Sabtu, 15 November 2025

16 Tahun Menulis Blog

Tanggal 15 November 2009 sepertinya perlu saya catat sebagai hari penting dalam hidup, karena di hari itu saya mulai menulis di blog ini pertama kali, lalu berlanjut, terus berlanjut, sampai sekarang, hingga tanpa terasa sudah 16 tahun. 

Enam belas tahun! 

Ketika pertama kali menulis di blog ini, enam belas tahun lalu, saya tidak tahu sampai kapan akan berlangsung. Yang saya tahu, saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan, yaitu sesuatu yang saya cintai; menulis. Seperti yang pernah saya katakan dalam catatan-catatan sebelumnya, saya menulis di blog ini sebagai catatan diary. Jika sebelumnya saya suka menulis diary di buku, sekarang di blog.

Sejak SMP, saya suka menulis diary—benar-benar di buku diary! Pada masa itu ada buku-buku tulis yang dicetak indah, dengan sampul tebal dan ilustrasi menawan, kadang pula ada yang dilengkapi gembok plus kuncinya! Itulah buku diary, sesuatu yang mungkin tidak lagi dikenal anak-anak zaman sekarang. Faktanya, kalau saya masuk ke toko buku dan peralatan kantor (stationery), hampir tidak pernah lagi saya mendapati buku-buku diary di etalase.

Saya suka mengoleksi buku-buku diary yang indah itu, dan suka menulis di dalamnya. Setiap hari. Tentang apa saja. Hal-hal yang saya alami di sekolah, pengalaman bersama teman-teman, atau aktivitas keseharian yang saya lakukan, pikiran-pikiran di kepala, semua saya tulis di buku diary. Rasanya seperti memiliki tempat curhat yang menyenangkan. Saya bisa bercerita apa saja, menulis apa saja, menertawakan diri sendiri, atau kadang menangisi sesuatu, dan buku diary menampung semua itu dalam lembaran-lembarannya.

Kesukaan menulis diary terus berlanjut sampai SMA, hingga kuliah, hingga buku berisi catatan-catatan pribadi itu bertumpuk-tumpuk saking banyaknya. 

Lalu zaman internet datang, dan blog lahir ke dunia maya. 

Awal ketertarikan saya pada blog adalah saat tahu bahwa blog semacam diary, tapi di internet. Saya pun menengok tumpukan buku-buku diary yang berderet di kamar, dan berpikir, “Mungkin sudah saatnya aku berhenti menulis di buku, dan mulai menulis di internet.” Pikir saya waktu itu, kalau terus menulis diary di buku, tumpukan diary itu akan terus bertambah, sementara kamar saya tidak luas-luas amat.

Jadi, enam belas tahun yang lalu, pada 15 November 2009, saya pun mulai menulis catatan di blog. Pada masa itu internet masih “langka” di kota saya, dan saya menulis catatan-catatan awal blog ini di warnet. Hingga beberapa tahun, catatan-catatan di blog ini saya tulis di warnet, sampai kemudian internet mulai dapat diakses lebih mudah, dan saya bisa menulis catatan-catatan untuk blog ini di rumah. Perpindahan yang membuat saya bisa menulis dengan lebih nyaman!

Di buku maupun di blog, semangat dan tujuan saya menulis diary tetap sama; menuangkan hal-hal yang saya pikirkan, yang saya alami, yang saya rasakan, yang saya gelisahkan, dan yang akan saya baca sendiri! Ya namanya juga diary!

Meski begitu, saya menyadari bahwa kali ini saya menulis diary di internet, dan tidak menutup kemungkinan catatan diary saya akan ditemukan orang-orang lain yang kemudian ikut membacanya. Saya tentu tidak mempermasalahkan hal itu, dan senang kalau ada orang-orang yang ikut membaca catatan saya dan mendapat manfaat dari catatan-catatan yang saya tulis, sekecil apapun manfaat itu.

Tetapi, bagaimana pun, tujuan awal saya menulis di blog ini adalah sebagai diary yang akan saya baca sendiri. Karena itu, prinsip saya dalam ngeblog sederhana, “Jika ada orang lain yang ikut membaca ya silakan, kalau tidak ada yang membaca juga tidak apa-apa.” Karenanya, sejak awal ngeblog, saya sama sekali tidak terbebani dengan jumlah pembaca, tidak terobsesi jadi seleblog (atau selebblog; selebritas di dunia blogger), sekaligus menjadi alasan saya tidak menyediakan kolom komentar di blog. Saya hanya ingin menulis. Untuk saya baca sendiri. Egois, tapi ini diary!

Dan blog yang “egois” ini sekarang telah berusia 16 tahun. Benar-benar keegoisan yang menyebalkan!

