Rabu, 18 Maret 2015

Dari Penulis kepada Editor (5)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Selain pada tulisan tersebut, masih banyak tulisan Goenawan Mohamad yang juga menggunakan “dan” di awal kalimat, namun tidak diikuti atau dibubuhi koma. Omong-omong, saya telah mengkhatamkan semua tulisan Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan Catatan Pinggir, dari jilid 1 sampai jilid 10, sehingga saya tahu pasti mengenai hal ini.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Begitu pula tulisan-tulisan AS Laksana. Jika kita cermati tulisan-tulisannya, kita juga akan mendapati banyak “dan” di awal kalimat yang sama sekali tidak diikuti koma. Saya sengaja menggunakan contoh Goenawan Mohamad dan AS Laksana di sini, agar tidak terkesan main-main. Semua orang tahu siapa Goenawan Mohamad, dan semua orang tahu siapa AS Laksana. Mereka bukan cuma penulis yang telah memiliki pengalaman panjang mengakar dalam jurnalisme, tetapi juga telah dianggap guru menulis yang dihormati.

Karenanya, sebagai penulis, saya benar-benar heran ketika mendapati ada editor yang ngotot harus membubuhkan koma pada “dan” di awal kalimat. Padahal, berdasarkan pembelajaran saya pada tulisan-tulisan para penulis yang saya anggap “guru”, kenyataan sebaliknyalah yang terjadi. Bahwa “dan” di awal kalimat tidak harus diikuti koma!


Ilmiah murni dan ilmiah populer

Masih soal “dan” di awal kalimat, kadang ada editor yang melarang dengan tegas. Editor semacam itu biasanya memegang prinsip bahwa “dan” adalah kata hubung, sehingga tidak boleh diletakkan di awal kalimat. Karenanya, jika mendapati “dan” di awal kalimat, dia akan menghapus atau menghilangkannya.

Di satu sisi, maksud editor itu benar. Dalam penulisan karya ilmiah murni—semisal skripsi, tesis, atau disertasi—sistem dan struktur tulisan memang harus benar-benar ilmiah, lengkap dengan aneka footnote. Dengan kata lain, ketika menulis karya ilmiah murni, kita memang harus benar-benar mematuhi semua aturan (termasuk aturan penulisan) secara kaku. Tetapi jangan lupa, naskah (dalam hal ini naskah buku), adalah karya ilmiah populer, bukan ilmiah murni.

Apa artinya itu?

Artinya, fellas, kita memang harus menulis naskah sesuai kaidah dan aturan yang baku, tetapi tidak perlu terlalu kaku!

Dalam karya ilmiah murni, “dan” atau “yang”—sebagai misal—tidak boleh diletakkan di awal kalimat. Aturan semacam itu memang relevan diterapkan pada karya semacam skripsi atau disertasi. Tetapi penulisan naskah tidak harus sekaku itu. Naskah buku—bahkan naskah artikel untuk koran atau majalah—adalah karya ilmiah populer, yang ditulis secara populer. Karena itu pula, dalam penulisan karya ilmiah populer dikenal istilah “gaya menulis”, sesuatu yang tidak dikenal dalam tulisan ilmiah murni.

Cobalah masuk ke kampus mana pun, dan baca skripsi mahasiswa kampus itu yang terkumpul di perpustakaan. Dari ribuan skripsi yang ada di sana, kita akan mendapati bentuk yang sama, sistematika yang sama, struktur yang sama, bahkan model tulisan yang sama. Padahal ribuan skripsi itu ditulis ribuan orang berbeda, yang memiliki identitas dan jati diri berbeda. Apa artinya itu? Karya ilmiah murni tidak mengenal gaya menulis! Tak peduli siapa pun penulisnya, tak peduli apa pun tema yang ditulis, semua karya ilmiah murni memiliki bentuk dan struktur yang sama!

Kenyataan itu tentu berbeda dengan karya ilmiah populer, yang salah satunya berbentuk naskah buku. Karena karya ilmiah populer, masing-masing penulis memiliki ruang yang lebih luas (tidak kaku) untuk mengeksplorasi gaya tulisannya. Selama tulisannya bisa dipahami, tidak bertele-tele, dan mematuhi kaidah berbahasa yang baik, penulis dapat memasukkan gayanya sendiri. Dari situ pulalah yang membedakan antara karya ilmiah murni dan karya ilmiah populer. Yang satu baku dan kaku, sedang satunya lagi baku namun tidak kaku.

