Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kemarahan lebih baik daripada kesedihan. Didorong kemarahannya, Mukhtaran Mai mulai bisa menghilangkan kesedihannya. Bukannya melakukan bunuh diri sebagaimana yang ia rencanakan, ia justru datang ke kantor polisi, dan melaporkan tindak perkosaan biadab yang dialaminya.

Sebuah sejarah baru telah dituliskan di Pakistan. Sebelumnya, wanita korban perkosaan akan bunuh diri sebagai jalan keluar. Tapi Mukhtaran Mai memilih untuk tetap melanjutkan hidup. Hukum tak tertulis di Pakistan menyebutkan bahwa wanita tidak punya hak untuk memperjuangkan nasibnya. Tapi Mukhtaran Mai memilih untuk memperjuangkan nasibnya. Kebodohan ini harus diakhiri, pikirnya, dan ia yang akan mengakhirinya.

Di kantor polisi, Mukhtaran Mai melaporkan dan menceritakan semua yang dialaminya. Sementara dia masih menjawab setumpuk pertanyaan polisi, kabar kedatangannya ke sana telah menyebar ke seluruh Meerwala. Kabar itu juga sampai ke telinga Dewan Jirga dan Suku Mastoi yang segera mengeluarkan ancaman. Ketika Mukhtaran Mai keluar dari kantor polisi, tidak ada satu pun tukang ojek yang bersedia mengantarkannya, akibat ketakutan diserang Suku Mastoi.

Kenyataannya, pengaruh Suku Mastoi di sana memang sangat besar. Tidak hanya bagi kalangan masyarakat umum, tetapi juga pada para pejabat. Hanya berselang beberapa hari sejak laporan Mukhtaran Mai ke kepolisian, beberapa orang dari kantor pemerintahan setempat mendatangi rumah Mukhtaran Mai dan meminta wanita itu agar mencabut laporannya. “Ini demi kebaikanmu sendiri,” ujar mereka. “Teruskan saja hidupmu dengan tenang, dan lupakan masalah itu.”

Tapi Mukhtaran Mai tidak sudi melupakan.

Intimidasi terhadap Mukhtaran Mai terus berlangsung, dilakukan secara halus atau pun terang-terangan. Para pemimpin Suku Mastoi mendekati para pejabat di sana, sementara masyarakat dihasut untuk percaya bahwa Mukhtaran Mai bersalah. Celakanya, Ramzan—orang yang dulu dibawa Mukhtaran Mai untuk menjadi mediator di Dewan Jirga—ternyata orang bayaran Suku Mastoi, dan dia juga ikut menghasut masyarakat dengan menyatakan Mukhtaran Mai memang bersalah.

Jika dirunut sejak awal, kasus ini memang penuh rekayasa, yang menunjukkan bagaimana pihak berkuasa memanipulasi hukum seenaknya. Pertama, Abdul Shakoor—adik Mukhtaran Mai—diperkosa empat orang berandal Suku Mastoi. Setelah itu, bukannya melepaskan si korban, mereka memfitnah Abdul Shakoor telah memperkosa wanita dari Suku Mastoi, dan keputusan hukumnya ada di tangan orang-orang Suku Mastoi.

Ketika kemudian Mukhtaran Mai datang ke Dewan Jirga untuk mengurus kasus adiknya, Suku Mastoi telah menyusupkan orangnya, yakni Ramzan, untuk menjadi mediator mereka. Mukhtaran Mai dan ayah serta pamannya adalah orang-orang bodoh yang tidak tahu hukum. Sementara Ramzan yang diharapkan dapat menolong mereka ternyata sesosok iblis yang justru menjerumuskan keluarga Mukhtaran Mai, hingga keputusan biadab pemerkosaan massal terhadapnya dijatuhkan.

