Sabtu, 15 September 2012

Penulis, Penerbit, dan Kasus Tak Terbayangkan (1)

Dalam kasus ini, mungkin tidak jelas mana yang benar dan yang salah.
Tetapi, yang jelas, inilah contoh pentingnya kepastian. Ya dan Tidak.
—@noffret


Tweet di atas saya tulis di Twitter pada 7 September 2012, tak lama setelah terkaget-kaget menerima berita terbaru dari milis kepenulisan yang saya ikuti. Ceritanya, dalam milis tersebut, ada penulis kawan kami yang terlibat dalam kasus tak terbayangkan, yang berhubungan dengan penerbit serta penerbitan naskahnya. Untuk memudahkan cerita, kita sebut nama si penulis dengan inisial V.

Cerita itu bermula ketika V mengirimkan naskah ke sebuah penerbit—kita sebut Penerbit A—pada Januari 2012. Sejak menerima naskah dari V hingga tiga bulan kemudian, Penerbit A sama sekali tidak memberitahukan penerimaan naskah itu, baik lewat surat, telepon, ataupun email. Tapi V tidak terlalu merisaukan. Ia percaya Penerbit A adalah penerbit yang baik.

Memasuki empat bulan, V mencoba menghubungi Penerbit A melalui email, menanyakan kabar naskahnya. Email itu tidak dijawab. Satu bulan kemudian—yang berarti lima bulan sejak waktu pengiriman naskah—V kembali menghubungi Penerbit A, kali ini melalui telepon. Penerbit A menerima telepon itu, dan membenarkan kalau mereka telah menerima naskah V lima bulan yang lalu. Namun, hingga saat itu, mereka belum bisa memberikan kepastian.

V masih menunggu. Satu bulan setelah itu—artinya enam bulan sejak pengiriman naskahnya—V kembali menelepon Penerbit A untuk mendapatkan kepastian mengenai naskahnya. Tetapi, lagi-lagi, jawaban dari Penerbit A tetap ngambang seperti sebulan sebelumnya. Mereka tidak memberikan ketegasan atas nasib naskahnya.

Pada waktu itu, V menyatakan pada Penerbit A, “Saya menelepon ini, hanya untuk memastikan keputusan atas naskah saya. Artinya, kalau memang naskah saya tidak bisa diterbitkan—apa pun alasannya—tidak masalah. Namun saya butuh kepastian, agar tidak ngambang seperti ini, juga agar saya tidak ragu jika ingin mengirimkannya ke penerbit lain.”

Penerbit A masih belum juga memberikan jawaban jelas. Bahkan, sejak itu, V merasa seperti dipingpong kesana kemari. Setiap kali ia menelepon kembali untuk menanyakan kabar naskahnya, ia diminta untuk menghubungi si Anu (petugas lain di penerbit itu). Ketika V menghubungi si Anu, dia diminta untuk menghubungi si Itu (petugas yang lainnya lagi). Lalu V menghubungi si Itu, dan lagi-lagi ia dipingpong tanpa kejelasan.

Setelah lelah dan jengkel dipingpong kesana kemari, juga karena sudah enam bulan lebih namun tetap tidak ada kejelasan, V pun mengambil kesimpulan bahwa Penerbit A tidak akan menerbitkan naskahnya. Mungkin, pikir V waktu itu, Penerbit A ingin menyatakan penolakan, namun tidak enak—entah apa pun alasannya.

Karena kesimpulan itu pula, V pun lalu mengirimkan naskahnya ke penerbit lain—kita sebut saja Penerbit B. Satu minggu setelah pengiriman naskah itu, Penerbit B sudah memberikan kepastian pada V bahwa mereka akan menerbitkan naskahnya. Mereka menilai naskah V sangat bagus, dan mereka akan segera menerbitkannya. Penerbit B juga segera mengirimkan MoU (Memorandum of Understanding) untuk penerbitan naskah itu, yang segera ditandatangani oleh V. Satu setengah bulan kemudian (Agustus 2012), naskah milik V itu pun terbit di bawah bendera Penerbit B.

Lalu masalah tak terbayangkan muncul.

Hanya berselang dua minggu sejak naskah itu diterbitkan Penerbit B, tiba-tiba Penerbit A juga menerbitkan naskah milik V. Suatu hari, sebuah paket datang ke alamat V. Ketika dibuka, isinya adalah bukti terbit (10 eksemplar buku yang berasal dari naskah V), plus dua bundel MoU penerbitan yang harus ditandatangani oleh V.

Tentu saja V bingung bukan main. Sebagai penulis, V sangat tahu bahwa sebuah naskah sama yang ditulis oleh penulis yang sama tidak bisa diterbitkan oleh dua penerbit berbeda. Aturan tak tertulis itu telah dipahami bahkan dihafal oleh semua penulis profesional, termasuk V. Tapi sekarang justru hal itulah yang terjadi, di luar bayangannya. Satu naskahnya diterbitkan oleh dua penerbit berbeda, bahkan dalam waktu nyaris bersamaan.

Langkah pertama yang dilakukan V kemudian adalah menelepon Penerbit A, untuk menanyakan hal itu. Penerbit A menjawab bahwa mereka memang berencana menerbitkan naskah milik V, dan sekarang naskah itu telah terbit. Penerbit A juga memberitahu bahwa aturan yang digunakan oleh penerbitan mereka memang seperti itu—menerbitkan naskah si penulis yang telah disetujui untuk diterbitkan, lalu mengirimkan bukti terbitnya beserta MoU yang harus ditandatangani.

Penjelasan itu, tentu saja, membuat V makin kebingungan. Ia bertanya dan menuntut jawaban, mengapa dulu Penerbit A tidak pernah memberikan jawaban yang jelas? V telah mengirimkan email, juga menghubungi langsung via telepon, tapi Penerbit A tidak pernah memberikan kepastian apakah naskahnya diterima atau ditolak, padahal waktunya sudah enam bulan atau setengah tahun—waktu yang sekiranya cukup bagi suatu penerbit untuk memutuskan nasib sebuah naskah.

V juga memberitahu Penerbit A, bahwa karena dulu Penerbit A tidak pernah memberikan kejelasan atau kepastian menyangkut naskahnya, maka V pun berkesimpulan Penerbit A menolak naskahnya. Karena itu pula, V telah mengirimkan naskah itu ke penerbit lain, yang sekarang juga telah menerbitkan naskahnya. Penerbit A berkata, “Anda tidak bisa mengirimkan naskah itu ke penerbit lain, karena naskah itu telah kami terbitkan.”

V menjawab dengan jengkel, “Tapi penerbit Anda tidak pernah memberikan kejelasan atas hal itu hingga enam bulan, bahkan setelah saya mencoba menanyakannya berkali-kali. Juga jangan lupa, saya belum menandatangani MoU penerbitan naskah saya dengan penerbit Anda. Artinya, saya belum memberikan kepastian hukum bahwa saya bersedia menerbitkan naskah saya pada penerbit Anda.”

Lanjut ke sini.

 
;