Minggu, 01 Juni 2025

Buka Bersama Kaum Introver

—Catatan dari Ramadan 2025


Hari kedua Ramadan, Rusli mengirim pesan WhatsApp ke ponsel saya, “Kalau nanti sore aku mengundangmu datang ke rumah untuk buka bersama, kamu mau?”

Saya menjawab, “Ya, aku datang.”

Sore harinya, sekitar pukul 17.00, saya berangkat ke rumah Rusli. Bayangan saya waktu itu, Rusli mengundang beberapa teman kami. Tetapi, ketika sampai di rumah Rusli, saya tidak mendapati siapa pun, selain si tuan rumah.

“Aku berencana mengundang satu orang per hari untuk buka bersama, sampai akhir Ramadan,” Rusli menjelaskan, “dan kamu orang pertama yang kuundang.”

Saya agak tercengang mendengarnya.

Rusli mengajak saya ke samping rumah, tempat kami biasa nyangkruk kalau ketemu. Di tempat itu ada meja, dan di atasnya terdapat aneka jajan di piring. Dari kue lapis, lumpiang, martabak mini, risoles, yang semuanya tampak enak. 

Sambil menunggu maghrib, kami duduk di sana dan bercakap-cakap. Saya bertanya, “Gimana ceritanya, kok kamu punya ide buka bersama yang aneh ini?”

Rusli tersenyum. “Kemarin, pas hari pertama Ramadan, banyak wanita di kampung sini yang jualan jajan, lewat depan rumah. Aku kenal rata-rata mereka, dan aku beli beberapa jajan untuk buka puasa. Sambil menikmati jajan-jajan itu, aku teringat pada ibuku dulu.”

Lalu Rusli menceritakan. Dulu, saat ibunya masih ada, ibu Rusli kerap membeli jajan yang dijual para wanita di kampung mereka. Di tempat Rusli, setiap hari ada beberapa wanita yang keliling kampung, dan mereka selalu mendatangi rumah Rusli, menawarkan dagangan. Setiap hari pula, ibu Rusli membeli dagangan wanita-wanita itu, biasanya secara bergilir. Karena itu, setiap hari selalu ada jajan yang berbeda-beda di rumah Rusli.

Rusli pernah bertanya pada ibunya, kenapa ia rutin membeli jajan dari para wanita itu setiap hari, dan ibunya memberi jawaban tak terduga. Ibu Rusli mengatakan, “Wanita-wanita yang berdagang keliling itu para janda. Suami mereka udah meninggal, dan mereka harus menghidupi anak-anaknya. Karena itu Ibu selalu berusaha membeli dagangan mereka, sebagai upaya kecil membantu para wanita itu, agar mereka nggak kehilangan harapan.”

Penjelasan itu sangat mengejutkan bagi Rusli, karena ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ibu Rusli juga seorang janda, karena ayah Rusli telah meninggal sejak lama. Jadi ibu Rusli tentunya juga tahu bagaimana kehidupan, tantangan, serta perasaan yang dialami para janda yang berjualan keliling itu. 

“Sejak itu,” ujar Rusli pada saya kemudian, “aku jadi punya pandangan berbeda pada wanita-wanita yang sering menawarkan jualannya ke sini. Tadinya aku nggak punya perasaan apa-apa, selain hanya berpikir kalau mereka berjualan. Tapi setelah mendengar penjelasan ibuku, aku menyadari kalau wanita-wanita itu bukan sekadar berjualan—mereka sedang mempertahankan hidupnya, berusaha menghidupi anak-anaknya, dengan upaya yang mereka bisa.”
 
Rusli mengenal wanita-wanita yang berjualan itu, karena memang tinggal di perkampungan yang sama. Ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu, Rusli melanjutkan kebiasaan ibunya; membeli dagangan para wanita yang biasa datang ke rumahnya. 

Dalam perspektif Rusli, para wanita yang berjualan itu bukan sekadar mencari untung yang paling beberapa rupiah, tapi juga mempertahankan harapan bahwa hidup masih layak dijalani, bahwa upaya yang mereka lakukan tidak sia-sia. Karenanya, ketika membeli dagangan para wanita itu, Rusli tidak berpikir bahwa ia sedang membeli dagangan mereka, tapi lebih sebagai semacam upaya menunaikan kewajiban moral pada sesama manusia.

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan itu.

Rusli melanjutkan, “Kemarin, pas beli jajan mereka untuk buka puasa, aku terpikir ingin beli lebih banyak. Masalahnya, aku nggak akan bisa menghabiskannya sendiri. Jadi aku lalu punya ide bikin acara buka bersama yang aneh ini, mengundang satu teman per hari, agar aku bisa terus membeli jajan dari para wanita itu setiap hari. Mereka senang, aku juga senang, dan teman-teman yang kuudang juga semoga ikut senang.”

“Aku senang, Rus,” ujar saya jujur. “Jajan-jajan di meja ini favoritku.”