Sekarang, ketika Mukhtaran Mai melaporkan kasusnya ke kepolisian, dia membentur dinding keras. Dia melaporkan perkosaan brutal terhadap dirinya, yang merupakan hukuman Dewan Jirga atas kesalahan adiknya. Kepolisian—atas hasutan Suku Mastoi—menilai hukuman itu wajar, sebagai balasan atas perbuatan Abdul Shakoor yang memperkosa wanita dari Suku Mastoi. Dan ketika Mukhtaran Mai menyatakan bahwa Abdul Shakoor tidak memperkosa siapa pun, bahkan adiknyalah yang diperkosa empat berandal, Mukhtaran Mai membentur undang-undang di sana, yakni tidak adanya saksi yang melihat perkosaan terhadap adiknya.

Apa yang harus dilakukan Mukhtaran Mai sekarang...? Ia putus asa. Bersama kemiskinannya, kebodohannya, keterbelakangannya, Mukhtaran Mai adalah korban yang ditikam belati nasib, tepat di jantung kehidupannya, ketika berhadapan dengan sekelompok bangsat yang mengandalkan kekuasaan, manipulasi hukum, dan perlakuan sewenang-wenang.

Tetapi, di titik nadir semacam itu pulalah, sebersit kesadaran tumbuh di hati wanita itu. Mukhtaran Mai menyadari bahwa nasib malangnya terjadi akibat kebodohan dan keterbelakangan masyarakatnya. Ia hidup di lingkungan masyarakat yang belum mampu memahami perlunya menghargai persamaan hak pria-wanita—ia tumbuh di tempat yang menganggap perkosaan, penindasan, dan kesewenang-wenangan, adalah hal biasa.

Semuanya ini berawal dari kebodohan, pikir Mukhtaran Mai dengan hati getir. Ia bukan hanya korban perkosaan, ia juga korban kebodohan, sama seperti banyak wanita lain yang telah bunuh diri akibat kasus yang sama. Kebodohan ini harus diakhiri, pikirnya kemudian. Dan jika memang bobroknya masyarakat ini harus diakhiri, maka dialah yang harus mengakhirinya.

Mukhtaran Mai, wanita miskin dan buta huruf itu, bersumpah akan mengakhiri kebodohan dan keterbelakangan masyarakatnya, apa pun risikonya. Dan jika seorang anak manusia di muka bumi rela mati demi tujuannya, maka langit akan mendukung... dan alam semesta akan berkonspirasi mewujudkan impiannya.

Bersama tekadnya yang membulat, Mukhtaran Mai tidak mau mundur meski ditekan dan diintimidasi oleh berbagai pihak. Menyadari pihak kepolisian kini tidak bisa lagi diharapkan, dia pun pergi ke sana kemari menemui pejabat-pejabat berwenang yang ia harapkan bisa dipercaya, yang diharapkan dapat membantunya. Ia menempuh semua perjalanan itu dengan jalan kaki. Karena tidak punya uang untuk naik angkutan umum, karena tidak ada ojek atau becak yang mau memberikan tumpangan baginya.

Seorang hakim pengadilan bersimpati kepada Mukhtaran Mai, atas kasus yang menimpanya. Hakim itu kemudian mencoba mencari informasi lebih dalam mengenai masalah itu, dan berjanji untuk membantunya. Kelak, Mukhtaran Mai menceritakan bahwa ia percaya hakim itu seorang yang jujur, dan ia mempercayai ketulusannya.

Kabar kegigihan dan perjuangan yang dilakukan Mukhtaran Mai dalam menuntut keadilan sampai ke telinga Nicholas Kristof, seorang jurnalis The New York Times. Nicholas Kristof terbang dari Amerika ke Pakistan, menemui Mukhtaran Mai, dan mewawancarainya panjang lebar. Hasil wawancara itu kemudian ia tulis dalam sebuah artikel menyentuh di halaman New York Times, dan dunia seolah dipaksa untuk melihatnya.

Tulisan di New York Times itu seolah badai yang mengguncang dengan kencang. Bola salju yang telah digulirkan Mukhtaran Mai di negaranya seketika menggelinding dengan cepat, makin lama semakin besar. Pada 3 Juli 2002, BBC mengangkat berita itu dalam laporannya, diikuti majalah Time yang melaporkan kasus tersebut, sementara surat-surat kabar dan jaringan internasional melaporkan perkembangan kasusnya.

Lanjut ke sini.

 
;