Angin menyerbuki bunga tanpa membuatnya layu.
Kupu-kupu menari di antara bunga
tanpa membuat mereka terluka. Itulah cinta.
—@noffret
Kupu-kupu menari di antara bunga
tanpa membuat mereka terluka. Itulah cinta.
—@noffret
Setiap tahun, saat lebaran, salah satu budaya yang biasa dilakukan adalah pemberian angpau kepada anak-anak kecil—umumnya anak keponakan atau anak para famili. Budaya pemberian angpau biasanya sangat lekat bagi keluarga-keluarga besar yang memiliki banyak saudara atau famili. Masing-masing orangtua saling memberi angpau untuk anak-anak saudaranya, atau keponakan-keponakan mereka.
Bertahun-tahun silam, ketika masih anak-anak, saya selalu suka ketika lebaran datang, salah satunya karena angpau. Sebagai anak kecil, saya tentu dimasukkan ke dalam “golongan yang layak mendapat angpau”, dan para famili begitu murah hati membagikan uangnya. Jadi, setahun sekali, saya akan merasa sebagai bocah kaya karena punya cukup banyak uang. Oh, well, tidak ada yang lebih menggembirakan waktu itu, selain memiliki sejumlah uang yang tidak pernah saya miliki di hari-hari lain.
Jadi, bertahun-tahun silam, saya suka lebaran. Karena angpau. Mungkin naif. Namanya saja anak-anak.
Dengan segala kepolosan saya waktu itu, sambil menghitung lembaran uang yang saya terima di hari-hari lebaran, kadang saya membatin dan memikirkan. Mengapa orang-orang dewasa mau memberikan uangnya untuk saya dan untuk anak-anak lain? Apa untungnya buat mereka? Tidak semua famili saya tergolong kaya. Sebagian dari mereka bisa dianggap sama miskinnya dengan keluarga saya. Jadi, kenapa mereka mau memberikan uangnya untuk saya dan anak-anak lain?
Di hari lebaran, orangtua saya juga memberikan angpau untuk anak-anak para famili. Padahal, saya tahu, kadang mereka pelit memberikan uang untuk saya karena memang tidak ada uang. Tapi lebaran tampaknya memang moment istimewa, saat orang-orang miskin yang kekurangan memiliki kelebihan uang, hingga bisa membagi-bagikannya kepada orang lain, khususnya untuk anak-anak kecil. Dengan segala kepolosan sebagai anak-anak, saya hanya bisa memahami sebatas itu.
Bertahun-tahun kemudian, ketika dewasa, saya seperti diingatkan untuk membalas kebaikan yang dulu pernah saya terima ketika masih anak-anak. Setelah bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, tentunya saya tidak lagi dimasukkan ke dalam golongan yang layak mendapat angpau di hari lebaran. Kenyataannya memang tidak ada lagi famili yang memberi angpau untuk saya. Namun, tanpa diberitahu siapa pun, saya mulai menyadari bahwa kinilah saatnya giliran saya untuk memberikan angpau.
Jadi, itulah yang kemudian saya lakukan. Setiap tahun, saya selalu menganggarkan sejumlah dana untuk angpau, yang akan saya bagikan sembari bersilaturrahmi di hari lebaran.
Di lingkaran keluarga besar saya—dari pihak ayah maupun ibu—ada banyak anak kecil, anak-anak keponakan dan para famili, dan saya tahu mereka layak mendapat angpau, sebagaimana saya dulu layak mendapat pemberian orangtua mereka. Saya tidak bisa membalas kebaikan orangtua mereka yang dulu murah hati membagikan angpau untuk saya. Tetapi, saya tahu, saya bisa membalas kebaikan itu dengan memberikan hal yang sama untuk anak-anak mereka.
Anak-anak kecil itu belum lahir ketika dulu saya masih kecil—bahkan orangtua mereka kadang belum menikah. Anak-anak itu tidak tahu bahwa orangtua mereka dulu pernah memberikan angpau untuk saya, bertahun-tahun silam. Mereka tidak tahu bagaimana gembiranya hati saya selama hari-hari lebaran karena mendapat angpau dari orangtuanya. Mereka tidak tahu betapa murah hati orangtua mereka, meski kadang hidup dalam kekurangan. Mereka tidak tahu....
Tetapi saya tahu.
Tetapi saya tahu, kebaikan—sebagaimana kejahatan—adalah lingkaran. Kau menaburkan benih hari ini, dan besok mungkin masih benih. Tapi benih yang hidup akan terus hidup, bahkan ketika dilupakan, dan benih itu akan tumbuh... terus tumbuh... hingga bertahun-tahun kemudian kau mungkin baru ingat pernah menaburkan benih yang kini tumbuh besar. Kebaikan, sebagaimana kejahatan, adalah lingkaran.
Orang tidak bisa melarikan diri dari kejahatan yang pernah dilakukannya, sebagaimana orang tidak bisa keluar dari karunia kebaikan yang pernah diperbuatnya. Langit akan mencatat, dan Bumi menjadi saksi. Manusia boleh melupakannya, tapi alam semesta tak pernah lupa. Seperti dendam kesumat yang haus darah dan menuntut pembalasan, karunia kebaikan memberi ganjaran setimpal meski tangan si pemberi disembunyikan.
