Pengetahuan adalah mata bagi hasrat dan pemandu bagi jiwa.
—Will Durant
Hal yang paling menyedihkan dari kehidupan sekarang
adalah bahwa sains mengumpulkan pengetahuan lebih cepat
daripada masyarakat mengumpulkan kearifan.
—Isaac Asimov
—Will Durant
Hal yang paling menyedihkan dari kehidupan sekarang
adalah bahwa sains mengumpulkan pengetahuan lebih cepat
daripada masyarakat mengumpulkan kearifan.
—Isaac Asimov
Pada waktu saya berumur 7 tahun, dan nenek saya masih hidup, saya pernah mendapati nenek menasihati ibu saya menyangkut sayur bayam. Jadi, ceritanya, waktu itu ibu saya memasak sayur bayam, dan berencana menghangatkan sayur bayam itu pada malam harinya untuk makan malam. Tentu saja tujuannya agar sayur itu hangat kembali saat dinikmati.
Nah, entah bagaimana ceritanya (saya sudah agak lupa), nenek mengetahui rencana itu, dan kemudian menasihati ibu saya, agar tidak memanaskan atau menghangatkan sayur bayam tersebut. “Dimakan saja dalam keadaan dingin,” ujar nenek waktu itu.
Ketika ibu saya bertanya “kenapa?”, nenek kemudian menjelaskan bahwa menghangatkan kembali sayur bayam itu merupakan sesuatu yang tidak elok atau tidak baik. “Ora ilok,” kata nenek saya yang orang Jawa.
Nenek saya bukan dokter, bukan ilmuwan, bahkan tidak pernah sekolah. Jadi dia mungkin kesulitan untuk dapat menjelaskan sesuatu secara meyakinkan. Bagi nenek, ‘ora ilok’ itu sudah sangat meyakinkan.
Tentu saja penjelasan itu sama sekali tidak akademis, juga terdengar tidak ilmiah. Tetapi untungnya ibu saya menerima penjelasan itu, dan tidak jadi menghangatkan sayur bayam tadi. Jadi, waktu itu kami pun menikmati makan malam dengan sayur bayam yang dingin.
Ketika itu saya masih berusia 7 tahun, dan saya tidak peduli apakah sayur bayam itu hangat, panas, atau dingin—karena saya belum kenal istilah ‘selera makan’. Saya juga tidak peduli apa alasan nenek sehingga melarang ibu saya menghangatkan sayur bayam itu.
Tetapi… empat belas tahun kemudian, ketika saya telah berusia 21 tahun, dan nenek saya telah lama meninggal dunia, saya membaca sebuah buku kesehatan yang ditulis Louis L. Hay, yang menyebutkan bahwa sayuran semacam bayam atau kol mengandung suatu zat yang disebut nitrat. Ketika dipanaskan, zat bernama nitrat itu akan berubah menjadi nitrit—dan zat ini dipercaya sebagai salah satu pencetus kanker.
Jadi, ketika bayam atau kol dibuat sayuran, dan di dalam proses tersebut tentu saja dipanaskan di atas kompor, maka zat nitrat di dalam bayam atau kol itu akan berubah menjadi nitrit—namun dalam kadar yang tidak berbahaya.
Tetapi, jika sayuran tersebut dipanaskan kembali (misalnya dihangatkan seperti yang akan dilakukan ibu saya di atas), maka jumlah zat nitrit tersebut akan semakin banyak, dan mulai membahayakan ketika dikonsumsi. Aturannya, menurut Louis L. Hay, semakin sering bayam dipanaskan, zat nitrit akan semakin terbentuk, dan kadarnya akan semakin berbahaya.
Ketika mendapati fakta itu, saya takjub, dan tiba-tiba saya teringat pada almarhumah nenek saya. Tentu saja penjelasan Louis L. Hay dalam buku itu sangat ilmiah dan akademis, berdasarkan perspektif medis tingkat tinggi, karena dia memang seorang ilmuwan. Tetapi inti penjelasannya sama saja dengan penjelasan nenek saya yang menyatakan bahwa menghangatkan sayur bayam itu ‘ora ilok’.
Louis L. Hay adalah ilmuwan wanita yang buku-buku karyanya dibaca jutaan wanita cerdas di seluruh dunia. Tetapi saya yakin nenek saya tidak pernah membaca bukunya, karena waktu itu bahkan mungkin Louis L. Hay masih ABG, dan belum menulis buku hebat seperti sekarang. Lalu dari mana nenek saya tahu akibat buruk dari sayur bayam yang dihangatkan…?
Sambil menulis catatan ini, saya membayangkan, kalau saja hari ini nenek saya masih hidup, dan saya bisa bertanya kepadanya, “Nek, dari mana Nenek tahu hal itu ora ilok?”
Maka saya membayangkan, nenek saya akan menjawab bahwa pengetahuan itu ia dapatkan dari ibunya. Kemudian, kalau ibu nenek saya masih hidup, dan saya bertanya hal yang sama kepadanya, saya pun membayangkan ia akan menjawab bahwa pengetahuan itu ia dapatkan dari ibunya lagi—dan begitu seterusnya.
