***
Meski mungkin hal-hal itu terkesan sepele, tetapi efeknya bisa menganggu. Karena itulah, untuk kesekian kalinya, penulis maupun editor harus terus memperbarui pengetahuannya, khususnya dalam teknik menulis, agar selalu up to date. Suatu teori, teknik, atau wawasan yang kita yakini belum tentu benar, atau telah ketinggalan zaman, dan karena itulah perlunya terus belajar. Bahasa terus berkembang, teknik penulisan terus berkembang, dan siapa pun yang bekerja dalam bidang penulisan harus mengikuti perkembangan.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Jika kita membuka dan mencermati buku-buku terbitan lama—setidaknya pada era 1990-an—kita masih menemukan banyak buku yang di dalamnya menggunakan sistematika penulisan ala skripsi. Buku-buku itu menggunakan BAB I, BAB II, BAB III, dan seterusnya. Lama-lama, gaya atau sistematika penulisan semacam itu ditinggalkan, dan tidak lagi digunakan.
Di toko buku, sekarang sudah sangat jarang ada buku yang masih menggunakan sistematika kaku seperti itu. Buku-buku modern telah menghilangkan BAB I, BAB II, dan seterusnya, untuk menunjukkan perbedaan dengan karya ilmiah murni semacam skripsi. Bahkan, jika kita ingin membukukan skripsi atau disertasi, dan ingin menjualnya secara komersial, kita harus mematuhi sistem penulisan dalam ilmiah populer, yang salah satunya tidak lagi menggunakan penanda BAB.
Ilustrasi itu tidak hanya secara tegas menunjukkan perbedaan antara penulisan ilmiah murni dan ilmiah populer, namun juga dengan jelas menunjukkan bahwa di dunia penulisan dan penerbitan terus terjadi perubahan, dinamika, dan pembaruan-pembaruan. Yang semula tampak hebat sekarang terlihat kuno. Yang di masa lalu terlihat modern sekarang telah ketinggalan zaman. Yang wajib mengikuti dinamika semacam itu bukan hanya penulis, tetapi juga editor, serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam kerja penulisan dan industri penerbitan.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Jika kita membuka dan mencermati buku-buku terbitan lama—setidaknya pada era 1990-an—kita masih menemukan banyak buku yang di dalamnya menggunakan sistematika penulisan ala skripsi. Buku-buku itu menggunakan BAB I, BAB II, BAB III, dan seterusnya. Lama-lama, gaya atau sistematika penulisan semacam itu ditinggalkan, dan tidak lagi digunakan.
Di toko buku, sekarang sudah sangat jarang ada buku yang masih menggunakan sistematika kaku seperti itu. Buku-buku modern telah menghilangkan BAB I, BAB II, dan seterusnya, untuk menunjukkan perbedaan dengan karya ilmiah murni semacam skripsi. Bahkan, jika kita ingin membukukan skripsi atau disertasi, dan ingin menjualnya secara komersial, kita harus mematuhi sistem penulisan dalam ilmiah populer, yang salah satunya tidak lagi menggunakan penanda BAB.
Ilustrasi itu tidak hanya secara tegas menunjukkan perbedaan antara penulisan ilmiah murni dan ilmiah populer, namun juga dengan jelas menunjukkan bahwa di dunia penulisan dan penerbitan terus terjadi perubahan, dinamika, dan pembaruan-pembaruan. Yang semula tampak hebat sekarang terlihat kuno. Yang di masa lalu terlihat modern sekarang telah ketinggalan zaman. Yang wajib mengikuti dinamika semacam itu bukan hanya penulis, tetapi juga editor, serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam kerja penulisan dan industri penerbitan.
Relasi penulis-editor
Saya menyadari, catatan ini mungkin terkesan menggurui, meski saya tidak bermaksud begitu. Yang saya sampaikan dalam tulisan ini adalah hal-hal yang sebenarnya ingin disampaikan banyak penulis kepada editornya, namun khawatir atau merasa segan jika harus mengatakan secara langsung. Tidak semua editor memiliki dada yang lapang sehingga terbuka pada saran dan masukan. Karena usia atau karena pengalaman yang lama, kadang editor menganggap dirinya lebih tahu dari penulis, kemudian menutup diri dari kemungkinan saran, masukan, apalagi teguran.
