Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (4)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nicholas Kristof, jurnalis New York Times, terus memantau perkembangan kasus Mukhtaran Mai, dan ia pun tahu keberadaan sekolah baru itu. Ia datang ke Pakistan dan kembali berbicang-bincang dengan Mukhtaran Mai mengenai sekolah baru di tempatnya. Kristof menuliskan kembali kisah itu di koran tempatnya bekerja, dan kembali menyentakkan kesadaran dunia.

Kisah yang ditulis Kristof menarik perhatian Komisioner Tinggi Kanada di Islamabad, Margaret Hurber. Kanada dan Pakistan telah bekerjasama dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan, sejak 1947. Ketika membaca tulisan Kristof di New York Times, Margaret Hurber datang bersama rombongannya ke Pakistan dan menemui Mukhtaran Mai. Mereka memberikan sumbangan sebesar 2.200.000 rupee, sebagai kontribusi Kanada untuk pembangunan sekolah di sana.

Sejak itu, berbagai sumbangan lain terus mengalir. Para pembaca koran New York Times yang ikut bersimpati pada perjuangan Mukhtaran Mai kemudian mengumpulkan sumbangan yang disalurkan melalui Mercy Corps, suatu organisasi bantuan yang bekerja di Pakistan.

Dengan semua bantuan dan sumbangan itu, sekolah yang semula sangat sederhana bisa diperbaiki. Gedungnya diperluas dengan banyak kelas, dilengkapi perpustakaan dengan jumlah bacaan yang layak, dan para guru yang mengajar juga bisa mendapat gaji yang teratur. Impian terindah Mukhtaran Mai kini terwujud.

Tetapi kisah ini belum selesai.

Berbeda dengan kisah sinetron yang berakhir happy ending dengan sangat mudah, kisah di dunia nyata sering kali tak semudah itu. Banyaknya perhatian dunia internasional yang diarahkan kepada Mukhtaran Mai membuat pemerintah Pakistan gusar. Presiden Musharraf yang semula mendukungnya, kini berbalik menentangnya. Hal itu tidak bisa dipisahkan dari politik. Pakistan, di bawah pemerintahan Musharraf, ingin dikenal sebagai negara yang memiliki ekonomi berkembang. Sementara perhatian internasional terhadap Mukhtaran Mai menjadikan Pakistan dikenal akibat perkosaan barbar.

Yang lebih mengkhawatirkan, Mukhtaran Mai sering diminta tampil di televisi, dan diwawancarai tentang nasib bangsanya. Dengan blak-blakan, Mukhtaran Mai menceritakan semua yang ia tahu, dan dengan sama blak-blakannya ia menyatakan bahwa kasus perkosaan terhadap kaum wanita di Pakistan adalah masalah yang sistemik. Pemerintahnya tidak terlalu mempedulikan kasus semacam itu, karena sudah dianggap hal biasa.

Pemerintah Pakistan, khususnya Musharraf, merasa dipermalukan oleh semua itu. Wajah negara telah dicoreng moreng oleh seorang wanita miskin dan bodoh. Ini harus dihentikan. Wanita itu harus dibungkam.

Presiden Musharraf seperti dipaksa memikirkan hal itu dengan matang. Bagaimana pun, Mukhtaran Mai telah menjadi perhatian internasional. Jika ia salah melangkah, maka nasib pemerintahannya di ujung tanduk. Musharraf tidak bisa memerintahkan polisi-polisi tolol yang sok kuasa untuk menangani kasus ini. Persoalan ini telah menjadi urusan negara. Maka ia pun memerintahkan dinas intelijen untuk turun tangan, agar menyelesaikan masalah itu dengan halus.

Mula-mula, Mukhtaran Mai diminta secara baik-baik, agar mulai tutup mulut dan tidak lagi berkoar-koar di televisi. “Ini menyangkut nasib baik negara kita,” ujar petugas yang menemuinya.

