Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kini, kasus Mukhtaran Mai tidak hanya menjadi kasus lokal, tapi telah menjadi masalah nasional, bahkan internasional. Puncaknya, Amnesty Internasional mulai turun tangan, dan LSM-LSM pejuang hak asasi manusia mulai bergerak menuntut keadilan.

Sementara itu, hakim yang sebelumnya telah mencari informasi mengenai kasus Mukhtaran Mai di Pakistan kini mulai membukakan masalah sebenarnya kepada pers lokal, dan menceritakan bagaimana kerja kepolisian di sana yang dinilainya tidak beres dalam menangani kasus tersebut. Tekanan dari pers kemudian membuat Menteri Kehakiman Pakistan berbicara di televisi, dan menyatakan bahwa keputusan Dewan Jirga adalah sebuah tindakan terorisme.

Bola salju itu semakin menggelinding liar, dan makin membesar. Pemerintah Pusat Pakistan segera mengambil langkah serius untuk menangani kasus Mukhtaran Mai. Mereka memerintahkan pihak kepolisian segera menuntaskan kasus itu, dan membawanya ke pengadilan. Hasilnya, delapan orang Suku Mastoi ditangkap dan diinterogasi. Setelah itu, empat belas orang lain juga ditangkap, yaitu mereka yang terlibat di pengadilan sesat yang dulu digelar Dewan Jirga.

Kenyataan itu tentu sangat disyukuri Mukhtaran Mai. Akhirnya perjuangan dan kegigihannya membuahkan hasil. Keparat-keparat yang telah melakukan kejahatan terhadap keluarganya kini telah ditangkap, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara itu, pandangan masyakat kini juga berbalik kepadanya. Jika sebelumnya mereka menilai rendah dan menganggapnya bersalah, kini mereka menjadi pendukungnya. Mereka bahkan menyumbang sejumlah uang dan makanan. Polisi setempat juga menurunkan pasukannya, untuk menjaga keamanan keluarga Mukhtaran Mai.

Kebenaran akhirnya menang, pikir Mukhtaran Mai, menyaksikan segala yang terjadi. Gubernur Punjab meluangkan waktu demi bisa menemuinya, sementara lima belas pejabat pemerintah datang ke rumahnya, dan menjanjikan untuk membantunya mendapatkan keadilan. “Semua yang bersalah akan mendapatkan hukuman setimpal,” janji mereka.

Akhirnya, pada 31 Agustus 2002, pengadilan Pakistan menjatuhkan hukuman mati dan denda kepada para pelaku kejahatan itu. Sebanyak enam orang dijatuhi hukuman mati karena terbukti telah memperkosa Mukhtaran Mai, sementara dua orang lainnya dijatuhi denda sebesar 50.000 rupee karena menjadi anggota Dewan Jirga.

Mukhtaran Mai merasa puas dengan putusan itu. Tapi perjuangannya belum berakhir. Para pengacara terdakwa dan jaksa menyatakan naik banding. Bukan masalah, pikirnya. Setidaknya, kini, ia dapat berjalan dengan kepala tegak di desanya, karena pengadilan telah menyatakan dirinya sebagai pihak yang benar, dan bangsat-bangsat itulah yang bersalah serta terbukti melakukan kejahatan.

Presiden Pervez Musharraf, yang waktu itu memimpin Pakistan, mendengar kasus itu, dan bersimpati atas nasib Mukhtaran Mai. Ia memerintahkan seorang menterinya untuk menemui wanita itu, dan menyerahkan cek senilai 500.000 rupee sebagai tali asih dari pihak pemerintah.

Ketika mendapati tawaran cek itu, Mukhtaran Mai tidak langsung menerimanya. Bagaimana pun, ia telah menghadapi bagaimana kejinya aparat-aparat pemerintah di daerahnya dalam memperlakukan dirinya, hingga ia curiga kalau-kalau cek itu hanyalah cara untuk menyuapnya, agar ia menghentikan perjuangannya. Jadi, ketika disodori cek bernilai besar itu, yang ia lakukan adalah merobek-robeknya hingga menjadi remah-remah kecil.

Sang menteri yang menyerahkan cek kebingungan. “Kenapa kau malah merobek cek itu?” tanyanya.

Mukhtaran Mai menjawab, “Aku tidak ingin cek ini menghentikan perjuanganku.”

“Sebenarnya,” ujar sang menteri, “cek itu disampaikan presiden, dengan maksud untuk membantu membiayai pengacara yang kau sewa untuk kasusmu.”

“Pengacaraku bekerja pro bono—tidak meminta bayaran.”

“Kalau begitu, seharusnya, kau bisa memanfaatkan cek itu untukmu sendiri.”

“Kenapa aku harus menggunakan uang itu untukku sendiri?”

Sang menteri menatap Mukhtaran Mai. “Jadi, apa yang kauinginkan?”

Mukhtaran Mai menyatakan, “Jika presiden memang bermaksud memberiku sumbangan sebesar itu, maka uang sebanyak itu bisa digunakan untuk membangun sekolah, agar anak-anak di sini—khususnya anak-anak perempuan—bisa bersekolah dan mendapatkan pendidikan.”

Niat itu telah lama dipikirkan Mukhtaran Mai. Ia ingin desanya memiliki sekolah. Ia ingin anak-anak di desanya menghabiskan waktu untuk belajar. Ia ingin kebodohan masyarakatnya terkikis habis. Dan itu harus dimulai dengan pendidikan. Dengan adanya sekolah, anak-anak akan tumbuh dengan lebih baik, akan belajar dengan lebih baik, sehingga mereka dapat diharapkan menjadi manusia-manusia yang lebih baik, dan menjalani hidup yang juga lebih baik. 

Mukhtaran Mai telah memahami bahwa masalah utama masyarakatnya adalah kebodohan. Kebodohanlah yang menjadikan kemanusiaan timpang, kaum wanita rela ditindas, orang-orang miskin terus menjadi korban, sementara masyarakat tidak juga sadar. Kebodohanlah yang melembagakan hukum brutal dan ketidakadilan, orang-orang tak bersalah menjadi korban, sementara segelintir keparat memanipulasi hukum dan kekuasaan. Masalah mereka adalah kebodohan. Dan keterbelakangan.

Dalam bayangan Mukhtaran Mai yang sederhana, cara paling mudah melawan kebodohan adalah dengan membangun sebuah sekolah. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia tidak punya uang. Ia juga buta huruf sehingga tidak bisa mengajar. Yang ia tahu hanyalah bahwa kebodohan itu harus diakhiri, entah bagaimana caranya.

Jadi, ketika ditawari cek dengan nilai sangat besar, Mukhtaran Mai seolah melihat jalan keluar. Ia tidak mau menerima cek untuk dirinya sendiri, karena hidup mewah dan foya-foya bukan sesuatu yang ia inginkan. Jika pemerintah memang ingin membantunya, ia ingin bantuan itu diwujudkan dalam bentuk sekolah di desanya.

Pemerintah Pakistan tidak langsung menyetujui keinginan Mukhtaran Mai. Tetapi, yang jelas, akhirnya sebuah sekolah khusus untuk perempuan dibangun di Desa Meerwala, tepat di sebelah rumah Mukhtaran Mai. Bangunannya sangat sederhana, tapi bisa digunakan untuk belajar. Ketika sekolah itu dibangun, anak-anak perempuan di sana segera mendaftarkan diri, termasuk Mukhtaran Mai. Ia masuk kelas, dan ikut belajar, duduk di samping seorang gadis kecil, belajar membaca dan menulis bersama mereka.

Lanjut ke sini.

 
;