Seorang teman sesama penulis, sebut saja namanya Ferdi, pernah mendapati editor semacam itu. Ceritanya, Ferdi mengirim naskah ke suatu penerbit, dan kebetulan editor yang menangani naskahnya kurang terbuka pada saran. Lebih dari itu, si editor tampaknya menganggap posisinya lebih tinggi dari si penulis.
Selama menangani naskah Ferdi, si editor beberapa kali menelepon Ferdi, namun isi pembicaraan mereka tidak jelas, bahkan tidak penting, karena lebih banyak membahas hal-hal di luar naskah. Jika kebetulan Ferdi sedang di jalan, sehingga tidak bisa menerima telepon, si editor tersinggung. Editor itu bersikap seolah-olah Ferdi adalah bawahannya. Sampai begitu pun, Ferdi masih menahan diri, dan tetap berusaha menghadapi si editor dengan baik. Bagaimana pun, editor itu sebaya ayahnya, sehingga Ferdi merasa perlu menghormati.
Yang menjadi masalah, si editor juga tampaknya tidak mau menerima saran atau masukan, dan menganggap pendapatnya pasti benar. Editor itu meminta Ferdi agar memasukkan hal-hal tertentu pada naskah, padahal menurut Ferdi hal itu tidak penting, tidak relevan, bahkan tidak dibutuhkan. Lebih dari itu, si editor juga seenaknya sendiri “mengacak-acak” isi naskah Ferdi. Hal itu baru diketahui Ferdi ketika naskahnya telah terbit menjadi buku, dan di dalamnya penuh typo atau kesalahan ketik.
Rupanya, editor tersebut menambah-nambahi banyak kalimat di dalam naskah Ferdi, namun kalimat-kalimat tambahan yang ditulisnya banyak mengalami salah ketik. Padahal, kalimat-kalimat yang ditambahkan editor itu bisa dibilang tidak penting. Misalnya, saat Ferdi menulis “saya” yang merujuk dirinya sebagai penulis, si editor menambahkan “(penulis buku ini)”.
Padahal, bisa dibilang semua orang tahu bahwa “saya” yang terdapat dalam buku merujuk pada si penulis buku. Yang menyedihkan, kesalahan ketik tidak hanya terdapat di dalam buku, tetapi juga pada sampulnya, dan lagi-lagi kesalahan ketik itu terdapat pada kalimat yang dibuat si editor. Puncaknya, editor itu juga seenaknya sendiri mengubah judul buku Ferdi, hingga judul yang semula memikat berubah menjadi judul yang sama sekali tak menarik. Editor itu melakukan hal-hal tersebut, tanpa mengonfirmasikannya kepada Ferdi.
Tentu saja Ferdi kecewa dengan hal itu, namun nasi telah menjadi bubur. Ketika dia menyampaikan kekecewaannya, tanggapan si editor sangat tidak simpatik, bahkan menunjukkan sikap tersinggung. Tapi bukan cuma itu yang membuat Ferdi kecewa. Karena tampilan dan judul bukunya yang kurang menarik, dan karena banyaknya kesalahan ketik yang sangat mencolok, buku Ferdi jeblok di pasar.
Siapa yang paling dirugikan ketika kasus semacam itu terjadi? Mungkin penerbit dirugikan, karena telah membiayai penerbitan buku yang ternyata gagal di pasar. Tapi penulis lebih merasa dirugikan. Dia sudah meluangkan banyak waktu, energi, biaya, selama menulis naskah, dan berharap bukunya disukai pembaca. Tapi hanya gara-gara seorang editor yang merasa dirinya pasti benar, buku karyanya jeblok di pasar.
Editor yang baik adalah impian setiap penulis, sebagaimana editor yang buruk bisa menjadi mimpi buruk bagi penulis. Sayangnya, dalam hal ini, penulis tidak bisa memilih editor yang akan menangani naskahnya. Ketika suatu naskah masuk penerbit, pihak penerbit yang menentukan siapa editor yang menangani naskah tersebut. Tentu saja penulis merasa beruntung jika mendapat editor yang baik, tapi bisa pula penulis menghadapi nasib buruk seperti Ferdi gara-gara editornya mau menang sendiri karena menganggap posisinya lebih tinggi.
