Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (5)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Mukhtaran Mai menyadari aktivitasnya kini terus dipantau. Ia tidak bisa dihubungi wartawan luar negeri karena sambungan teleponnya telah diputus, ia tidak bisa pergi kemana-mana karena telah dicekal, ia juga tidak bisa bebas berkomunikasi dengan siapa pun karena orang-orang juga ketakutan jika terlihat bercakap-cakap dengannya.

“Aku memang mencemaskan keselamatanku,” ujar Mukhtaran Mai suatu kali. “Tapi aku tidak akan mundur, dan aku akan terus menyerukan agar pemerintah Pakistan lebih memperhatikan hak-hak perempuan.”

Mengetahui langkah pemerintah Pakistan yang kini mengisolasi Mukhtaran Mai, Nicholas Kristof diam-diam menemuinya, dan secara rahasia memberikan sebuah ponsel dengan sambungan internasional. “Gunakan ini, jika kau ingin menghubungiku,” ujar Kristof.

Mukhtaran Mai sangat berterima kasih atas segala bantuan yang selama ini diberikan jurnalis itu. Dengan suara terbata-bata, ia menyatakan, “Terima kasih, Mr. Kristof. Kau telah banyak menolongku selama ini.”

“Teman-teman baikku biasa memanggilku Nick,” ujar Kristof. “Dan sebaiknya kau juga memanggilku begitu.”

“Kau baik sekali, Nick.”

Melalui ponsel pemberian Kristof, Mukhtaran Mai kini memiliki sarana untuk kembali menyuarakan perjuangannya. Untuk dapat menghubungi Kristof, Mukhtaran Mai harus naik genteng rumahnya demi mendapatkan sinyal, sekaligus bersembunyi dari intaian orang-orang yang terus memantaunya. Sementara itu, di Amerika, Nicholas Kristof tekun mendengarkan suara-suara Mukhtaran Mai, dan menyampaikannya melalui tulisan-tulisannya.

Di masa itu, pemerintahan Musharraf sebenarnya sedang di ujung tanduk. Terlepas dari kasus Mukhtaran Mai, Presiden Musharraf sedang menghadapi berbagai masalah politik di negaranya, sekaligus ancaman kudeta yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Karenanya, untuk mempertahankan kekuasaannya dan mendapatkan dukungan luar negeri, Musharraf benar-benar harus bekerja keras meyakinkan semua pihak bahwa negaranya “baik-baik saja”.

Karenanya pula, dia benar-benar murka ketika mendapati koran New York Times masih menulis kasus Mukhtaran Mai, dan masih bisa mewawancarai wanita itu. Bagaimana koran itu bisa menghubungi Mukhtaran Mai, padahal dia telah diisolasi? Musharraf paham New York Times dibaca secara luas di dunia, dan apa pun yang dimuat koran itu menyangkut Mukhtaran Mai bisa mengancam posisinya.

Menyadari Mukhtaran Mai tidak bisa dibungkam dengan mudah, akhirnya Musharraf pun melakukan upaya terakhir. Ia memerintahkan agen intelijennya untuk menculik Mukhtaran Mai, dan menyembunyikannya di tempat yang tak bisa ditemukan siapa pun, agar wanita itu tak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Ia tidak berani langsung membunuh wanita itu, karena implikasinya akan sangat besar, dan akan menjadi sorotan internasional.

Jadi begitulah. Suatu hari, Mukhtaran Mai diculik sekolompok orang, dan dibawa ke suatu tempat tersembunyi. Sejak itu, tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, tidak ada yang tahu dimana ia berada.

Selang beberapa waktu sejak penculikan Mukhtaran Mai, Menteri Luar Negeri Pakistan berkunjung ke Amerika, untuk bertemu Presiden George W. Bush. Mereka bercakap-cakap di Gedung Putih, dan Menteri Luar Negeri Pakistan membual tentang negaranya yang kini aman, damai, sentosa, dengan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, dengan sistem pemerintahan yang sesuai “Ayat-Ayat Amerika”.

Di akhir pertemuan, dengan disorot kamera berbagai media massa dan televisi, George W. Bush dengan pede memuji Pakistan sebagai negara yang hebat, berkat “kepemimpinan Musharraf yang berani.”

Sementara itu, di sebuah kantor di New York, Nicholas Kristof kebingungan karena tidak bisa menghubungi Mukhtaran Mai seperti biasa. Ponsel wanita itu terus-menerus tidak aktif, padahal hal semacam itu tidak pernah terjadi. Ada yang tidak beres, pikirnya. Maka Kristof kemudian terbang ke Pakistan secara diam-diam, dan mencari tahu apa yang terjadi pada Mukhtaran Mai.

Tidak butuh waktu lama bagi Kristof untuk mengetahui penculikan yang terjadi pada wanita itu. Setelah mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan, Kristof menuliskan penculikan itu dengan bahasa yang provokatif di New York Times—sedemikian provokatif, hingga Presiden Amerika harus merasa malu karena telah memuji Presiden Pakistan.

Ketika George W. Bush membaca berita penculikan Mukhtaran Mai di New York Times, mau tidak mau dia harus menjilat ludahnya sendiri. Pemerintah macam apa yang menculik seorang wanita desa yang lemah? Bush lalu memerintahkan Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleeza Rice, untuk menghubungi Menteri Luar Negeri Pakistan, dan memintanya agar melepaskan Mukhtaran Mai. Sebagai penekanan, ia menyatakan, “Omong-omong, aku ingin bertemu dengannya.”

Mendapat tekanan dari Gedung Putih, Presiden Musharraf tidak punya pilihan lain. Ia memerintahkan agar Mukhtaran Mai dilepaskan. Kepada pers, juru bicara kepresidenan kemudian berdalih bahwa penculikan itu terpaksa dilakukan untuk menjaga keamanan Mukhtaran Mai, dan—jika keadaan sudah memungkinkan—para pejabat Pakistan akan mengawal Mukhtaran Mai untuk berkunjung ke Amerika Serikat.

Pencekalan terhadap Mukhtaran Mai pun dicabut, dan paspornya dikembalikan. Ketika akan berkunjung ke Amerika, Mukhtaran Mai ditekan pemerintahnya agar memberikan pernyataan bahwa pemerintah Pakistan telah melakukan hal-hal baik, dan negeri mereka tidak punya masalah apa pun. Mukhtaran Mai dengan tegas menolak. “Aku akan pergi dengan kemauan sendiri,” ujarnya. Dalam hati, ia menambahkan, “Dan aku akan mengatakan apa pun yang kuinginkan.”

Kedatangan Mukhtaran Mai ke Gedung Putih bak kedatangan selebritas. Ratusan wartawan dan fotografer berdesakan dengan mikrofon dan kamera-kamera mereka, sementara acara itu disiarkan langsung berbagai stasiun televisi. Di Gedung Putih, Mukhtaran Mai bercakap-cakap dengan Presiden Amerika, juga dengan Menteri Luar Negeri Amerika serta Prancis, mendiskusikan masalah internasional, serta beberapa hal menyangkut Pakistan.

Lanjut ke sini.

 
;