Rabu, 06 Agustus 2014

Luka Mengubah Dunia (6)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kisah Mukhtaran Mai telah memberikan inspirasi bagi berjuta-juta wanita di dunia—kisah tentang seorang wanita bodoh dan miskin yang tinggal di desa, tertindas, teraniaya, dan seorang diri melawan kesewenang-wenangan negaranya, hingga kemudian diundang ke Gedung Putih untuk ngobrol dengan Presiden Amerika. Karena kenyataan itu, majalah Glamour pun jatuh cinta kepadanya, dan bermimpi setengah mati untuk bisa menampilkan wanita itu di halaman majalah mereka yang mewah.

Pada 2 November 2005, dengan mencarter pesawat kelas satu, majalah Glamour menjemput Mukhtaran Mai untuk datang ke New York, dalam penganugerahan “Woman of The Year”. Dalam pesta yang gemerlap itu, berbagai tokoh dan selebritas datang, termasuk Laura Bush, istri Presiden George W. Bush. Di acara itu pula, Mukhtaran Mai dikenalkan dengan Brooke Shields, seorang model terkenal yang juga mengaguminya. Omong-omong, Mukhtaran Mai sebelumnya tidak kenal siapa Brooke Shields.

Di akhir acara mewah yang diliput berbagai media itu, Laura Bush didaulat untuk memberikan sambutan atas terpilihnya Mukhtaran Mai sebagai Woman of The Year. Laura Bush menyatakan, “Jangan berpikir ini sekadar dongeng menyentuh hati. Mukhtaran Mai telah membuktikan bahwa seorang wanita mampu mengubah dunia.”

Selama acara itu berlangsung, Mukhtaran Mai menjadi selebritas dunia. Ia tinggal di suite kelas satu di sebuah hotel mewah di Central Park West. Ia menerima banyak wartawan untuk wawancara, dan profil serta wawancara-wawancaranya termuat di banyak media. Bersama segala kemewahan dan fasilitas kelas satu, yang paling dirindukan Mukhtaran Mai adalah rumahnya yang sederhana di desa.

Saat kembali ke Pakistan, banyak pejabat di sana yang menyadari besarnya pengaruh yang dimiliki Mukhtaran Mai sekarang. Apa yang keluar dari mulutnya akan dikutip media, apa yang dikatakannya akan dapat menjatuhkan atau mengangkat seseorang. Menyadari hal itu pula, banyak pejabat berdatangan menemui Mukhtaran Mai, untuk mendapatkan simpati. Jika Mukhtaran Mai punya kesan positif untuk mereka, dan mau menyatakannya di media, maka nasib baik akan mengikuti mereka.

Kepada para pejabat itu, Mukhtaran Mai biasanya berkata, “Di wilayah Pakistan mana Anda bekerja?”

Umumnya, para pejabat itu menjawab mereka bertugas di Islamabad, Lahore, atau Karachi—daerah-daerah perkotaan besar yang sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Karenanya pula, Mukhtaran Mai biasanya akan menyatakan, “Di negara kita, wilayah pinggiranlah yang membutuhkan bantuan. Silakan datang ke desa-desa, dan lakukan pekerjaan Anda.”

Kenyataannya, Mukhtaran Mai menjalani kehidupan dengan prinsip yang sama. Meski banyak pihak yang memintanya agar tinggal di Islamabad atau kota lain yang memiliki fasilitas mewah, ia tetap tinggal di desa. “Tugasku adalah di desaku,” ujarnya. “Di sanalah mereka membutuhkanku, dan di sana pula aku menemukan takdirku.”

Yang dilakukan Mukhtaran Mai, dengan segala perjuangannya, seperti melemparkan kerikil ke dalam sungai. Lemparan itu melahirkan riak kecil yang kemudian menjadi gelombang besar. Sesuatu yang dirintisnya seorang diri kini telah menarik banyak pihak untuk ikut berperan dan membantu. Sekolah di desanya yang semula sangat sederhana kini telah menjadi sekolah layak dengan banyak murid.

Suatu hari, Mukhtaran Mai menghubungi Nicholas Kristof di New York. “Nick,” ujarnya, “akan ada acara kenaikan kelas di sekolahku. Kau mau datang untuk memberikan sambutan untuk mereka?”