Belakangan, saya terpikir untuk juga memasukkan catatan-catatan saya di Twitter (yang sekarang berubah nama jadi X) ke blog ini. Hal itu dilatarbelakangi kejadian mengesalkan yang saya alami. Jadi, di Twitter dulu ada akun yang saya ikuti, dan saya sering memfavoritkan twit-twit akun tersebut. Tapi kemudian akun itu hilang entah ke mana, dan twit-twit bagusnya—yang telah saya simpan di tab favorit—ikut hilang. Saya sangat menyesali hal itu. 

Karena kejadian tersebut, saya lalu terpikir, “Apa jadinya kalau akunku, entah bagaimana, tiba-tiba hilang dan tidak dapat diakses?” Meski kekhawatiran itu mungkin terlalu berlebihan, saya jadi terpikir untuk “menyelamatkan” catatan-catatan saya di Twitter dengan cara mentranskripnya ke blog. Catatan-catatan saya di Twitter tentu tidak penting-penting amat, tapi itu bagian dari diri saya. Lagi pula, Twitter telah dianggap diary bagi banyak orang. Jadi apa salahnya kalau saya memindahkan catatan diary di Twitter ke diary di blog?

Well, selama 16 tahun menulis di blog, apa yang saya dapatkan? Kesenangan! Dan kepuasan batin, kalau boleh saya tambahkan. Blog ini adalah tempat saya menulis apa saja, tempat saya bersenang-senang, sekaligus tempat saya terus mengasah kemampuan menulis. Jangan lupa, saya penulis! Sebagai penulis, saya harus terus melatih, mengasah, dan menjaga kemampuan menulis, agar kemampuan itu tidak aus dan hilang.  

Dengan terus menulis dari waktu ke waktu—juga mentranskrip catatan-catatan dari Twitter ke blog—saya bisa menilai, introspeksi, mengoreksi tulisan sekaligus diri saya sendiri, memperbaiki kekurangan di sana-sini, agar tulisan—dan semoga juga diri saya—terus lebih baik. Setidaknya ada lebih dari 4.000 catatan di blog ini—tepatnya 4.045 catatan yang terpublikasikan—dan ribuan catatan itu tentunya dapat menjadi pembelajaran, khususnya bagi saya pribadi.

Omong-omong soal itu, tempo hari saya bertemu teman kuliah saat lagi makan mi ayam di warung. Teman kuliah itu bernama Teguh. Kami pun ngobrol, dan Teguh mengatakan dia rutin membaca blog ini. Teguh menyatakan, “Tulisan-tulisanmu yang sekarang tidak sesangar dulu!”

Jadi, zaman kuliah dulu, saya bikin majalah yang seluruh isinya saya tulis sendiri, lalu saya cetak sendiri, dan menjualnya ke mahasiswa di kampus. Majalah itu dibaca ribuan mahasiswa, termasuk Teguh. Yang membuat banyak mahasiswa antusias pada majalah itu [mungkin] karena topik-topiknya kontroversial, dan saya menulisnya secara frontal—sesuatu yang mungkin baru mereka temukan. 

Ketika bertemu tempo hari, Teguh membandingkan tulisan-tulisan saya di majalah itu dengan tulisan-tulisan saya sekarang di blog. Menurut Teguh, “Tulisan-tulisanmu sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Sekarang lebih kalem dan lebih santun.”

Saya mengatakan, “Mungkin karena usia, ya. Dulu masih belia, masih meledak-ledak. Sekarang lebih kalem.”

Saya tidak tahu akan sampai kapan menulis di blog. Yang jelas, usia blog ini terus bertambah, begitu pula usia saya. Seiring pikiran semakin matang dan kesadaran terus terasah, saya berharap bisa menulis lebih baik, sekaligus menjadi pribadi yang juga lebih baik.   

Dunia Ini Penuh Hal-hal Mbuh

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan memikirkan betapa dunia ini penuh hal-hal mbuh.

Salah satu bocah mengagumkan yang pernah ada di planet ini adalah Orontius Finaeus (1494-1555). Dia bocah “mbah-mbuh” yang bahkan bolak-balik masuk penjara. Tapi meski "mbah-mbuh", dia terkenal sebagai ahli matematika, dan mendapat gelar medis dari Universitas Navarre di Paris.

Pada tahun 1519, dia menemukan proyeksi peta, dan memproduksi peta dunia yang sekarang kita pakai. Pada masanya, peta buatan Orontius Finaeus lebih akurat dibanding peta lain pada waktu itu. Sebenarnya bahkan lebih akurat dibanding peta mana pun yang dibuat sampai tahun 1800. 

Pada tahun 1520, dialah orang pertama yang terpikir menggunakan gerhana bulan untuk menentukan garis bujur sebuah tempat. Pada tahun 1531, dia mendapat gelar kehormatan di Collège Royal Paris, seiring aktivitasnya menulis karya ilmiah. Untuk ukuran bocah “mbah-mbuh”, itu prestasi luar biasa. 