Izinkan saya sekali lagi mengutip David Rosenthal. Sebagai editor berpengaruh di Amerika, dan telah bekerja puluhan tahun sebagai editor, David Rosenthal memiliki nasihat untuk sesama editor.
“Tugas yang penting (sebagai editor),” ujar David Rosenthal, “ialah melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penulis dalam menciptakan buku sebaik mungkin. Dalam melakukan tugas ini, kita sebenarnya lebih berfungsi sebagai pelayan; ketimbang sebagai majikan si penulis. Kita bersikap mendukung dan kritis terhadap penulis. Kita melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah karya menjadi lebih baik. Dan dalam hubungan dengan penulis tertentu, ini bisa berarti bahwa kita tak perlu berbuat apa-apa lagi.”
Ketika ditanya adakah kasus ketika bantuan editor tidak diperlukan lagi, David Rosenthal menjawab, “Ada. Kadang-kadang kita menerima naskah yang sangat sempurna. Dan dalam kasus seperti ini, yang kita lakukan tinggal menandatangani satu-dua potong kertas agar naskah segera masuk ke proses produksi.”
Usia tua bukan jaminan senioritas. Dalam konteks dunia penerbitan, kadang ada penulis berusia tua mendapat editor yang jauh lebih muda. Sebaliknya, kadang ada penulis yang masih belia mendapat editor yang jauh lebih tua. Perbedaan usia semacam itu seharusnya tidak menjadikan masing-masing pihak merasa lebih senior atau lebih tahu dari pihak lainnya. Yang muda tidak perlu minder pada yang tua, sementara yang tua juga tidak perlu merasa lebih tahu. Karena posisi penulis dan editor adalah setara—keduanya bisa menerima saran dan memberi masukan.
Dalam kasus tertentu, editor kadang pula merasa serba salah ketika berurusan dengan penulis yang terkenal. Padahal, sebagaimana usia, popularitas atau keterkenalan seseorang juga bukan jaminan senioritas. Tak peduli seterkenal apa pun, seorang penulis (seharusnya) juga menyadari bahwa posisinya tetap tidak lebih tinggi dari editor. Kenyataannya, penulis yang baik memang begitu.
Saya pernah mengobrol panjang dengan seorang editor. Kami telah lama berteman, dan cukup sering bertemu. Karena tahu profesi masing-masing, topik obrolan kami pun sering tak lepas dari dunia penerbitan. Suatu hari, saat kami ngobrol asyik, dia bercerita, “Aku dapat naskah bagus, tapi bingung. Mau diterima (untuk diterbitkan) rasanya kurang beres, mau ditolak rasanya juga sayang, karena naskah itu sangat bagus.”
Saya menyahut, “Jadi, apa masalahnya?”
Dia pun menjelaskan. Naskah yang sedang ditanganinya memiliki 26 bab. Dari 26 bab, 22 di antaranya bisa dibilang tidak ada masalah. Tapi 4 bab lain bermasalah, karena bab-bab tersebut dinilai tidak terlalu relevan. “Sebenarnya,” ia berujar, “aku sangat menyukai naskah itu. Tapi empat bab yang bermasalah itu membuatku ragu meloloskannya.”
Memahami yang ia maksudkan, saya pun berkata, “Kenapa empat bab itu tidak dipotong saja? Pangkas empat bab yang tidak penting, dan terbitkan sisanya.”
Dia menjawab ragu, “Masalahnya, penulis naskah ini sangat terkenal. Sejujurnya aku segan, dan tidak yakin dia mau menerima saranku.”
Saya memberi pertimbangan, “Kalau aku penulis naskah itu, dan editorku memberi penilaian seperti yang kamu katakan tadi, tentu saja aku tidak keberatan.”
Dia terdiam sesaat, seperti berpikir, kemudian menjawab, “Coba besok aku hubungi penulisnya. Semoga dia punya pikiran sepertimu.”
Besoknya, dia benar-benar menghubungi si penulis, dan memberitahu pandangannya. Seperti yang sudah saya duga, si penulis tidak keberatan. Dia merelakan 4 bab dalam naskahnya dipangkas atau dihilangkan, dan hanya 22 bab yang diterbitkan menjadi buku. Sebagai penulis, saya memahami bahwa hal semacam itu bukan masalah besar. Tetapi, rupanya, kadang editor mengira hal semacam itu tidak bisa didiskusikan, khususnya jika si penulis dinilai terkenal.
