Di Twitter, dulu pernah ada keributan tentang “cara orang bersyukur”. Kita mungkin masih ingat tweet seseorang yang terkenang penjual jajan di sekolahnya yang dari dulu sampai sekarang tidak berubah, sementara dia telah banyak berubah, dan dia bersyukur atas hal itu. Dia bersyukur karena, seiring bergantinya waktu, dia terus berkembang. Sementara si penjual jajan di sekolahnya dari dulu tetap menjadi penjual jajan.
Secara pribadi, saya memahami, dia tidak bermaksud menghina atau merendahkan si penjual jajan di sekolahnya. Dia hanya memaparkan fakta, dan dari fakta itu dia menemukan cara atau refleksi untuk bersyukur. Menurut saya sebatas itu. Tapi menurut netizen, masalahnya jadi rumit, dan tweet tadi viral serta mendapat banyak tanggapan negatif.
Menurut netizen, dan bisa jadi mereka juga benar, “Kenapa mau bersyukur saja harus melihat kesusahan orang lain?” Maksud mereka, kalau mau bersyukur ya bersyukur saja, tidak usah menggunakan kesusahan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur.
Jujur saja, itu menampar kesadaran kita.
Sebenarnya, bukan hanya orang tadi yang melakukan hal semacam itu—ada banyak dari kita yang juga menggunakan orang lain [yang posisinya kita anggap lebih rendah] untuk bersyukur. Ini, menurut saya, karena kesalahan didikan yang kita terima sejak kecil. Saya juga menerima didikan semacam itu.
Sedari kecil hingga remaja, khususnya waktu sekolah, hampir bisa dipastikan kita pernah mendengar guru atau orang tua kita mengatakan, kira-kira, “Lihatlah ke bawah, agar kita bersyukur.”
“Lihatlah ke bawah.” Nasihat itu menggiring pikiran kita untuk menemukan dan melihat orang-orang yang nasibnya tidak sebaik kita, sehingga menerbitkan perasaan syukur di hati, karena “merasa lebih baik”.
Nasihat semacam itu memang terkesan logis dan masuk akal. Kalau kebetulan sepatu kita lusuh, misalnya, kita bisa melihat orang lain yang tak punya sepatu. Kalau kebetulan kita tak punya sepatu, kita bisa melihat orang lain yang tak punya kaki. Dan seterusnya, dan seterusnya. Cara berpikir semacam itu memungkinkan kita “merasa lebih baik”, hingga mendorong kita untuk bersyukur.
Di masa kecil dulu, kita menganggap nasihat itu layak diikuti, dan itulah yang kebanyakan kita lakukan. Setiap kali kita merasa susah, kita melihat orang lain yang lebih susah. Setiap kali kita menghadapi masalah dan pusing karenanya, kita berusaha mencari dan menemukan orang lain yang menghadapi masalah lebih besar.
Tapi sekarang kita menyadari, cara bersyukur semacam itu tidak sehat, karena menjadikan kesusahan atau bahkan kemalangan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur. Saya pikir, dengan cara semacam itu, sebenarnya yang kita lakukan bukan bersyukur, tapi sekadar merasa lebih baik, dan perasaan itu membuat kita senang.
Jadi, sebenarnya kita senang saat mendapati ada orang yang lebih malang nasibnya dari kita. Kita senang menemukan orang yang menghadapi masalah lebih besar dari masalah kita. Kita senang melihat orang yang lebih miskin dari kita. Kita senang... bukan bersyukur.
Kenyataan ini tentu masalah, dan masalah ini dilahirkan oleh didikan dan doktrinasi yang keliru, yang mengarahkan kita untuk “melihat ke bawah”. Bersyukur, mestinya, tidak dengan cara semacam itu.