Termasuk dalam penggunaan “dan” di awal kalimat. Meski hal itu bisa dibilang “sangat haram” jika ada dalam karya ilmiah murni, namun “tidak terlalu haram” bila digunakan dalam karya ilmiah populer. Jika seorang penulis menemukan suatu kreasi kalimat menggunakan “dan” di awal kalimat, editor tidak perlu kebakaran jenggot. Ingatlah selalu, editor naskah buku bukan dosen pembimbing skripsi atau supervisor disertasi!

Untuk hal ini, kita bisa mengambil contoh tulisan Djenar Maesa Ayu, yang dimuat dalam majalah Rolling Stone, edisi Juni 2013. Di majalah itu, Djenar menulis artikel berjudul “Soundwaves: Mengapung Pulang Bersama Float”. Paragraf-paragraf terakhir artikel itu menunjukkan kreasi pribadi Djenar sebagai penulis, dalam menggunakan kata “dan”. Berikut ini saya kutip paragraf-paragraf tersebut sesuai aslinya:

Terus jauh mengapung di keping-keping CD yang akan mereka distribusikan sendiri dari satu kafe ke kafe. Dan lalu. Dari satu bistro ke bistro. Dan lalu. Dari satu mulut ke mulut. Dan lalu. Dari satu tangan ke tangan. Dan lalu. Dari satu cinta ke cinta.

“Dan lalu...sekitarku tak mungkin lagi kini meringankan lara/Bawa aku pulang, rindu/Segera!”

Dan lalu, semoga satu saat nanti kita sadar bahwa sebenarnya manusia merindukan rumah yang tidak hanya didirikan oleh angka, semen dan batu bata, demi berteduh raga. Tapi juga rumah peristirahatan jiwa.


Kita sepakat, kalimat-kalimat itu sangat bagus, bahkan indah. Meski begitu, jika dimasukkan ke dalam bab skripsi, kalimat semacam itu akan dicoret oleh dosen pembimbing. Dalam penulisan karya ilmiah murni, kalimat-kalimat itu bahkan sederet kesalahan. Tetapi Djenar tidak menulis kalimat-kalimat itu dalam skripsi. Dia menulisnya sebagai bagian artikel untuk majalah. Dan, puji Tuhan, editor majalah itu membolehkan!

Sekarang kita mulai melihat perbedaan prinsip antara karya ilmiah murni dan karya ilmiah populer. Sekarang kita juga mulai melihat perbedaan prinsip antara dosen pembimbing skripsi dan editor naskah. Karenanya, editor naskah tidak perlu bersikap sekaku dosen pembimbing skripsi, karena penulis naskah juga tidak menulis naskahnya sebagaimana mereka menggarap skripsi!

Jadi, dalam penulisan naskah, penulis memang harus menjaga tulisannya agar sesuai kaidah bahasa yang berlaku, tetapi tidak perlu kaku. Begitu pula dengan editor. Jika penulis mengalami kekeliruan dalam penyebutan kata, atau kalimatnya terlalu bertele-tele, editor memang bisa “mencoret-coret” naskah seperti umumnya dosen pembimbing skripsi. Tetapi jika si penulis sekadar meletakkan “dan” di awal kalimat, sepertinya kita perlu bersepakat bahwa itu bukan masalah.

Yang lebih perlu dipermasalahkan, sebenarnya, bukan apakah penulis naskah boleh meletakkan “dan” di awal kalimat atau tidak, melainkan apakah “dan” di awal kalimat harus selalu dibubuhi koma atau tidak. Untuk hal itu, kita telah mengetahuinya, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Bahwa “dan” di awal kalimat tidak harus selalu diikuti koma. Jika ada editor yang tidak sepakat dengan hal ini, silakan marahi Goenawan Mohamad atau AS Laksana!

Selain “dan” di awal kalimat, kata lain yang juga tidak wajib diikuti koma adalah “maka”, “lalu”, “kemudian”. Tidak wajib—artinya boleh dibubuhi koma, tapi tidak harus. (Untuk lebih pasti mengenai hal ini, silakan merujuk pada Buku Panduan Penyuntingan Naskah yang ditulis Pamusuk Eneste).

Lucunya, masih banyak editor yang selalu membubuhkan koma pada kata “maka” di awal kalimat. Mereka juga selalu membubuhkan koma pada “lalu” atau “kemudian” yang ada di awal kalimat. Akibatnya, banyak tulisan tersendat-sendat, gara-gara editor terlalu rajin meletakkan koma di berbagai tempat.

Lanjut ke sini.

 
;