Senin, 02 Januari 2012

Cowok-cowok Idiot (2)

Akhirnya saya menyadari, kalau belakangan ini tulisan-tulisan saya terkesan berat terus—seperti yang diproteskan sebagian kalian. So, posting kali ini sengaja saya tulis untuk hiburan. Semoga kalian suka. :D

***

Di ujung komplek yang ditinggali Jonah, ada tetangga baru—keluarga Pak Usman. Jonah tidak bermasalah dengan keluarga Pak Usman yang baru tersebut. Cuma, yang jadi masalah, Pak Usman punya seekor burung kakatua yang diletakkan di teras rumah. Nah, setiap pagi, kalau Jonah sedang berjalan ke luar kompleknya saat akan kuliah, si kakatua itu akan menyapa Jonah dengan kata-kata yang sungguh biadab.

“Hei, Cowok...” begitu sapa kakatua itu. Kemudian, si kakatua akan melanjutkan, “Kamu bener-bener jelek! Nggak gaul! Nggak funky! Aneh, dan pasti sinting...!!!”

Pertama kali mendengar celoteh yang tak beradab itu, Jonah cuma kaget. Kedua kalinya, Jonah nyengir. Ketiga kalinya, Jonah ketawa. Keempat kalinya, Jonah mencoba memaklumi kalau itu burung. Kelima kalinya, Jonah mencoba berbesar hati. Keenam kalinya, Jonah mencoba bersabar. Ketujuh kalinya, Jonah mencoba mengikhlaskan. Tetapi kesejuta kalinya, Jonah merasa tidak tahan lagi.

Yang paling membuat Jonah dongkol, burung kakatua itu hanya menyapa seperti itu kepadanya. Pada orang-orang lain yang lewat, kakatua itu hanya diam, atau berceloteh sendiri.

Karena dongkol dan merasa diejek terus-menerus setiap hari, Jonah kemudian mendatangi Pak Usman, pemilik burung itu, dan memintanya untuk mengajari si burung agar tahu sopan-santun dan sedikit tata krama.

Pak Usman, yang merasa orang baru di komplek itu, menerima Jonah dengan senyum ramah, dan menjanjikan untuk ‘menasihati’ si burung agar lebih bisa menjaga ucapannya.

Keesokan harinya, saat akan kuliah, Jonah kembali berjalan melewati depan rumah Pak Usman, dan burung kakatua itu juga telah nangkring di sana seperti biasa.

Kali ini, si kakatua menyapa Jonah dengan manis, “Hei, Cowok...” Setelah diam sejenak, kakatua itu melanjutkan, “Ah, kamu udah tahu kata-kata selanjutnya, kan...?”

***

Dosen yang mengajar di kelas pagi itu benar-benar marah ketika melihat Abigail terlambat lagi. Itu keterlambatan Abigail yang keempat kali. Karenanya, begitu melihat jasad Abigail memasuki kelas dengan tampang tak berdosa, sang dosen pun tak sanggup lagi menahan hawa nafsu amarahnya.

“Saya menghitung sudah empat kali kamu terlambat masuk mata kuliah saya!” sembur si dosen. “Kamu kan tahu kontrak belajar kita—setiap mahasiswa dilarang terlambat masuk kelas! Tapi kamu sudah melakukannya sampai empat kali. Dulu kamu bilang mobilmu mogok, jadi kamu terlambat. Lalu beralasan tak mendapat bus hingga terlambat lagi. Kemarin kamu bilang jalanan macet, dan terlambat lagi! Sekarang mau pakai alasan apa lagi...???”

“Mmm... begini, Pak,” sahut Abigail dengan tampang innocent. “Saya tuh tadi nggak bawa mobil, karena takut mogok lagi. Saya juga takut ketinggalan bus lagi, jadi saya nggak naik bus. Dan... hmm... saya juga takut jalan yang biasa saya lewati macet lagi. Makanya saya lalu jalan kaki, dan mengambil arah jalan yang lain. Nggak tahunya saya malah nyasar sampai jauh...”

***

Di kelas, sang dosen tengah asyik membicarakan perkembangan teknologi dewasa ini dengan gaya berapi-api, sementara para mahasiswa tampak terkantuk-kantuk di kursinya masing-masing.

Karena merasakan suasana kelas terlalu hening, sang dosen kemudian mencoba bertanya pada salah satu mahasiswa untuk membuat suasana kelas agar tak terlalu sunyi.

“Valent,” katanya menunjuk salah satu mahasiswa yang terlihat hampir lelap di kursinya, “coba berikan contoh kasus yang bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang disebut loncatan atau lompatan teknologi.”

Mendengar pertanyaannya saja, Valentino merasa ingin pingsan. Tapi ia harus menjawab. Karenanya, ia mencoba mencari sesuatu yang bisa dikatakannya. “Hmm... mesin ketik, komputer, dan internet!” jawabnya kemudian.

“Tepat sekali!” puji sang dosen sambil mengangguk-angguk senang. “Nah, sekarang terangkan alasannya, biar teman-temanmu mengetahui mengapa ketiga hal yang kamu sebutkan itu bisa dianggap lompatan teknologi di zaman ini.”

