Malam itu, seperti biasa, tempat tinggal Apri sunyi ngelangut. Kami duduk di ruang tamu sederhana, beralas tikar, dan menikmati kacang rebus yang masih hangat. Usai puas makan kacang, saya meminum teh hangat di gelas, lalu menyulut rokok. 

Saya bertanya ke Kholid, “Majikanmu punya kebun kacang apa gimana?”

“Nggak cuma kacang,” jawab Kholid, “ada juga singkong, ketela, pepaya, dan sayuran.” Lalu Kholid menceritakan, majikannya punya tanah warisan yang cukup luas di wilayah kabupaten. Daripada tidak digunakan, tanah itu lalu dijadikan kebun, dan pengurusannya diserahkan pada petani setempat. Para petani menggarap tanah luas itu dan menghasilkan aneka tanaman, termasuk kacang tanah. Hasil panen dibagi dua; untuk petani penggarap dan untuk si pemilik tanah.

“Karena majikanku udah kaya, dan nggak terlalu butuh duit,” ujar Kholid, “hasil panen itu nggak dijual, tapi dibagi-bagikan ke para pekerja di pabrik.” Karenanya, beberapa kali, Kholid pernah dapat seikat bayam, di lain waktu pernah dapat ketela, atau buah-buahan.

Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. “Enak juga ya, punya kebun. Bisa makan hasil tanaman segar.”

Kami lalu membicarakan pengusaha batik yang jadi majikan Kholid dan Apri. Usaha batik tempat mereka bekerja relatif terkenal, dan showroom-nya sering didatangi para pembeli dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Sebagian pembeli itu termasuk para pejabat hingga para artis. Kedatangan para artis di sana biasanya membuat orang-orang (tetangga) di sekitar showroom jadi heboh, karena dapat menyaksikan artis-artis dalam wujud nyata.

Percakapan kami lalu beralih membahas artis dan orang-orang terkenal. Apri berkata kepada saya, “Kalau kamu ngefans seorang artis, kamu ingin ketemu dengannya?”

“Nggak,” sahut saya.

“Lhoh, kenapa?” tanya Kholid.

“Ya sadar diri, lah.”

Apri tampak bingung, “Sadar diri gimana?”

Saya mengisap rokok, lalu menjelaskan, “Aku ngefans sama Iwan Fals, misalnya. Aku hafal lagu-lagunya, tahu kisah hidupnya, bahkan memasang posternya di rumah. Pendeknya aku sangat mengenal Iwan Fals, karena mengidolakannya. Tapi Iwan Fals, kan, nggak tahu apalagi kenal aku. Jadi kayaknya aneh aja kalau aku sampai punya keinginan ketemu dia. Lha aku ini siapa?”

Kholid bertanya, “Jadi, kamu sebatas nonton konsernya, gitu?”

“Iya, paling gitu,” jawab saya. “Wong nonton video-video Iwan Fals di YouTube aja, aku udah senang. Kalau ingin melihat langsung, aku paling nonton konsernya, seperti para penggemar yang lain.”

“Nggak ada keinginan ketemu langsung?” tanya Kholid lagi. “Misal biar bisa ngobrol?”

“Nggak, lah,” saya tertawa. “Seperti yang aku bilang tadi, aku sadar diri. Makanya nggak berani ngarep macam-macam.”

Apri dan Kholid manggut-manggut. Lalu saya balik bertanya, “Emang kalian ingin ketemu tokoh idola atau artis yang kalian sukai?”

Kholid berkata, “Jujur, aku dulu ya kepikiran ingin ketemu artis atau tokoh yang aku idolakan. Tapi setelah dengar pengakuanmu barusan, aku jadi mikir, ‘iya, ya, kenapa aku sampai ngarep macam-macam sampai ingin ketemu?’ Ya mungkin aku mau aja ketemu, tapi artisnya, kan, belum tentu mau ketemu aku, hahaha...”

Saya beralih kepada Apri, “Kalau kamu, Pri?”

“Sama kayak kamu,” jawab Apri. “Sebenarnya, aku juga mikirnya sama kayak kamu tadi, cuma aku nggak tahu gimana menyebutnya. Intinya aku juga nggak berani ngarep macam-macam hanya karena ngefans seorang artis. Itu namanya sadar diri, ya?”