Setiap orang, dalam hal ini penulis, sebenarnya terbuka pada saran, masukan, atau lainnya, khususnya saran atau masukan dari editor. Jika saran atau masukan itu memang baik dan relevan, penulis tentu tidak punya alasan menolak. Karenanya, yang perlu dilakukan editor hanya menghubungi si penulis, dan mengomunikasikan saran atau masukannya. Sebagaimana editor, penulis juga manusia biasa. Yang kadang salah, kadang khilaf, dan kadang perlu diberitahu—tak peduli seterkenal apa pun.
Karenanya, editor tidak perlu bingung saat akan menyampaikan saran atau masukannya pada penulis, sebagaimana penulis juga tidak perlu khawatir saat akan menyampaikan pandangannya pada editor. Buku yang baik dihasilkan oleh naskah yang baik. Naskah yang baik tidak hanya membutuhkan penulis yang baik, namun juga editor yang baik. Hubungan yang baik antara penulis dan editor memerlukan jembatan komunikasi yang baik.
Tentu saja bukan berarti setiap penulis dan editor harus “mesra” atau sangat intens berkomunikasi, hingga malah buang-buang waktu. Komunikasi dibutuhkan ketika berkaitan dengan konteks naskah yang sedang dikerjakan. Kalau memang ada yang perlu dikomunikasikan, tentu saja komunikasi menjadi perlu. Namun, jika memang tidak ada yang perlu dikomunikasikan, penulis dan editor juga tidak perlu maksa berkomunikasi. Toh keduanya punya kesibukan sendiri-sendiri.
Penutup
Untuk mengakhiri catatan ini, mari kita ingat poin-poin penting yang telah kita pelajari.
Pertama, hubungan penulis dan editor adalah hubungan yang setara, sehingga keduanya perlu berlapang hati menerima masukan, dan tak perlu berkecil hati saat ingin menyampaikan saran. Sehebat apa pun penulis, dia tetap manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dan sehebat apa pun editor, tetap saja dia bukan Tuhan.
Kedua, dunia penulisan adalah dunia kreatif yang terus dan selalu berkembang. Bahasa selalu berkembang, teknik penulisan terus berkembang, dan penulis serta editor perlu mengikuti dinamika yang terjadi, agar terus bertambah wawasan dan tidak ketinggalan zaman.
Ketiga, usia atau popularitas bukan ukuran lebih tahu atau lebih tinggi. Editor yang telah berusia tua tidak perlu merasa lebih tahu dari penulis yang lebih belia, sebagaimana penulis yang terkenal tidak perlu merasa lebih tinggi dari editornya.
Keempat, masing-masing penulis dan editor memiliki kode etik yang perlu diingat dan dijalani. Penulis tidak boleh melanggar kode etiknya dalam berkarya, sebagaimana editor juga tidak boleh lupa batasan kode etiknya dalam menangani naskah penulis.
Kelima, kesuksesan sebuah buku adalah hasil kerjasama antara penulis dan editor. Jika kerjasama berjalan baik, buku yang dihasilkan akan baik, dan semua pihak akan senang. Sebaliknya, kerjasama yang buruk antara penulis dan editor adalah mimpi buruk di dunia penerbitan.
Terakhir, mohon maaf jika catatan ini terkesan menggurui. Anggap saja ini curhat kegelisahan penulis yang selama ini terpendam, karena tidak tahu bagaimana cara menyampaikan. Editor yang baik selalu terbuka pada saran, jadi saya berharap saran dan semua masukan ini bisa diterima dengan lapang hati.
Sebaliknya, penulis yang baik juga terbuka pada saran dan masukan. Karenanya, jika ada editor membaca catatan ini, dan menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam penjelasan saya, tidak perlu ragu untuk menegur, mengoreksi, atau memberi saran balik. Sejujurnya, saya justru akan sangat berterima kasih.
