Jumat, 01 Agustus 2025

Takdir Kadang Punya Sisi Gelap

Mungkinkah seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita, dan si wanita juga jatuh cinta kepadanya, tapi si pria memilih tidak menyatakan cintanya? Mungkin saja. Well, kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, dan kita juga tidak tahu apa alasan yang melatari pilihan serta keputusannya.

Kita terbiasa berpikir linier, seolah kehidupan sepasti rumus 1+1=2. Padahal hidup tak selalu begitu, dan keputusan serta pilihan orang per orang kadang memiliki alasan tak terduga. Dua orang yang saling jatuh cinta tak selalu jadi pasangan kekasih, karena takdir kadang punya sisi gelap.

Dalam sebuah percakapan panjang, seorang pria menyatakan bahwa dia memilih tidak menjalin hubungan cinta, dan tak akan pernah menikah apalagi punya anak. Alasannya mungkin mencengangkan, “Aku khawatir akan jadi pasangan yang buruk, yang akan menyakiti pasanganku.”

Dia, sebagaimana yang dikatakannya sendiri, adalah “produk gagal” dari sistem pengasuhan orang tua yang sangat buruk. Dia terluka, trauma, dan semua luka yang dialaminya membentuk pribadinya hingga dewasa. “Aku belum sembuh, dan mungkin tak akan sembuh,” katanya.

Saat mengenang percakapan itu, aku tergoda untuk berpikir bahwa dia psikopat yang menyadari kegelapan dirinya. Dan dia memilih untuk membiarkan kegelapan itu hanya ada pada dirinya, dan tidak ingin mewariskannya ke orang lain (anak yang mungkin dimilikinya).

Aku bertanya apakah dia pernah jatuh cinta, dan dia tersenyum saat menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku memilih untuk memendamnya—kupikir itu lebih baik, bagiku dan bagi dirinya. Aku hanya akan menjadi pasangan yang buruk, dan itu tidak baik bagi kami.”

Jadi, seseorang mungkin jatuh cinta kepadamu, dan kamu tahu. Tapi dia tak pernah menyatakannya kepadamu. Bisa jadi kamu berpikir dia mempermainkanmu. Tetapi, bagaimana kalau ternyata dia tidak menyatakan cintanya justru karena sangat mencintaimu, dan tak ingin kamu terluka?

Kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, selain hanya menebak-nebak. Dan bisa jadi tebakan kita keliru, karena kita terbiasa menggunakan pola pikir kita untuk menilai orang lain. Kita tak pernah tahu isi hati dan pikiran yang disimpan seseorang, karena takdir kadang menikam di kegelapan.

Dalam Hujan

Dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Seorang Pria Melangkah Sendirian

Di tempat makan langganan, saya duduk berhadapan dengan seseorang, membicarakan sesuatu. Ketika sedang asyik ngobrol, muncul seorang pria, sendirian, dan melangkah melewati meja kami. Pria itu melihat saya, dan kami saling tersenyum. Lalu dia menepuk pundak saya dengan ramah, sambil terus melangkah.

Setelah pria tadi berlalu, orang di hadapan saya berbisik, “Kamu kenal dia?” 

Ya, saya kenal pria tadi, karena kebetulan sering ketemu di sebuah panti asuhan. Lalu kami berteman karena sama-sama nyaman saat ngobrol. 

Lalu orang di hadapan saya berkata, “Dia angkuh sekali. Ya, kan?”

Saya balik bertanya kepadanya, “Kamu kenal dia?” 

“Tidak.”

“Kamu pernah menyapanya?” 

Dia kembali menjawab tidak. 

Saya bertanya, “Jadi, bagaimana kamu bisa menyimpulkan dia angkuh sekali?” 

Dia menjawab ragu-ragu, “Kata orang-orang yang mengenalnya.”

“Kata orang-orang yang mengenalnya”. Deskripsi itu sebenarnya meragukan. Karena jika “orang-orang itu” memang mengenalnya, mereka tidak akan punya kesimpulan semacam itu. Orang-orang itu biasanya hanya sekadar “melihat dari kejauhan”, lalu menyimpulkan sendiri.

Kita sering terjebak pada kondisi absurd semacam itu—tidak mengenal seseorang dalam arti sesungguhnya, cuma mengenal (mungkin lebih tepat disebut melihat) seseorang dari kejauhan, lalu menyimpulkan apa yang kita lihat. Dan hasilnya jelas: Kesimpulan salah!