Tetapi Mukhtaran Mai tidak gentar. Ia tetap menerima panggilan wawancara dari televisi dan koran-koran internasional, dan tetap menyuarakan apa yang ingin disuarakannya. Ia memang wanita miskin, bodoh, dan buta huruf. Tetapi jika seorang manusia tahu apa yang ingin disuarakannya, maka dunia harus mendengarkan. Oh, well, dia tidak akan diam. Karena dunia masih akan mendengarkan.

Karena permintaan halus itu tidak dituruti Mukhtaran Mai, Presiden Musharraf pun menggunakan cara lain. Melalui tangan intelijen yang memotong jalur panjang birokrasi, ia memerintahkan semua terdakwa yang dulu telah masuk penjara akibat kasus itu agar dibebaskan. Pembebasan semua penjahat pemerkosa itu akan menjadi tekanan bagi Mukhtaran Mai, dan ia berharap wanita itu mulai menyadari bahwa dia telah berhadapan dengan kekuasaan pemerintah.

Kenyataannya, Mukhtaran Mai memang sangat berduka dan tertekan begitu mengetahui para pemerkosanya kini dibebaskan. Perjuangan dan pengorbanannya yang sangat berat dan panjang kini sia-sia. Ia merasa telah dizalimi oleh penguasa, dan ia terluka.

Yang merasakan hal semacam itu tidak hanya Mukhtaran Mai. Ketika mengetahui para terdakwa perkosaan itu dibebaskan, berbagai LSM dan pers asing marah dan melakukan demonstrasi, serta menuntut agar bajingan-bajingan itu dikembalikan ke penjara. Sementara itu, warga Meerwala yang semula sudah damai dan senang karena anak-anak mereka bisa bersekolah, kini khawatir orang-orang Suku Mastoi akan melakukan pembalasan dan merusak sekolah mereka.

Mukhtaran Mai kemudian pergi menemui Menteri Dalam Negeri untuk mencari dukungan. Ia datang ke sana bersama pengacara dan para pendukungnya—para aktivis pendukung hak asasi manusia—dengan ditemani wartawan dari berbagai belahan dunia.

Pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri tidak menghasilkan solusi yang disepakati. Tidak mau menyerah, Mukhtaran Mai mendatangi Perdana Menteri dan menuntut agar semua terdakwa yang telah dibebaskan ditangkap kembali. Semula, Perdana Menteri menjanjikan akan segera menangkap mereka kembali. Tetapi, Mukhtaran Mai dan para pendukungnya bersumpah tidak akan meninggalkan kantor Perdana Menteri sebelum bajingan-bajingan itu telah terkurung kembali di penjara.

Akhirnya, Perdana Menteri pun memerintahkan kepolisian agar segera menangkap kembali para penjahat itu. Sebelum pulang ke desanya, Mukhtaran Mai menelepon adiknya dan menanyakan hal itu. Adiknya menjawab, ia memang melihat semua terdakwa itu telah ditangkap kembali dari rumahnya.

Presiden Musharraf sakit kepala. Upayanya untuk menghentikan Mukhtaran Mai tidak berhasil seperti yang ia harapkan. Maka ia pun memutuskan untuk mulai bermain kasar. Mengetahui banyak wartawan yang menghubungi Mukhtaran Mai lewat telepon di rumahnya, Musharraf pun memerintahkan bawahannya agar sambungan telepon di rumah wanita itu diputuskan. Dan untuk mencegah Mukhtaran Mai keluar dari Pakistan karena diundang wawancara televisi di luar negeri, Musharraf memerintahkan agar wanita itu dicekal, sementara paspornya dibekukan.

Upaya Masharraf tidak berhenti di situ. Untuk memastikan Mukhtaran Mai benar-benar tidak pergi jauh dari rumahnya, orang-orang dari dinas intelijen disebar di wilayah Meerwala untuk terus memantau semua aktivitas wanita itu, dan memastikan Mukhtaran Mai benar-benar tidak pergi jauh, tidak menemui atau ditemui siapa pun, juga tidak berkomunikasi dengan orang asing mana pun.

Lanjut ke sini.

 
;