Saya menyadari, catatan ini mungkin terkesan menggurui, meski saya tidak bermaksud begitu. Yang saya sampaikan dalam tulisan ini adalah hal-hal yang sebenarnya ingin disampaikan banyak penulis kepada editornya, namun khawatir atau merasa segan jika harus mengatakan secara langsung. Tidak semua editor memiliki dada yang lapang sehingga terbuka pada saran dan masukan. Karena usia atau karena pengalaman yang lama, kadang editor menganggap dirinya lebih tahu dari penulis, kemudian menutup diri dari kemungkinan saran, masukan, apalagi teguran.
Seorang teman sesama penulis, sebut saja namanya Ferdi, pernah mendapati editor semacam itu. Ceritanya, Ferdi mengirim naskah ke suatu penerbit, dan kebetulan editor yang menangani naskahnya kurang terbuka pada saran. Lebih dari itu, si editor tampaknya menganggap posisinya lebih tinggi dari si penulis.
Selama menangani naskah Ferdi, si editor beberapa kali menelepon Ferdi, namun isi pembicaraan mereka tidak jelas, bahkan tidak penting, karena lebih banyak membahas hal-hal di luar naskah. Jika kebetulan Ferdi sedang di jalan, sehingga tidak bisa menerima telepon, si editor tersinggung. Editor itu bersikap seolah-olah Ferdi adalah bawahannya. Sampai begitu pun, Ferdi masih menahan diri, dan tetap berusaha menghadapi si editor dengan baik. Bagaimana pun, editor itu sebaya ayahnya, sehingga Ferdi merasa perlu menghormati.
Yang menjadi masalah, si editor juga tampaknya tidak mau menerima saran atau masukan, dan menganggap pendapatnya pasti benar. Editor itu meminta Ferdi agar memasukkan hal-hal tertentu pada naskah, padahal menurut Ferdi hal itu tidak penting, tidak relevan, bahkan tidak dibutuhkan. Lebih dari itu, si editor juga seenaknya sendiri “mengacak-acak” isi naskah Ferdi. Hal itu baru diketahui Ferdi ketika naskahnya telah terbit menjadi buku, dan di dalamnya penuh typo atau kesalahan ketik.
Rupanya, editor tersebut menambah-nambahi banyak kalimat di dalam naskah Ferdi, namun kalimat-kalimat tambahan yang ditulisnya banyak mengalami salah ketik. Padahal, kalimat-kalimat yang ditambahkan editor itu bisa dibilang tidak penting. Misalnya, saat Ferdi menulis “saya” yang merujuk dirinya sebagai penulis, si editor menambahkan “(penulis buku ini)”.
Padahal, bisa dibilang semua orang tahu bahwa “saya” yang terdapat dalam buku merujuk pada si penulis buku. Yang menyedihkan, kesalahan ketik tidak hanya terdapat di dalam buku, tetapi juga pada sampulnya, dan lagi-lagi kesalahan ketik itu terdapat pada kalimat yang dibuat si editor. Puncaknya, editor itu juga seenaknya sendiri mengubah judul buku Ferdi, hingga judul yang semula memikat berubah menjadi judul yang sama sekali tak menarik. Editor itu melakukan hal-hal tersebut, tanpa mengonfirmasikannya kepada Ferdi.
Tentu saja Ferdi kecewa dengan hal itu, namun nasi telah menjadi bubur. Ketika dia menyampaikan kekecewaannya, tanggapan si editor sangat tidak simpatik, bahkan menunjukkan sikap tersinggung. Tapi bukan cuma itu yang membuat Ferdi kecewa. Karena tampilan dan judul bukunya yang kurang menarik, dan karena banyaknya kesalahan ketik yang sangat mencolok, buku Ferdi jeblok di pasar.
Siapa yang paling dirugikan ketika kasus semacam itu terjadi? Mungkin penerbit dirugikan, karena telah membiayai penerbitan buku yang ternyata gagal di pasar. Tapi penulis lebih merasa dirugikan. Dia sudah meluangkan banyak waktu, energi, biaya, selama menulis naskah, dan berharap bukunya disukai pembaca. Tapi hanya gara-gara seorang editor yang merasa dirinya pasti benar, buku karyanya jeblok di pasar.
Editor yang baik adalah impian setiap penulis, sebagaimana editor yang buruk bisa menjadi mimpi buruk bagi penulis. Sayangnya, dalam hal ini, penulis tidak bisa memilih editor yang akan menangani naskahnya. Ketika suatu naskah masuk penerbit, pihak penerbit yang menentukan siapa editor yang menangani naskah tersebut. Tentu saja penulis merasa beruntung jika mendapat editor yang baik, tapi bisa pula penulis menghadapi nasib buruk seperti Ferdi gara-gara editornya mau menang sendiri karena menganggap posisinya lebih tinggi.
