Tanggal 15 November 2009 sepertinya perlu saya catat sebagai hari penting dalam hidup, karena di hari itu saya mulai menulis di blog ini pertama kali, lalu berlanjut, terus berlanjut, sampai sekarang, hingga tanpa terasa sudah 16 tahun.
Enam belas tahun!
Ketika pertama kali menulis di blog ini, enam belas tahun lalu, saya tidak tahu sampai kapan akan berlangsung. Yang saya tahu, saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan, yaitu sesuatu yang saya cintai; menulis. Seperti yang pernah saya katakan dalam catatan-catatan sebelumnya, saya menulis di blog ini sebagai catatan diary. Jika sebelumnya saya suka menulis diary di buku, sekarang di blog.
Sejak SMP, saya suka menulis diary—benar-benar di buku diary! Pada masa itu ada buku-buku tulis yang dicetak indah, dengan sampul tebal dan ilustrasi menawan, kadang pula ada yang dilengkapi gembok plus kuncinya! Itulah buku diary, sesuatu yang mungkin tidak lagi dikenal anak-anak zaman sekarang. Faktanya, kalau saya masuk ke toko buku dan peralatan kantor (stationery), hampir tidak pernah lagi saya mendapati buku-buku diary di etalase.
Saya suka mengoleksi buku-buku diary yang indah itu, dan suka menulis di dalamnya. Setiap hari. Tentang apa saja. Hal-hal yang saya alami di sekolah, pengalaman bersama teman-teman, atau aktivitas keseharian yang saya lakukan, pikiran-pikiran di kepala, semua saya tulis di buku diary. Rasanya seperti memiliki tempat curhat yang menyenangkan. Saya bisa bercerita apa saja, menulis apa saja, menertawakan diri sendiri, atau kadang menangisi sesuatu, dan buku diary menampung semua itu dalam lembaran-lembarannya.
Kesukaan menulis diary terus berlanjut sampai SMA, hingga kuliah, hingga buku berisi catatan-catatan pribadi itu bertumpuk-tumpuk saking banyaknya.
Lalu zaman internet datang, dan blog lahir ke dunia maya.
Awal ketertarikan saya pada blog adalah saat tahu bahwa blog semacam diary, tapi di internet. Saya pun menengok tumpukan buku-buku diary yang berderet di kamar, dan berpikir, “Mungkin sudah saatnya aku berhenti menulis di buku, dan mulai menulis di internet.” Pikir saya waktu itu, kalau terus menulis diary di buku, tumpukan diary itu akan terus bertambah, sementara kamar saya tidak luas-luas amat.
Jadi, enam belas tahun yang lalu, pada 15 November 2009, saya pun mulai menulis catatan di blog. Pada masa itu internet masih “langka” di kota saya, dan saya menulis catatan-catatan awal blog ini di warnet. Hingga beberapa tahun, catatan-catatan di blog ini saya tulis di warnet, sampai kemudian internet mulai dapat diakses lebih mudah, dan saya bisa menulis catatan-catatan untuk blog ini di rumah. Perpindahan yang membuat saya bisa menulis dengan lebih nyaman!
Di buku maupun di blog, semangat dan tujuan saya menulis diary tetap sama; menuangkan hal-hal yang saya pikirkan, yang saya alami, yang saya rasakan, yang saya gelisahkan, dan yang akan saya baca sendiri! Ya namanya juga diary!
Meski begitu, saya menyadari bahwa kali ini saya menulis diary di internet, dan tidak menutup kemungkinan catatan diary saya akan ditemukan orang-orang lain yang kemudian ikut membacanya. Saya tentu tidak mempermasalahkan hal itu, dan senang kalau ada orang-orang yang ikut membaca catatan saya dan mendapat manfaat dari catatan-catatan yang saya tulis, sekecil apapun manfaat itu.
Tetapi, bagaimana pun, tujuan awal saya menulis di blog ini adalah sebagai diary yang akan saya baca sendiri. Karena itu, prinsip saya dalam ngeblog sederhana, “Jika ada orang lain yang ikut membaca ya silakan, kalau tidak ada yang membaca juga tidak apa-apa.” Karenanya, sejak awal ngeblog, saya sama sekali tidak terbebani dengan jumlah pembaca, tidak terobsesi jadi seleblog (atau selebblog; selebritas di dunia blogger), sekaligus menjadi alasan saya tidak menyediakan kolom komentar di blog. Saya hanya ingin menulis. Untuk saya baca sendiri. Egois, tapi ini diary!