Tapi yang paling mencengangkan dari Orontius Finaeus bukan itu. Pada tahun 1532, dia membuat peta Antartika, dan bisa menggambarkan permukaan Antartika yang tertutup es, aliran sungai, pola pengeringannya, dan lain-lain... padahal waktu itu belum ada orang yang pernah ke Antartika! 

Belakangan, ketika manusia modern mulai bisa merambah kawasan Antartika dan memahami tempat itu seutuhnya, mereka makin tercengang. Garis pantai pada peta Antartika yang dihasilkan Orontius Finaeus sekian abad lalu ternyata sama persis seperti peta Antartika modern saat ini.

Pertanyaannya, tentu saja, dari mana Orontius Finaeus bisa tahu dan memahami Antartika, bahkan sampai detailnya, padahal waktu itu belum pernah ada satu orang pun—termasuk dirinya—yang pernah ke sana? Pertanyaan itu masih misteri, hingga kini. 

Dunia memang penuh hal-hal mbuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2019.

Apel dan Jatuh

Adam jatuh gara-gara apel. Newton menemukan gravitasi karena kejatuhan apel. Jobs menggunakan logo apel karena jatuhnya seorang ilmuwan.

"Apel" dan "Jatuh" sepertinya berhubungan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Kangen Mbakyu

Semalam aku tidak bisa tidur, karena kangen mbakyu. Sampai pagi mataku tak bisa dipejamkan, karena terus kangen mbakyu.

Sampai akhirnya aku mengantuk, dan tiba-tiba sadar, aku tidak punya mbakyu.

Lalu aku tertidur.

Semesta Bekerja

Seorang seleb TikTok wanita asal Thailand datang ke showroom batik. Dia memilih banyak item—kain, baju, dan lain-lain—dan meminta daftar harganya. 

Setelah minta izin, dia melakukan live di TikTok, menawarkan aneka batik pada jutaan follower-nya. Lalu “keajaiban” terjadi.

Hanya dalam waktu setengah jam, dia telah menjual banyak item, dengan total pembayaran ke pihak showroom batik senilai Rp800 jutaan. Entah berapa keuntungan yang dia dapat dari penjualan itu—dia memakai mata uang Baht Thailand di TikTok—tapi yang jelas dia tersenyum puas.

Secara sederhana, saya merasa melihat cara dunia bekerja. Kamu lahir dari keluarga kaya, punya kehidupan menarik yang bisa dipamerkan di media sosial, hingga memiliki banyak pengikut. Setelah itu, kamu bisa mendapatkan banyak uang, tanpa harus banyak keringat.

Di waktu yang sama, kamu di semesta lain lahir dari keluarga miskin, punya kehidupan penuh trauma, penderitaan, dan air mata. Kamu harus bangun pagi buta untuk berangkat kerja, lalu pulang malam dengan tubuh letih dan lelah, hanya demi uang tak seberapa.

Biarkan semesta bekerja, kata orang-orang. Bagaimana jika semesta bekerja dengan cara menempatkan si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin? Bagaimana jika semesta bekerja dengan cara tidak adil, tapi kita dipaksa percaya bahwa itulah keadilan takdir?

Harapan

Harapan kadang-kadang melukai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Quem Não Está

E quem decide as coisas aqui sou eu, não é padre, pastor, monge ou pai de santo! Quem não está satisfeito mete o pé, o Paraguai é logo ali.

Entahlah, apapun maksudnya. Tapi aku menyukai artinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Suatu Hari Saya Sadar

Bahwa kehidupan ini sungguh sia-sia jika tidak bisa menikmati kelembutan karamel hitam. 

Perihnya Kebodohan

Kalau kau tidak tahan menanggung lelahnya belajar, kau harus siap menanggung perihnya kebodohan. —Imam Syafii


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Maret 2019.

Berkat

Tidak tahu adalah berkat. Apalagi tahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Februari 2012.

Sabtu, 01 November 2025

Bersyukur Melihat Orang Lain Susah

Di Twitter, dulu pernah ada keributan tentang “cara orang bersyukur”. Kita mungkin masih ingat tweet seseorang yang terkenang penjual jajan di sekolahnya yang dari dulu sampai sekarang tidak berubah, sementara dia telah banyak berubah, dan dia bersyukur atas hal itu. Dia bersyukur karena, seiring bergantinya waktu, dia terus berkembang. Sementara si penjual jajan di sekolahnya dari dulu tetap menjadi penjual jajan.

Secara pribadi, saya memahami, dia tidak bermaksud menghina atau merendahkan si penjual jajan di sekolahnya. Dia hanya memaparkan fakta, dan dari fakta itu dia menemukan cara atau refleksi untuk bersyukur. Menurut saya sebatas itu. Tapi menurut netizen, masalahnya jadi rumit, dan tweet tadi viral serta mendapat banyak tanggapan negatif.