Izinkan saya sekali lagi mengutip David Rosenthal. Sebagai editor berpengaruh di Amerika, dan telah bekerja puluhan tahun sebagai editor, David Rosenthal memiliki nasihat untuk sesama editor.
“Tugas yang penting (sebagai editor),” ujar David Rosenthal, “ialah melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penulis dalam menciptakan buku sebaik mungkin. Dalam melakukan tugas ini, kita sebenarnya lebih berfungsi sebagai pelayan; ketimbang sebagai majikan si penulis. Kita bersikap mendukung dan kritis terhadap penulis. Kita melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk membuat sebuah karya menjadi lebih baik. Dan dalam hubungan dengan penulis tertentu, ini bisa berarti bahwa kita tak perlu berbuat apa-apa lagi.”
Ketika ditanya adakah kasus ketika bantuan editor tidak diperlukan lagi, David Rosenthal menjawab, “Ada. Kadang-kadang kita menerima naskah yang sangat sempurna. Dan dalam kasus seperti ini, yang kita lakukan tinggal menandatangani satu-dua potong kertas agar naskah segera masuk ke proses produksi.”
Usia tua bukan jaminan senioritas. Dalam konteks dunia penerbitan, kadang ada penulis berusia tua mendapat editor yang jauh lebih muda. Sebaliknya, kadang ada penulis yang masih belia mendapat editor yang jauh lebih tua. Perbedaan usia semacam itu seharusnya tidak menjadikan masing-masing pihak merasa lebih senior atau lebih tahu dari pihak lainnya. Yang muda tidak perlu minder pada yang tua, sementara yang tua juga tidak perlu merasa lebih tahu. Karena posisi penulis dan editor adalah setara—keduanya bisa menerima saran dan memberi masukan.
Dalam kasus tertentu, editor kadang pula merasa serba salah ketika berurusan dengan penulis yang terkenal. Padahal, sebagaimana usia, popularitas atau keterkenalan seseorang juga bukan jaminan senioritas. Tak peduli seterkenal apa pun, seorang penulis (seharusnya) juga menyadari bahwa posisinya tetap tidak lebih tinggi dari editor. Kenyataannya, penulis yang baik memang begitu.
Saya pernah mengobrol panjang dengan seorang editor. Kami telah lama berteman, dan cukup sering bertemu. Karena tahu profesi masing-masing, topik obrolan kami pun sering tak lepas dari dunia penerbitan. Suatu hari, saat kami ngobrol asyik, dia bercerita, “Aku dapat naskah bagus, tapi bingung. Mau diterima (untuk diterbitkan) rasanya kurang beres, mau ditolak rasanya juga sayang, karena naskah itu sangat bagus.”
Saya menyahut, “Jadi, apa masalahnya?”
Dia pun menjelaskan. Naskah yang sedang ditanganinya memiliki 26 bab. Dari 26 bab, 22 di antaranya bisa dibilang tidak ada masalah. Tapi 4 bab lain bermasalah, karena bab-bab tersebut dinilai tidak terlalu relevan. “Sebenarnya,” ia berujar, “aku sangat menyukai naskah itu. Tapi empat bab yang bermasalah itu membuatku ragu meloloskannya.”
Memahami yang ia maksudkan, saya pun berkata, “Kenapa empat bab itu tidak dipotong saja? Pangkas empat bab yang tidak penting, dan terbitkan sisanya.”
Dia menjawab ragu, “Masalahnya, penulis naskah ini sangat terkenal. Sejujurnya aku segan, dan tidak yakin dia mau menerima saranku.”
Saya memberi pertimbangan, “Kalau aku penulis naskah itu, dan editorku memberi penilaian seperti yang kamu katakan tadi, tentu saja aku tidak keberatan.”
Dia terdiam sesaat, seperti berpikir, kemudian menjawab, “Coba besok aku hubungi penulisnya. Semoga dia punya pikiran sepertimu.”