Ada warisan pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun, seperti tongkat estafet dari satu tangan ke tangan lain—hingga kemudian didengar oleh generasi kita. Seperti yang saya dengar dari nenek saya, pengetahuan tentang ‘ora ilok’ yang kedengarannya remeh dan sepele serta tidak akademis dan tidak ilmiah itu, juga merupakan pengetahuan yang telah diwariskan secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hanya pengetahuan tentang ‘ora ilok’ saja, ada perjalanan panjang waktu yang telah ditempuh. Dan jika ini ditelusuri hingga ke masa lampau, saya membayangkan bahwa ratusan tahun yang lalu, ada seorang manusia yang ditemukan tewas karena seringnya mengkonsumsi sayur bayam yang dihangatkan. Mungkin waktu itu dunia kedokteran belum mengetahui zat nitrat di dalam sayur bayam, tapi fakta bahwa ada orang tewas karena hal itu telah menjadikan sayur bayam yang dihangatkan sebagai hal yang ‘ora ilok’.
Hanya percaya bahwa menghangatkan sayur bayam ‘ora ilok’ saja, ada ribuan orang yang selamat. Padahal mereka sama sekali tidak tahu secara pasti apa yang menyebabkan orang tewas karena sering mengkonsumsi sayur bayam yang dihangatkan. Mereka hanya percaya bahwa itu ‘ora ilok’, dan mereka tidak menuntut jawaban yang ilmiah atau penjelasan yang terdengar akademis. Hanya karena mereka percaya, mereka selamat.
Nah, kalau umpama sekarang saya menemui Louis L. Hay, dan bertanya kepadanya, “Miss Louis, bisakah Anda menjelaskan konstruksi teori Anda mengenai zat nitrat dalam bayam, sehingga Anda menyarankan agar orang tidak menghangatkan sayur bayam?”
Maka saya membayangkan, Louis L. Hay akan memaparkan penjelasan ‘tingkat tinggi’ yang terdengar sangat ilmiah dan akademis, tentang hipotesis dan penelitian-penelitian yang dilakukan para dokter pendahulunya, yang sekian puluh tahun lalu menemukan kasus orang tewas karena terserang kanker, dan kemudian berdasarkan penelitian medis yang panjang dan melelahkan, diketahui bahwa kanker itu ditimbulkan suatu zat bernama nitrit, yang merupakan mutasi zat bernama nitrat, yang terdapat dalam bayam, dan hal itu terjadi karena bayam tersebut dijadikan sayur yang sering dikonsumsi orang itu dengan cara dihangatkan… dan bla-bla-bla…
Intinya sama.
Penjelasan Louis L. Hay yang sangat rumit, dan penjelasan nenek saya yang cuma ‘ora ilok’ memiliki esensi yang sama. Louis L. Hay—dan para ilmuwan lain—mendapatkan fakta itu sebagai pengetahuan empiris yang didasarkan pada penelitian ilmiah, sedangkan nenek saya—dan para nenek lain—mendapatkan fakta itu sebagai keyakinan positif yang didasarkan kepercayaan pada para pendahulunya.
Nenek saya bukan dokter, bukan ilmuwan, bukan pakar kesehatan, sama seperti jutaan nenek sederhana lain di dunia ini. Tetapi, hari ini, tiba-tiba saya menyadari bahwa nenek saya tidak kalah hebat dibanding wanita hebat semacam Louis L. Hay yang sangat saya kagumi dan hormati.
Nah, omong-omong soal nenek, tadi sore saya juga mendapatkan pengalaman penting tentang seorang nenek.
Ceritanya, bocah lelaki tetangga saya menjemur pakaian di loteng rumahnya yang tidak beratap. Menjelang maghrib, nenek si bocah lelaki mendapati pakaian itu masih terdapat di tambang jemuran, dan dia panik bukan kepalang. Karena sudah tua, si nenek tidak bisa naik ke loteng yang tinggi itu untuk mengambil jemuran. Jadi dia pun berteriak memanggil-manggil cucunya (si bocah lelaki) agar segera mengambil semua jemurannya.
Si bocah lelaki menemui neneknya, dan menjawab dengan ogah-ogahan, “Lhah, Nek, apa salahnya sih kalau jemuran nggak diambil?”
Dan si nenek menjawab dengan jawaban khas nenek sederhana lain—sama seperti jawaban almarhumah nenek saya dulu, “Itu ora ilok…!”
Si bocah lelaki tertawa—menertawakan neneknya. Sementara si nenek terlihat semakin panik. Nah, kebetulan waktu itu saya sedang duduk di teras rumah. Jadi, saya pun berkata pada si bocah lelaki, “Hei, pal, percaya deh sama nenekmu! Ambil tuh, jemurannya!”
Saya percaya, nenek tetangga saya itu sama hebatnya dengan almarhumah nenek saya.
Hari ini, saya belum tahu ‘mengapa’ jemuran pakaian harus segera diambil bila hari telah sore. Tetapi, saya percaya bahwa itu ‘ora ilok’, dan saya selalu berusaha, bagaimana pun caranya, untuk selalu mengambil pakaian saya dari jemuran ketika senja telah tiba. Mungkin… bertahun-tahun mendatang saya baru tahu jawabannya.