Valentino menggaruk-garuk kepalanya, kemudian berkata dengan gugup, “Itulah masalahnya, Pak. Saya juga bingung. Bagaimana mungkin mesin ketik kok bisa melompat? Memangnya kodok...?”

***

Jarang ada mahasiswa yang suka Pak Bono, salah satu dosen di kampus mereka yang terkenal killer dan berkepala botak depan-belakang. Karenanya, setiap kali Pak Bono mengajar, lebih banyak mahasiswa yang mendiskusikan botaknya itu daripada mendengarkan ceramah kuliahnya. Seperti hari itu....

“Menurut orang-orang,” bisik Abigail pada Jonah di depannya, “botak di depan itu artinya tukang mikir. Kalau botak di belakang, artinya orang pintar. Nah, Pak Bono kan botak depan-belakang. Menurutmu, apa artinya itu, Jo?”

“Artinya dia pikir dia pintar!” sahut Jonah.

***

Seperti biasa, kalau Pak Bono belum masuk ruangan, kelas ramainya seperti kandang bebek dicampur pasar ayam. Tapi begitu si dosen killer itu masuk, kelas pun jadi sepi seperti kuburan angker digabung makam pahlawan.

Ketika melihat Pak Bono mulai masuk kelas dan duduk di kursinya, Jonah dan kawan-kawan sekelasnya pun buru-buru menduduki kursinya masing-masing, dan berusaha diam. Tapi seperti biasa, beberapa mahasiswa terlihat kasak-kusuk dengan teman-teman di samping dan di depannya.

“Ssst, dosen kita hari ini tampangnya kayak onta, ya?” bisik Jonah.

Valentino yang dibisiki itu langsung senyum-senyum, dan menyahut, “Kalau menurutku sih kayak kuda nil.”

Dari arah belakang, Abigail menyahut, “Kalau menurutku nih, hari ini tuh dosen kayak badak!”

Tiba-tiba si dosen killer bangkit dari duduknya, dan menatap para mahasiswa dengan tampang seangker kuburan paling angker.

Karena merasa bersalah, dan karena yakin si dosen telah mendengar kasak-kusuk mereka, Jonah segera saja menyatakan, “Bukan saya, Pak. Sungguh! Palatino tadi yang bilang...!”

“Bukan, Pak!” sahut Valentino. “Jonah dulu yang mulai.”

“Jangan percaya, Pak!” timpal Jonah. “Palatino sama Abigail duluan yang mulai, terus saya terpengaruh!”

Si dosen killer menatap mereka tanpa berkedip, kemudian berteriak, “Saya tidak mau tahu! Saya cuma mau tanya, siapa yang telah menaruh permen karet di kursi saya...???”

***

Ketika acara kuliah tengah berlangsung, Jonah terlihat asyik bermain-main sendiri dengan sesuatu di jari-jarinya. Valentino yang duduk di sebelahnya jadi tertarik, dan berbisik pada Jonah.

“Jo, apa sih yang kamu pilin-pilin itu?”

“Nggak tahu nih, Pal,” sahut Jonah. “Kalau dilihat bentuknya sih kayak plastik, tapi kalau dipegang kok rasanya seperti karet.”

“Coba lihat.”

Jonah pun memberikan benda aneh itu, dan Valentino memperhatikannya.

“Seperti plastik, kan?” tanya Jonah. “Coba dipilin...”

“Iya Jo, bener,” ujar Valentino sambil memain-mainkan benda itu di jarinya. “Kok aneh sekali ya, Jo? Benda apa ini sebenarnya...?”

Bisik-bisik dua bocah itu terdengar oleh dosen yang tengah mengajar di depan kelas. Sang dosen segera saja menghentikan kuliahnya, dan menatap ke arah Jonah dan Valentino.

“Apa yang sedang kalian lakukan...?!” tanya sang dosen.

“Ng... ini, Pak,” sahut Valentino. “Jonah menemukan sesuatu yang aneh...”

“Sesuatu yang aneh apa?” Sang dosen jadi tertarik. Ia lalu melangkah menuju tempat duduk Jonah dan Valentino.

“Coba lihat nih,” kata Valentino sambil memperlihatkan sesuatu di tangannya pada sang dosen.

“Apa itu, Val?”

“Ya itulah, Pak,” sahut Valentino. “Sejak tadi kami sedang mempelajari benda apakah ini.”

“Coba lihat,” pinta sang dosen. Valentino pun memberikan benda di tangannya, dan kini sang dosen tampak mempelajarinya.

“Kalau dilihat, bentuknya seperti plastik, Pak,” kata Valentino menerangkan. “Tapi kalau dipilin, rasanya kok seperti karet. Coba dipilin, Pak...”

Sang dosen pun melakukannya. “Benar, ya...” ucapnya kemudian dengan heran. “Siapa tadi yang menemukannya?”

“Jonah, Pak,” sahut Valentino dengan nada membanggakan kawannya.

Sang dosen pun berpaling ke arah Jonah dan bertanya, “Jo, dari mana kamu bisa mendapatkan benda yang aneh seperti ini?”

“Ngg... dari hidung, Pak.”


Kisah-kisah lain tentang mereka bisa dibaca di sini.

 
;