Percakapan kami terus mengalir, sambil menikmati kacang rebus, menyesap teh, dan mengisap udud. Tanpa terasa, kacang rebus di baskom akhirnya benar-benar tandas, dan jarum jam sudah menunjuk tengah malam.

Kholid bertanya pada saya, “Kita pulang apa nginap, nih?”

Apri langsung menyela, “Nginap aja, nggak usah pulang.”

Jalan pulang dari rumah Apri harus melewati jalanan gelap dan panjang yang diapit perkebunan dan persawahan. Sebenarnya saya tidak masalah jika harus melewati jalanan itu di tengah malam untuk pulang. Tapi Kholid sepertinya enggan. Jadi kami lalu memutuskan untuk menginap di tempat Apri. 

Setelah membersihkan tikar dari kulit-kulit kacang, kami lalu membaringkan badan. Sambil menunggu lelap, kami bercakap-cakap pelan. 

Kholid berkata, “Ternyata di sini juga dingin kalau tengah malam, ya. Kirain cuma di tempatku. Di tempatmu juga gitu, Da’?”

“Iya,” saya menjawab. “Akhir-akhir ini emang sangat dingin pas tengah malam. Padahal biasanya semromong (panas) terus.”

“Kalian perlu selimut?” tanya Apri.

“Nggak perlu, sih,” sahut Kholid. “Tapi kalau ada sarung, kayaknya bagus.”

Apri bangkit, dan sesaat kemudian menyerahkan sarung untuk saya dan Kholid. Kami lalu menjadikan sarung itu sebagai selimut. 

Udara terasa dingin, malam kian ngelangut.

Takdir Tertawa

Sehelai daun lepas dari ranting. 
Diembus angin, melayang-layang bersama udara. 
Lalu jatuh di tanah basah. 
Di kejauhan, takdir tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Dengan Manusia

Memang paling menyenangkan bercakap-cakap dan saling tertawa dengan manusia. Bukan dengan berhala.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juli 2012.

Ingin Ditanya Begitu

Tadi makan di warung, ada ibu-ibu tanya ke seorang bocah, "Mbakyumu sik opo, nang?"

Aku ingin sekali ditanya begitu, ya Allah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 April 2019.

Tak Perlu Berteriak

Keindahan tak perlu berteriak atau unjuk diri. Tersembunyi di mana pun dunia akan mengakui.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2012.

Sesekali Ngemeng Inggris

Sekali-sekali nge-tweet pakai bahasa Inggris, ah. Biar kayak orang-orang normal.

....
....

Knowledge is gained by learning, trust by doubt, skill by practice, and love by love.

Self-pity is our worst enemy. And if we yield to it, we can never do anything wise in this world.
    
When there is no enemy within, the enemies outside cannot hurt you.

Love makes time pass away, and time makes love pass away.

The moment when you can feel your life is the moment when you feel and do all the things with the spirit of love.

Hate, like love, outgrow by little things.

Love conceals ugliness, and hate sees many faults.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2014.  

Kebetulan?

Mula-mula, Siemens ambruk. Lalu Sony-Ericsson bercerai, seiring Blackberry mulai gonjang-ganjing. Puncaknya, Nokia bubar. Kebetulan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2014.  

Kejahatan Terburuk

Kejahatan terburuk yang pernah kuperbuat adalah berpura-pura pada semua orang bahwa aku orang yang sangat bahagia. —Kurt Cobain


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2019.

Jumat yang Biasa

 Jumat yang sungguh biasa-biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019

Tak Juga Selesai

Baru 930 halaman dari 1.500 halaman. Rasanya tak sampai-sampai. Tak juga selesai.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Jarang Muncul

Iya ya, kenapa Barry Prima sekarang jarang muncul di film Indonesia, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Klungsar

Klungsar, kata Jangus.

Jumat, 01 Agustus 2025

Takdir Kadang Punya Sisi Gelap

Mungkinkah seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita, dan si wanita juga jatuh cinta kepadanya, tapi si pria memilih tidak menyatakan cintanya? Mungkin saja. Well, kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, dan kita juga tidak tahu apa alasan yang melatari pilihan serta keputusannya.