Ada banyak korban jatuh dari “malapraktik kemanusiaan” semacam ini. Kita tidak mengenal Si A, Si B, Si C, dan seterusnya—kita hanya tahu mereka, dan tahu itu pun dari kejauhan, karena nyatanya memang tidak mengenal secara langsung. Lalu gegabah menyimpulkan. 

Kesimpulan yang benar butuh penelitian yang benar. Penelitian yang benar butuh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar butuh kedekatan yang benar. Dan kedekatan yang benar, pertama-tama, butuh pikiran yang netral. 

Saya tidak menyalahkan orang di hadapan saya waktu itu, karena dia serupa dengan jutaan orang lain di luar sana, yang terbiasa menilai orang lain berdasarkan “pengamatan dari jauh”, atau sekadar “katanya begini” atau “katanya begitu”. 

Homo sapiens punya kecenderungan alami; jika melihat seseorang tidak sama seperti dirinya, dia akan merasa tidak aman. Kecenderungan alami itulah yang lalu membuat kita mudah menghakimi orang lain sesuai asumsi kita sendiri—dari “dia angkuh” sampai “dia aneh”.

Jadi, siapakah pria tadi, yang melangkah sendirian dan melewati meja kami? Seperti yang saya sebut tadi, kami saling kenal karena sering ketemu di panti asuhan. Menurut saya—yang telah kenal, sering bertemu, bahkan sering mengobrol secara intens—dia sosok yang baik.

Apa buktinya dia “sosok yang baik”? Puluhan anak yatim di panti asuhan bisa menjadi saksi. Dia membiayai sekolah mereka, memberikan pakaian dan penghidupan yang layak, dan dia melakukannya dengan uang miliknya sendiri, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa publisitas.

Sekilas, sosoknya memang kaku, dengan wajah seperti orang murung. Sikap kaku dan wajah murung itu pula yang mungkin menjadikan banyak orang menilai dia angkuh. Apalagi kenyataannya dia memang sangat pendiam (belakangan saya tahu, dia sebenarnya agak gagap).

Kenyataan itu pula yang membuat kami tadi hanya saling tersenyum—tidak saling sapa dengan seru seperti orang-orang lain umumnya ketika bertemu seseorang yang dikenal. 

Kesimpulan yang benar, tentang seseorang, butuh kedekatan yang sama benar.

“Tak kenal maka tak paham,” kata pepatah. Tapi kita mungkin sering lupa, hingga lebih suka menggunakan asumsi dan penghakiman. Orang-orang yang kita anggap egois dan angkuh, bisa jadi, orang-orang yang justru penuh kasih... yang sayangnya tidak kita tahu.

Keheningan

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 September 2012.

Menginginkan dan Kehilangan

Suka sekali nonton Wonder Woman 1984, dan melihat perjumpaan kembali Diana dengan Steve. Menyaksikan adegan mereka berdua, rasanya seperti melihat bocah dan mbakyunya. Inti ceritanya juga menggelisahkan; kau menginginkan sesuatu, kau kehilangan sesuatu.

Hidup tampaknya memang pertukaran antara keinginan dan kehilangan, karena kita tidak mungkin mendapatkan semuanya—atau bisa? Entahlah. Yang kutahu memang kita harus memilih; mendapatkan sesuatu, atau kehilangan sesuatu. Karena hidup adalah soal pilihan.

Betapa aneh hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menginginkan sesuatu karena menyukainya, dan seiring dengan itu juga kehilangan sesuatu—entah sadar atau tidak. Dan ketika sadar, kita kembali menginginkan milik kita, dan rela kehilangan sesuatu yang kita suka. 

“Semua ada harganya,” kata Wonder Woman. Dia benar, tentu saja. 

Memilih yang Kedua

Jika diminta memilih antara mengejar cinta atau menghindari luka, aku akan memilih yang kedua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

Kecoak Disuruh Opname

Seorang bocah menangkap kecoak, lalu menggunting satu kakinya. Setelah kecoak itu kehilangan satu kaki, si bocah berkata pada kecoak, “Sana, opname!”

Saling Ejek Bocah Kaya

“Kamu kaya raya, tapi makannya di warteg!”

“Kamu lebih parah! Duit triliunan tapi makannya mi instan!”

Mau Tidur Sore Lagi

Mau tidur sore, biar kayak orang-orang yang tak punya masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ingin Justru

Iya.

 
;