Dengan suara yang gembira, Nicholas Kristof menyahut, “Tentu saja aku akan datang!”

Ketika Kristof datang ke Pakistan dan memberikan sambutan di sekolah Mukhtaran Mai di desa Meerwala, ia sangat terharu saat melihat semuanya. Sekolah yang dulu hanya memiliki beberapa murid kini telah menjadi tempat belajar bagi lebih dari seribu murid, dengan guru-guru penuh kasih yang membimbing mereka, dengan para orangtua yang bersuka cita menyaksikan anak-anaknya bersekolah.

Dan perjuangan Mukhtaran Mai belum berhenti. Setelah sekolah yang diimpikannya kini terwujud, setelah anak-anak perempuan di desanya bisa bersekolah, setelah masyarakatnya mau belajar, Mukhtaran Mai terus bekerja keras. Kali ini ia memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Di desa-desa di Pakistan, kawin paksa yang melibatkan anak-anak perempuan di bawah umur biasa terjadi. Kenyataan itu juga terjadi pada anak-anak perempuan yang bersekolah di tempat Mukhtaran Mai. Sering ia mendapati ada murid yang bercerita bahwa ia akan dinikahkan dengan seorang lelaki yang bahkan belum pernah dilihatnya, sementara usia si anak perempuan baru 12 tahun.

Kenyataan itulah yang menyadarkan Mukhtaran Mai bahwa perjuangannya belum selesai. Anak-anak perempuan di desanya masih belum memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan hak yang sangat penting seperti pernikahan. Karena hal itu pulalah, ia kemudian bertekad untuk membuat sekolah lanjutan, agar murid-murid di sekolahnya bisa terus bersekolah sampai ke jenjang lebih tinggi.

Melalui bantuan banyak pihak, impian Mukhtaran Mai kembali diwujudkan. Ia membangun sekolah setingkat SMP, kemudian SMA, hingga anak-anak yang lulus dari sekolah dasar bisa terus melanjutkan pendidikan, agar mereka terus belajar. Melalui sumbangan yang diterimanya, dia berternak sapi yang diambil susunya, dan pendapatan yang diperoleh digunakannya untuk mengembangkan sekolahnya. Ia membeli minibus untuk antar-jemput murid-muridnya, yang juga ia pinjamkan untuk membawa orang ke rumah sakit atau wanita yang akan melahirkan.

Ketika sekolah-sekolah di desanya dianggap dapat berjalan lancar, Mukhtaran Mai kembali membangun sekolah di daerah lain. Daerah yang dipilihnya adalah salah satu tempat kumuh yang banyak dihuni para gangster. Ia tahu, sebagaimana desanya, daerah itu pun termasuk terbelakang akibat kebodohan, akibat orang-orang di sana tidak belajar, karena tidak adanya sekolah.

Saat Mukhtaran Mai memutuskan membangun sekolah di daerah itu, banyak pihak yang mengkhawatirkannya. Namun, kekhawatiran itu rupanya tak terjadi. Alih-alih merampok sekolah yang baru didirikan, para gangster di sana bahkan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Di sela-sela kesibukan itu, Mukhtaran Mai mengisi acara mingguan di televisi Pakistan.

Untuk memenuhi kebutuhan pengajar yang makin banyak, Mukhtaran Mai menerima sukarelawan untuk mengajar di sekolah-sekolahnya, dan menyediakan kamar untuk mereka, serta makan sehari-hari, jika mereka bersedia tinggal beberapa bulan. Dia juga mendirikan kelompok pemberi bantuan, “Mukhtaran Mai Woman’s Welfare Organization”, yang menyediakan layanan hotline 24 jam bagi wanita yang dianiaya. Organisasi itu memiliki klinik resmi yang gratis, perpustakaan umum, dan rumah penampungan bagi korban kekerasan.

Rumah penampungan itu diperlukan. Karena, begitu kemasyhuran Mukhtaran Mai tersebar, wanita-wanita korban kekerasan dari seluruh negeri berdatangan ke sana untuk menemuinya. Mereka datang dengan bus, naik taksi, ojek, ricksaw (becak di Pakistan), atau bahkan berjalan kaki. Sebagian mereka kadang tak punya ongkos, dan Mukhtaran Mai yang membayar ongkos perjalanan mereka.

Lanjut ke sini.

 
;