Kita terbiasa berpikir linier, seolah kehidupan sepasti rumus 1+1=2. Padahal hidup tak selalu begitu, dan keputusan serta pilihan orang per orang kadang memiliki alasan tak terduga. Dua orang yang saling jatuh cinta tak selalu jadi pasangan kekasih, karena takdir kadang punya sisi gelap.

Dalam sebuah percakapan panjang, seorang pria menyatakan bahwa dia memilih tidak menjalin hubungan cinta, dan tak akan pernah menikah apalagi punya anak. Alasannya mungkin mencengangkan, “Aku khawatir akan jadi pasangan yang buruk, yang akan menyakiti pasanganku.”

Dia, sebagaimana yang dikatakannya sendiri, adalah “produk gagal” dari sistem pengasuhan orang tua yang sangat buruk. Dia terluka, trauma, dan semua luka yang dialaminya membentuk pribadinya hingga dewasa. “Aku belum sembuh, dan mungkin tak akan sembuh,” katanya.

Saat mengenang percakapan itu, aku tergoda untuk berpikir bahwa dia psikopat yang menyadari kegelapan dirinya. Dan dia memilih untuk membiarkan kegelapan itu hanya ada pada dirinya, dan tidak ingin mewariskannya ke orang lain (anak yang mungkin dimilikinya).

Aku bertanya apakah dia pernah jatuh cinta, dan dia tersenyum saat menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku memilih untuk memendamnya—kupikir itu lebih baik, bagiku dan bagi dirinya. Aku hanya akan menjadi pasangan yang buruk, dan itu tidak baik bagi kami.”

Jadi, seseorang mungkin jatuh cinta kepadamu, dan kamu tahu. Tapi dia tak pernah menyatakannya kepadamu. Bisa jadi kamu berpikir dia mempermainkanmu. Tetapi, bagaimana kalau ternyata dia tidak menyatakan cintanya justru karena sangat mencintaimu, dan tak ingin kamu terluka?

Kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, selain hanya menebak-nebak. Dan bisa jadi tebakan kita keliru, karena kita terbiasa menggunakan pola pikir kita untuk menilai orang lain. Kita tak pernah tahu isi hati dan pikiran yang disimpan seseorang, karena takdir kadang menikam di kegelapan.

Dalam Hujan

Dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Seorang Pria Melangkah Sendirian

Di tempat makan langganan, saya duduk berhadapan dengan seseorang, membicarakan sesuatu. Ketika sedang asyik ngobrol, muncul seorang pria, sendirian, dan melangkah melewati meja kami. Pria itu melihat saya, dan kami saling tersenyum. Lalu dia menepuk pundak saya dengan ramah, sambil terus melangkah.

Setelah pria tadi berlalu, orang di hadapan saya berbisik, “Kamu kenal dia?” 

Ya, saya kenal pria tadi, karena kebetulan sering ketemu di sebuah panti asuhan. Lalu kami berteman karena sama-sama nyaman saat ngobrol. 

Lalu orang di hadapan saya berkata, “Dia angkuh sekali. Ya, kan?”

Saya balik bertanya kepadanya, “Kamu kenal dia?” 

“Tidak.”

“Kamu pernah menyapanya?” 

Dia kembali menjawab tidak. 

Saya bertanya, “Jadi, bagaimana kamu bisa menyimpulkan dia angkuh sekali?” 

Dia menjawab ragu-ragu, “Kata orang-orang yang mengenalnya.”

“Kata orang-orang yang mengenalnya”. Deskripsi itu sebenarnya meragukan. Karena jika “orang-orang itu” memang mengenalnya, mereka tidak akan punya kesimpulan semacam itu. Orang-orang itu biasanya hanya sekadar “melihat dari kejauhan”, lalu menyimpulkan sendiri.

Kita sering terjebak pada kondisi absurd semacam itu—tidak mengenal seseorang dalam arti sesungguhnya, cuma mengenal (mungkin lebih tepat disebut melihat) seseorang dari kejauhan, lalu menyimpulkan apa yang kita lihat. Dan hasilnya jelas: Kesimpulan salah!