Dan blog yang “egois” ini sekarang telah berusia 16 tahun. Benar-benar keegoisan yang menyebalkan!
Belakangan, saya terpikir untuk juga memasukkan catatan-catatan saya di Twitter (yang sekarang berubah nama jadi X) ke blog ini. Hal itu dilatarbelakangi kejadian mengesalkan yang saya alami. Jadi, di Twitter dulu ada akun yang saya ikuti, dan saya sering memfavoritkan twit-twit akun tersebut. Tapi kemudian akun itu hilang entah ke mana, dan twit-twit bagusnya—yang telah saya simpan di tab favorit—ikut hilang. Saya sangat menyesali hal itu.
Karena kejadian tersebut, saya lalu terpikir, “Apa jadinya kalau akunku, entah bagaimana, tiba-tiba hilang dan tidak dapat diakses?” Meski kekhawatiran itu mungkin terlalu berlebihan, saya jadi terpikir untuk “menyelamatkan” catatan-catatan saya di Twitter dengan cara mentranskripnya ke blog. Catatan-catatan saya di Twitter tentu tidak penting-penting amat, tapi itu bagian dari diri saya. Lagi pula, Twitter telah dianggap diary bagi banyak orang. Jadi apa salahnya kalau saya memindahkan catatan diary di Twitter ke diary di blog?
Well, selama 16 tahun menulis di blog, apa yang saya dapatkan? Kesenangan! Dan kepuasan batin, kalau boleh saya tambahkan. Blog ini adalah tempat saya menulis apa saja, tempat saya bersenang-senang, sekaligus tempat saya terus mengasah kemampuan menulis. Jangan lupa, saya penulis! Sebagai penulis, saya harus terus melatih, mengasah, dan menjaga kemampuan menulis, agar kemampuan itu tidak aus dan hilang.
Dengan terus menulis dari waktu ke waktu—juga mentranskrip catatan-catatan dari Twitter ke blog—saya bisa menilai, introspeksi, mengoreksi tulisan sekaligus diri saya sendiri, memperbaiki kekurangan di sana-sini, agar tulisan—dan semoga juga diri saya—terus lebih baik. Setidaknya ada lebih dari 4.000 catatan di blog ini—tepatnya 4.045 catatan yang terpublikasikan—dan ribuan catatan itu tentunya dapat menjadi pembelajaran, khususnya bagi saya pribadi.
Omong-omong soal itu, tempo hari saya bertemu teman kuliah saat lagi makan mi ayam di warung. Teman kuliah itu bernama Teguh. Kami pun ngobrol, dan Teguh mengatakan dia rutin membaca blog ini. Teguh menyatakan, “Tulisan-tulisanmu yang sekarang tidak sesangar dulu!”
Jadi, zaman kuliah dulu, saya bikin majalah yang seluruh isinya saya tulis sendiri, lalu saya cetak sendiri, dan menjualnya ke mahasiswa di kampus. Majalah itu dibaca ribuan mahasiswa, termasuk Teguh. Yang membuat banyak mahasiswa antusias pada majalah itu [mungkin] karena topik-topiknya kontroversial, dan saya menulisnya secara frontal—sesuatu yang mungkin baru mereka temukan.
Ketika bertemu tempo hari, Teguh membandingkan tulisan-tulisan saya di majalah itu dengan tulisan-tulisan saya sekarang di blog. Menurut Teguh, “Tulisan-tulisanmu sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Sekarang lebih kalem dan lebih santun.”
Saya mengatakan, “Mungkin karena usia, ya. Dulu masih belia, masih meledak-ledak. Sekarang lebih kalem.”
Saya tidak tahu akan sampai kapan menulis di blog. Yang jelas, usia blog ini terus bertambah, begitu pula usia saya. Seiring pikiran semakin matang dan kesadaran terus terasah, saya berharap bisa menulis lebih baik, sekaligus menjadi pribadi yang juga lebih baik.

- Follow Us on Twitter!
- "Join Us on Facebook!
- RSS
Contact