Menurut netizen, dan bisa jadi mereka juga benar, “Kenapa mau bersyukur saja harus melihat kesusahan orang lain?” Maksud mereka, kalau mau bersyukur ya bersyukur saja, tidak usah menggunakan kesusahan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur. 

Jujur saja, itu menampar kesadaran kita.

Sebenarnya, bukan hanya orang tadi yang melakukan hal semacam itu—ada banyak dari kita yang juga menggunakan orang lain [yang posisinya kita anggap lebih rendah] untuk bersyukur. Ini, menurut saya, karena kesalahan didikan yang kita terima sejak kecil. Saya juga menerima didikan semacam itu.

Sedari kecil hingga remaja, khususnya waktu sekolah, hampir bisa dipastikan kita pernah mendengar guru atau orang tua kita mengatakan, kira-kira, “Lihatlah ke bawah, agar kita bersyukur.”

“Lihatlah ke bawah.” Nasihat itu menggiring pikiran kita untuk menemukan dan melihat orang-orang yang nasibnya tidak sebaik kita, sehingga menerbitkan perasaan syukur di hati, karena “merasa lebih baik”.

Nasihat semacam itu memang terkesan logis dan masuk akal. Kalau kebetulan sepatu kita lusuh, misalnya, kita bisa melihat orang lain yang tak punya sepatu. Kalau kebetulan kita tak punya sepatu, kita bisa melihat orang lain yang tak punya kaki. Dan seterusnya, dan seterusnya. Cara berpikir semacam itu memungkinkan kita “merasa lebih baik”, hingga mendorong kita untuk bersyukur.

Di masa kecil dulu, kita menganggap nasihat itu layak diikuti, dan itulah yang kebanyakan kita lakukan. Setiap kali kita merasa susah, kita melihat orang lain yang lebih susah. Setiap kali kita menghadapi masalah dan pusing karenanya, kita berusaha mencari dan menemukan orang lain yang menghadapi masalah lebih besar.

Tapi sekarang kita menyadari, cara bersyukur semacam itu tidak sehat, karena menjadikan kesusahan atau bahkan kemalangan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur. Saya pikir, dengan cara semacam itu, sebenarnya yang kita lakukan bukan bersyukur, tapi sekadar merasa lebih baik, dan perasaan itu membuat kita senang.

Jadi, sebenarnya kita senang saat mendapati ada orang yang lebih malang nasibnya dari kita. Kita senang menemukan orang yang menghadapi masalah lebih besar dari masalah kita. Kita senang melihat orang yang lebih miskin dari kita. Kita senang... bukan bersyukur. 

Kenyataan ini tentu masalah, dan masalah ini dilahirkan oleh didikan dan doktrinasi yang keliru, yang mengarahkan kita untuk “melihat ke bawah”. Bersyukur, mestinya, tidak dengan cara semacam itu.

Berkirim Surat

Jika masa lalu berkirim surat pada hari ini, alamatnya telah berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Januari 2012.

Telur Mata Sapi

Membicarakan telur mata sapi artinya membicarakan telur, bukan sapi. Karena telur mata sapi bukan telur yang terbuat/berasal dari sapi.

Meski terdiri dari tiga suku kata, "telur mata sapi" tidak berhubungan dengan mata dan sapi, tapi murni telur. Itulah konteks.

Bodoh adalah memperdebatkan dari bagian tubuh sapi mana telur mata sapi dibuat. Bahkan sapi pun tidak melakukan hal semacam itu.

Oh ya, tentu saja orang berhak memperdebatkan bahwa telur mata sapi berasal dari tubuh sapi. Tapi aku tak mau buang waktu untuk ikutan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Telur Orak-arik

Telur orak-arik adalah; a) Telur yang diorak-arik, b) Aktivitas mengorak-arik telur, c) Kebebasan yang dipahami dengan kesadaran pada telur.

Masalah kita mungkin terlalu menyederhanakan masalah rumit, dan membuat rumit hal-hal sederhana. Misalnya dengan menyatakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Colekan Lembut

"Entahlah" adalah colekan lembut pengetahuan kepada kebingungan, atau genggaman yang disembunyikan di kegelapan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Perlu Pemberhentian

Saat melangkah di hamparan pasir, kita tak menengok ke belakang untuk melihat jejak yang ditinggalkan. Hidup memang perlu pemberhentian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Kesempitan

Seperti udara yang berkurang, kesempitan mengikis kesadaran perlahan-lahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Tidak Tahu

Tidak tahu adalah berkat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Serpihan yang Kemarin

Pagi adalah saat menata kembali serpihan yang kemarin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

02.30

Jam 02.30, Ma'am, jam 02.30.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Januari 2012.

 
;