Setiap tahun, ketika menyiapkan sejumlah angpau untuk dibagikan buat keponakan dan anak-anak para famili, saya tahu bahwa saat pembalasan telah tiba. Itu pembalasan yang bahkan telah menunggu waktu bertahun-tahun... bertahun-tahun... tapi saat pembalasan selalu datang. Sebagaimana dulu orangtua mereka menciptakan senyum di bibir saya, kini saatnya saya membalas kebaikan itu dengan menerbitkan senyum yang sama untuk anak-anak mereka.
Sebagian keponakan dan anak-anak famili saya masih SD, ada yang sudah SMP, SMA, dan beberapa masih TK. Tapi mereka sama—masih tergolong anak-anak yang layak mendapat angpau. Kenyataannya, saat saya beserta keluarga datang ke rumah mereka dan membagikan angpau untuk anak-anak itu, mereka sangat tampak bersuka cita menerimanya. Khas anak-anak yang mendapat pemberian yang belum tentu mereka terima setiap hari.
Selama bertahun-tahun, saya belum pernah mendapati ada di antara mereka yang menolak pemberian angpau. Meski mungkin orangtuanya tergolong berkecukupan, tapi anak-anak itu selalu tampak senang saat mendapat angpau di hari lebaran. Meski jumlah angpau yang saya berikan mungkin tidak lebih banyak dari yang biasa mereka terima dari orangtuanya, tapi anak-anak itu selalu tampak bersuka cita. Lebaran memberi saya pelajaran, bahwa satu-satunya hal yang tidak pernah bisa ditolak adalah kebaikan.
Dan kebaikan adalah lingkaran. Saat ini, saat mereka menerima kebaikan itu, mungkin mereka bertanya-tanya seperti saya dulu; mengapa saya mau memberikan uang untuk mereka; apa manfaatnya buat saya hingga mau membagi-bagikan angpau untuk mereka. Tetapi kelak, bertahun-tahun yang akan datang, tanpa diberitahu siapa pun, mereka akan tahu, dan menyadari, bahwa kebaikan adalah lingkaran. Sebutir benih yang dilemparkan dan dilupakan, tapi berdenyut dan hidup... hingga waktu menjadikannya tumbuh besar.
Ketika saya dewasa, tidak pernah ada satu orang pun yang pernah memberitahu atau mengingatkan saya bahwa mereka dulu pernah memberikan angpau saat saya masih anak-anak. Tetapi, kau tahu, ingatan paling bersih dan paling murni adalah ingatan anak-anak. Kebaikan yang pasti akan terbalas adalah kebaikan yang diberikan kepada anak-anak, sebagaimana kejahatan yang menghasilkan buah paling mengerikan adalah kejahatan terhadap anak-anak.
Saya masih anak-anak ketika mendapatkan angpau dari mereka, bertahun-tahun lalu. Tetapi dengan segala naluri sebagai anak-anak, saya ingat... dan masih terus mampu mengingat. Tidak hanya mengingat siapa saja yang pernah mengulurkan tangan kebaikannya untuk saya, tetapi juga mengingat bagaimana suka cita saat menerima uluran kebaikan mereka. Jika ada kegembiraan yang tak bisa dilukiskan di dunia ini, salah satunya adalah kegembiraan anak-anak.
Dan kegembiraan itu, seiring bergantinya tahun, menyadarkan saya untuk membalasnya, mengembalikannya, agar seimbang. Ketika dewasa, saya menyadari, saat pembalasan telah tiba. Saya tidak bisa membalas pemberian saudara dan para famili saya, tapi saya bisa membalas kebaikan mereka melalui anak-anaknya.
Maka saya pun meraih tangan-tangan kecil anak-anak itu, membalas sesuatu yang dulu pernah diberikan orangtua mereka kepada saya, dan memekarkan senyum di bibir-bibir mereka.
Menyaksikan senyum suka cita anak-anak itu, saya seperti diingatkan pada senyum saya sendiri, bertahun-tahun lalu. Melihat kegembiraan mereka saat menerima angpau, saya seperti bernostalgia dengan kegembiraan saya sendiri, bertahun-tahun lalu. Kebahagiaan yang mereka rasakan sebesar kebahagiaan yang dulu pernah saya rasakan. Dan menyaksikan orangtua mereka ikut tersenyum melihat kebahagiaan anak-anaknya, tiba-tiba saya menyadari utang telah lunas terbayar...
...meski saya ingin terus membayarnya, setiap tahun, tahun demi tahun.
Kebaikan, sebagaimana kejahatan, adalah lingkaran. Sebutir benih kebaikan yang kecil akan tumbuh, dan mendatangkan balasan abadi tak berkesudahan. Lebaran memberi kesempatan kepada kita untuk mengajarkan pelajaran agung itu kepada anak-anak—jiwa-jiwa murni yang tak pernah melupakan apa pun yang pernah mereka saksikan.