Omong-omong soal Gaddafi...
Sambil nunggu udud habis.
Gaddafi (nama aslinya Muammar Khadafi) mungkin bukan pahlawan, tapi dia juga tidak sebajingan yang diocehkan Amerika.
Tapi sejarah, seperti kata Napoleon, “ditulis oleh pemenang”. Kita mungkin bisa menyaksikan sejarah Gaddafi secara utuh, tapi tidak bagi anak cucu kita kelak.
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, “assyajar” (syajaratun), yang artinya “pohon”.
Di masa lalu, penggunaan kata sejarah (assyajar) hanya mengacu pada asal usul atau silsilah seseorang. Seiring perkembangan, kata sejarah merujuk pada segala yang lampau, termasuk peristiwa.
Seperti yang dibilang tadi, kita saat ini masih bisa melihat/mempelajari sejarah Gaddafi relatif utuh, karena Gaddafi baru tewas pada Oktober 2011, atau sebelas tahun yang lalu.
Tapi, seperti yang terjadi pada yang lain, sejarah Gaddafi akan terus mengalami erosi dan distorsi.
Karena sejarah [selalu] ditulis oleh pemenang, dan mereka merasa punya hak untuk melakukannya.
Meski kelak pihak yang kalah juga akan menulis sejarah mereka sendiri, kita tahu upaya itu tidak akan terlalu berarti, karena sejarah versi pemenang telah telanjur terdoktrinasi.
Kita bisa melihat contoh ini secara sempurna pada, misalnya, Adolf Hitler dan Mahatma Gandhi.
Kita tidak menyaksikan sosok dan kehidupan mereka, karena kisah mereka telah berlalu puluhan tahun lalu, jauh sebelum kita lahir. Kita hanya mengenal mereka dari buku-buku sejarah.
Dan apa yang kita dapatkan dari buku-buku sejarah? Bahwa Mahatma Gandhi adalah seorang pahlawan, dan bahwa Adolf Hitler adalah seorang bajingan.
Dalam sejarah, kehidupan begitu hitam-putih, dan manusia hanyalah sosok-sosok tak berarti yang bisa dipoles dengan warna apa pun.
Sejarah begitu fasih menulis kejahatan Adolf Hitler, sebagaimana sejarah begitu mulus menulis kemuliaan Mahatma Gandhi.
Adolf Hitler, dalam rekaman sejarah, mewujud sesosok monster yang hanya berisi kejahatan. Dan, di sisi lain, Gandhi mewujud sosok manusia mulia tanpa cela.
Yang tidak pernah atau setidaknya jarang dikatakan sejarah adalah... Gandhi dan Hitler sebenarnya berteman!
Ketika Gandhi memperjuangkan bangsanya dari penjajahan Britania, Hitler mendukung Gandhi, dan mereka kerap berkorespondensi, dan Gandhi menyebut Hitler sebagai “Temanku”.
Lebih jauh, Gandhi bahkan mengatakan, dalam suratnya kepada Hitler, “Saya tidak percaya hal-hal buruk yang dikatakan orang tentang Anda.”
Gandhi bisa melihat Hitler secara utuh, karena dia benar-benar mengenal Hitler, bukan hanya sebagai sosok asing yang sekadar “katanya”.
Adolf Hitler, bagi Gandhi, hanyalah manusia biasa, yang mungkin memiliki keburukan, tapi juga memiliki kebaikan.
Tapi sejarah tak pernah adil, kita tahu, khususnya kepada Hitler. Dan sejarah juga tidak akan adil pada antagonis, termasuk pada Saddam Hussein atau Muammar Gaddafi.
Ini adalah catatan sejarah yang berisi kebaikan-kebaikan Adolf Hitler ketika ia memimpin Jerman—sesuatu yang tidak akan diajarkan guru-guru sejarah mana pun di dunia.
Kalian akan terkejut dan tercengang membaca isinya.
Ketika Adolf Hitler menjadi pemimpin Jerman, dia dicintai rakyat Jerman, dan itu bukan tanpa alasan.
And then, bagaimana dengan Gandhi? Sebenarnya, Gandhi juga bukan orang sempurna. Jika aku harus menulisnya secara jujur dan apa adanya, isinya bisa membuat kalian eneg.
Tetapi, jauh lebih aman menulis kebaikan seorang bajingan, daripada mengungkap keburukan seorang pahlawan.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Oktober 2022.