Ketika azan maghrib terdengar, kami memulai buka puasa dengan teh hangat yang telah siap di meja, lalu menyantap jajan di piring. Seperti yang saya bayangkan, jajan-jajan itu memang enak. Teh hangat, jajan tradisional, dan udud, adalah kombinasi buka puasa yang sangat environmental—apa pun artinya.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00, Rusli menawari untuk keluar cari makan, tapi saya mengatakan, “Aku masih kenyang sekarang, dan biasanya juga cuma makan pas sahur.”

“Yang bener?” 

“Iya,” saya menjawab, “kalau puasa, aku cuma makan satu kali, biasanya kalau udah larut malam, atau pas jam sahur.”

Biasanya, saat buka puasa, saya hanya minum teh hangat, makan jajan, dan udud. Sudah. Setelah itu berangkat ke rumah ortu, karena ikut shalat tarawih di sana, dan pulangnya mampir ke warung untuk makan. Kalau kebetulan belum lapar, saya pulang ke rumah, lalu baru keluar mencari makan setelah tengah malam atau sekitar jam makan sahur. Itu satu-satunya waktu saya makan nasi, dan hanya satu kali itu.

Rusli bertanya, “Emang kamu nggak lapar pas siangnya?”

Saya tersenyum, “Namanya juga puasa, ya pasti lapar, lah!”

Rusli tertawa, “Maksudku, kalau kamu sadar bakal kelaparan karena cuma makan satu kali, kenapa nggak makan dua kali, pas buka dan pas sahur?”

“Jawabannya mungkin terdengar filosofis.”

“Jelasin aja, siapa tahu aku tertarik mengikuti.”

Saya lalu menjelaskan, “Aku mikirnya gini. Puasa itu pembelajaran untuk menahan diri, karena asal kata puasa—shaum—artinya memang menahan diri. Menahan lapar, menahan haus, menahan hasrat ingin udud, dan menahan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sebagai manusia. Di malam hari, aku masih minum teh dalam jumlah banyak, dan masih udud dalam jumlah banyak. Aku cuma mengurangi makan, karena baru itu yang bisa kulakukan. Kenapa ini penting? Karena kalau di bulan puasa aku masih makan dalam jumlah banyak seperti di hari-hari biasa, ya buat apa puasa? Itu kayak cuma memindahkan waktu makan dari siang ke malam, dan esensi puasa jadi hilang.”

Rusli ngikik, tapi kemudian manggut-manggut. “Aku paham sekarang.”

Saya meminum teh di gelas, lalu berkata, “Makanya aku heran campur bingung tiap melihat orang-orang merazia warung-warung yang buka di bulan Ramadan, lalu memarahi orang-orang lain yang nggak puasa. Jika puasa bertujuan menahan diri, itu di mana letak menahan dirinya? Lagian nggak setiap orang Islam juga puasa Ramadan, misal karena lagi haid, atau lagi sakit, atau kebetulan lagi bepergian jauh dan butuh makan di warung.”

Seiring percakapan yang terus mengalir, jajan di piring semakin habis, sementara asbak makin penuh puntung rokok.

Rusli berkata, “Aku baru ingat sekarang. Kamu, kan, punya masalah GERD, ya. Dengan kamu cuma makan satu kali, itu nggak apa-apa selama puasa? Soalnya ada orang yang sampai pingsan bahkan meninggal karena GERD-nya kumat pas puasa.”

“Mungkin daya tahan tubuh atau masalah GERD orang per orang beda-beda, ya,” saya menjawab. “Kalau aku sendiri, selama ada sesuatu yang masuk ke perut, misal jajan kayak gini, terus juga makan nasi pas jam sahur, bisa dibilang nggak ada masalah. Biasanya, GERD-ku kambuh kalau sama sekali nggak ada makanan yang masuk, atau cuma makan sesuatu yang nggak bergizi.”

Saya lalu menceritakan, “Dulu pernah kejadian, pas bulan puasa aku nggak makan apa-apa, karena semalaman terus-terusan hujan. Aku malas keluar. Pas buka puasa, aku cuma minum teh sambil udud. Malam harinya, aku cuma beli siomay yang kebetulan lewat. Besoknya, perutku melilit nggak karuan, GERD-ku kambuh, dan aku merasa mau mati. Aku pergi ke apotek, beli obat, dan terpaksa batalin puasa. Sejak itu aku mengingat-ingat untuk cukup gizi selama puasa, agar kejadian kayak gitu nggak terulang. Yang konyol, aku cerita kejadian itu ke adikku. Terus adikku cerita ke Ibu, dan kayaknya Ibu salah nangkep dan mengira sebulan itu aku nggak puasa. Hahaha...”

“Terus kamu jelasin hal yang sebenarnya ke ibumu?”

“Nggak.”

Rusli heran, “Lhoh, kenapa?”

Sambil tertawa, saya menjawab, “Aku berpuasa untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Jadi kalau ibuku atau siapa pun mengira aku nggak puasa, ya bodo amat, wong itu memang bukan urusan mereka.”

Rusli ikut tertawa, dan menyahut, “Sekarang aku paham arti puasa yang sebenarnya. Hahaha...” 

 
;