Besoknya, dia benar-benar menghubungi si penulis, dan memberitahu pandangannya. Seperti yang sudah saya duga, si penulis tidak keberatan. Dia merelakan 4 bab dalam naskahnya dipangkas atau dihilangkan, dan hanya 22 bab yang diterbitkan menjadi buku. Sebagai penulis, saya memahami bahwa hal semacam itu bukan masalah besar. Tetapi, rupanya, kadang editor mengira hal semacam itu tidak bisa didiskusikan, khususnya jika si penulis dinilai terkenal.
Setiap orang, dalam hal ini penulis, sebenarnya terbuka pada saran, masukan, atau lainnya, khususnya saran atau masukan dari editor. Jika saran atau masukan itu memang baik dan relevan, penulis tentu tidak punya alasan menolak. Karenanya, yang perlu dilakukan editor hanya menghubungi si penulis, dan mengomunikasikan saran atau masukannya. Sebagaimana editor, penulis juga manusia biasa. Yang kadang salah, kadang khilaf, dan kadang perlu diberitahu—tak peduli seterkenal apa pun.
Karenanya, editor tidak perlu bingung saat akan menyampaikan saran atau masukannya pada penulis, sebagaimana penulis juga tidak perlu khawatir saat akan menyampaikan pandangannya pada editor. Buku yang baik dihasilkan oleh naskah yang baik. Naskah yang baik tidak hanya membutuhkan penulis yang baik, namun juga editor yang baik. Hubungan yang baik antara penulis dan editor memerlukan jembatan komunikasi yang baik.
Tentu saja bukan berarti setiap penulis dan editor harus “mesra” atau sangat intens berkomunikasi, hingga malah buang-buang waktu. Komunikasi dibutuhkan ketika berkaitan dengan konteks naskah yang sedang dikerjakan. Kalau memang ada yang perlu dikomunikasikan, tentu saja komunikasi menjadi perlu. Namun, jika memang tidak ada yang perlu dikomunikasikan, penulis dan editor juga tidak perlu maksa berkomunikasi. Toh keduanya punya kesibukan sendiri-sendiri.
Penutup
Untuk mengakhiri catatan ini, mari kita ingat poin-poin penting yang telah kita pelajari.
Pertama, hubungan penulis dan editor adalah hubungan yang setara, sehingga keduanya perlu berlapang hati menerima masukan, dan tak perlu berkecil hati saat ingin menyampaikan saran. Sehebat apa pun penulis, dia tetap manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dan sehebat apa pun editor, tetap saja dia bukan Tuhan.
Kedua, dunia penulisan adalah dunia kreatif yang terus dan selalu berkembang. Bahasa selalu berkembang, teknik penulisan terus berkembang, dan penulis serta editor perlu mengikuti dinamika yang terjadi, agar terus bertambah wawasan dan tidak ketinggalan zaman.
Ketiga, usia atau popularitas bukan ukuran lebih tahu atau lebih tinggi. Editor yang telah berusia tua tidak perlu merasa lebih tahu dari penulis yang lebih belia, sebagaimana penulis yang terkenal tidak perlu merasa lebih tinggi dari editornya.
Keempat, masing-masing penulis dan editor memiliki kode etik yang perlu diingat dan dijalani. Penulis tidak boleh melanggar kode etiknya dalam berkarya, sebagaimana editor juga tidak boleh lupa batasan kode etiknya dalam menangani naskah penulis.
Kelima, kesuksesan sebuah buku adalah hasil kerjasama antara penulis dan editor. Jika kerjasama berjalan baik, buku yang dihasilkan akan baik, dan semua pihak akan senang. Sebaliknya, kerjasama yang buruk antara penulis dan editor adalah mimpi buruk di dunia penerbitan.
Terakhir, mohon maaf jika catatan ini terkesan menggurui. Anggap saja ini curhat kegelisahan penulis yang selama ini terpendam, karena tidak tahu bagaimana cara menyampaikan. Editor yang baik selalu terbuka pada saran, jadi saya berharap saran dan semua masukan ini bisa diterima dengan lapang hati.
Sebaliknya, penulis yang baik juga terbuka pada saran dan masukan. Karenanya, jika ada editor membaca catatan ini, dan menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam penjelasan saya, tidak perlu ragu untuk menegur, mengoreksi, atau memberi saran balik. Sejujurnya, saya justru akan sangat berterima kasih.