Ada banyak korban jatuh dari “malapraktik kemanusiaan” semacam ini. Kita tidak mengenal Si A, Si B, Si C, dan seterusnya—kita hanya tahu mereka, dan tahu itu pun dari kejauhan, karena nyatanya memang tidak mengenal secara langsung. Lalu gegabah menyimpulkan. 

Kesimpulan yang benar butuh penelitian yang benar. Penelitian yang benar butuh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar butuh kedekatan yang benar. Dan kedekatan yang benar, pertama-tama, butuh pikiran yang netral. 

Saya tidak menyalahkan orang di hadapan saya waktu itu, karena dia serupa dengan jutaan orang lain di luar sana, yang terbiasa menilai orang lain berdasarkan “pengamatan dari jauh”, atau sekadar “katanya begini” atau “katanya begitu”. 

Homo sapiens punya kecenderungan alami; jika melihat seseorang tidak sama seperti dirinya, dia akan merasa tidak aman. Kecenderungan alami itulah yang lalu membuat kita mudah menghakimi orang lain sesuai asumsi kita sendiri—dari “dia angkuh” sampai “dia aneh”.

Jadi, siapakah pria tadi, yang melangkah sendirian dan melewati meja kami? Seperti yang saya sebut tadi, kami saling kenal karena sering ketemu di panti asuhan. Menurut saya—yang telah kenal, sering bertemu, bahkan sering mengobrol secara intens—dia sosok yang baik.

Apa buktinya dia “sosok yang baik”? Puluhan anak yatim di panti asuhan bisa menjadi saksi. Dia membiayai sekolah mereka, memberikan pakaian dan penghidupan yang layak, dan dia melakukannya dengan uang miliknya sendiri, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa publisitas.

Sekilas, sosoknya memang kaku, dengan wajah seperti orang murung. Sikap kaku dan wajah murung itu pula yang mungkin menjadikan banyak orang menilai dia angkuh. Apalagi kenyataannya dia memang sangat pendiam (belakangan saya tahu, dia sebenarnya agak gagap).

Kenyataan itu pula yang membuat kami tadi hanya saling tersenyum—tidak saling sapa dengan seru seperti orang-orang lain umumnya ketika bertemu seseorang yang dikenal. 

Kesimpulan yang benar, tentang seseorang, butuh kedekatan yang sama benar.

“Tak kenal maka tak paham,” kata pepatah. Tapi kita mungkin sering lupa, hingga lebih suka menggunakan asumsi dan penghakiman. Orang-orang yang kita anggap egois dan angkuh, bisa jadi, orang-orang yang justru penuh kasih... yang sayangnya tidak kita tahu.

Keheningan

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 September 2012.

Menginginkan dan Kehilangan

Suka sekali nonton Wonder Woman 1984, dan melihat perjumpaan kembali Diana dengan Steve. Menyaksikan adegan mereka berdua, rasanya seperti melihat bocah dan mbakyunya. Inti ceritanya juga menggelisahkan; kau menginginkan sesuatu, kau kehilangan sesuatu.

Hidup tampaknya memang pertukaran antara keinginan dan kehilangan, karena kita tidak mungkin mendapatkan semuanya—atau bisa? Entahlah. Yang kutahu memang kita harus memilih; mendapatkan sesuatu, atau kehilangan sesuatu. Karena hidup adalah soal pilihan.

Betapa aneh hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menginginkan sesuatu karena menyukainya, dan seiring dengan itu juga kehilangan sesuatu—entah sadar atau tidak. Dan ketika sadar, kita kembali menginginkan milik kita, dan rela kehilangan sesuatu yang kita suka. 

“Semua ada harganya,” kata Wonder Woman. Dia benar, tentu saja. 

Memilih yang Kedua

Jika diminta memilih antara mengejar cinta atau menghindari luka, aku akan memilih yang kedua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

Saling Ledek Bocah Kaya

“Kamu kaya raya, tapi makannya di warteg!”

“Kamu lebih parah! Duit triliunan tapi makannya mi instan!”

Kecoak Disuruh Opname

Seorang bocah menangkap kecoak, lalu menggunting satu kakinya. Setelah kecoak itu kehilangan satu kaki, si bocah berkata pada kecoak, “Sana, opname!”

Mau Tidur Sore Lagi

Mau tidur sore, biar kayak orang-orang yang tak punya masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ingin Justru

Iya.

 
;